Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dominasi Si Pita Kuning

Bank Mandiri masih merajai kredit korporasi. Gurih dan berisiko rendah.

3 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGUS Martowardojo punya pengalaman pahit. Empat tahun lalu, Direktur Utama Bank Mandiri ini dilanda pusing tujuh keliling. Kredit macet korporasi yang disalurkan Mandiri menggunung sampai tembus Rp 27 triliun. Rasio kredit seretnya pun sampai 25 persen.

Bank berlogo pita kuning ini mengerahkan segenap tenaga demi menagih kredit macet. Eh, ”Pengutang malah lebih galak dibanding kami,” kata Agus saat mampir ke kantor majalah Tempo beberapa waktu lalu. Pasukan penagih utang hampir selalu kembali tanpa hasil.

Perlahan, hari-hari pahit berlalu. Mandiri pun terus mengucurkan kredit korporasi di atas Rp 1 triliun. ”Kami tidak kapok,” kata Agus. Kredit korporasi adalah portofolio terbesar dari enam sektor yang menjadi fokus kredit Mandiri. Lima sektor lainnya adalah kredit komersial, konsumsi, usaha kecil dan menengah, pembiayaan luar negeri, serta kredit mikro. ”Kami memasang target penguasaan pasar 20 persen untuk tiap sektor,” kata Agus.

Secara nasional, menurut data Bank Indonesia sampai Mei 2009, total penyaluran kredit korporasi mencapai Rp 323 triliun. Tiga bank pelat merah, yakni Mandiri, Bank Negara Indonesia, dan Bank Rakyat Indonesia, menguasai pasar kredit ke usaha besar ini dengan total nilai hampir Rp 147 triliun.

Nah, untuk urusan kredit kelas kakap ini, Mandiri adalah rajanya. Si pita kuning menguasai 19,9 persen pasar kredit korporasi. Sampai kuartal kedua 2009, Mandiri telah menyalurkan kredit korporasi Rp 65 triliun atau 45 persen dari total kreditnya. Pertumbuhan kredit korporasi, kata Agus, sampai 51,7 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Kredit komersial menempati portofolio terbesar kedua Mandiri, dengan nilai Rp 40,64 triliun.

Posisi kedua ditempati BNI. Sampai Juni 2009, kredit korporasi yang dikucurkan BNI mencapai Rp 50,5 triliun. ”BNI nomor satu di Indonesia untuk kategori kredit sindikasi,” kata Direktur Utama BNI Gatot Suwondo. Bank berlogo perahu layar ini memilih fokus kredit sindikasi demi menjaga kesehatan bank. ”Setiap satu triliun kredit akan menggerus rasio modal 0,2 persen,” katanya. Jika tak hati-hati memilih nasabah, rasio modal berisiko tergerus lebih dalam.

Dampak ikutan (multiplier effect) pemberian kredit juga diperhitungkan. Memilih nasabah yang bisa memberikan manfaat ikutan menjadi penting. Misalnya, dengan memberikan kredit kepada PT Perusahaan Listrik Negara, BNI bisa mendapatkan manfaat dari nasabah atau perusahaan yang menjadi mitra perusahaan listrik itu.

Peringkat ketiga untuk kredit korporasi ditempati BRI, dengan total kredit tersalur Rp 31 triliun. Bank tertua di Indonesia ini dikenal juga berfokus pada kredit mikro dan usaha kecil-menengah. Nasabah favoritnya adalah badan usaha milik negara. Alasannya, ”Risikonya rendah,” kata Direktur Utama BRI Sofyan Basyir. Bobot aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR)-nya nol persen. ”Ada jaminan dari pemerintah pula,” kata Sofyan.

Bank Central Asia menyeruak ke tengah dominasi bank pemerintah di lahan kredit korporasi. Bank milik grup Djarum ini telah menyalurkan kredit Rp 42,3 triliun. Sejumlah aktor, misalnya CIMB Niaga, Bank Danamon, dan Bank Internasional Indonesia, memperebutkan pasar yang tersisa.

Sebenarnya, kredit mikro lebih gurih dibanding kredit korporasi. Margin keuntungan bersih kredit korporasi adalah 2-3 persen. Bandingkan dengan kredit mikro, yang marginnya sampai 9-10 persen. Tapi biaya memproses kredit korporasi terbilang rendah ketimbang kredit mikro. Walhasil, kredit korporasi tetap menguntungkan dan menjadi incaran bank.

Dampak resesi global yang mengempaskan sektor manufaktur, konstruksi, dan perusahaan berbasis ekspor tak membuat bank surut memberikan kredit jenis ini. Direktur Utama CIMB Niaga Arwin Rasyid yakin sektor usaha perkebunan, infrastruktur, energi, dan pertambangan masih berpotensi memberikan keuntungan. Jadi, ”Kami siap memberikan kredit untuk sektor itu,” kata Arwin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus