Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dirty Vote: Suara Kebenaran dalam Dua Jam

Dirty Vote mengungkap berbagai kecurangan Presiden Jokowi dan lembaga negara dalam Pemilu 2024. Pematerinya mendapat intimidasi.

29 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dari kiri, Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, Feri Amsari. Foto: Dok. Pribadi, Tempo/Martin Yogi Pardamean

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Dirty Vote dibuat secara diam-diam untuk menghindari tekanan.

  • Tim Dirty Vote menyiapkan berbagai skenario agar film itu bisa ditayangkan di YouTube.

  • Ada upaya penyuapan terhadap Bivitri Susanti agar tak keras mengkritik pemerintah.

MENERIMA pesan dari Dandhy Dwi Laksono, pendiri rumah produksi audiovisual WatchDoc Indonesia, pada Senin malam, 22 Januari 2024, Feri Amsari mendapat tawaran terlibat dalam pembuatan film dokumenter. Berjudul Dirty Vote, film itu membahas berbagai kecurangan yang terjadi menjelang Pemilihan Umum atau Pemilu 2024.

Kepada Feri, Dandhy mengatakan telah menonton siniar dosen hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, itu bersama mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Abraham Samad, yang membahas kecurangan Pemilu 2024. “Dia bilang data saya soal kecurangan pemilu bagus dan menarik dibuat jadi film dokumenter,” kata Feri kepada Tempo, Rabu, 17 Desember 2024.

Feri Amsari dan timnya di firma hukum Themis Indonesia telah mengumpulkan data kecurangan Pemilu 2024 sejak tahun sebelumnya. Kala itu banyak lembaga negara diduga ikut memenangkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Presiden Joko Widodo ikut mendukung Prabowo dan putra sulungnya untuk menang.

Menemui Dandhy di Menteng, Jakarta Pusat, esoknya, Feri langsung menerima tawaran Dandhy untuk tampil dalam Dirty Vote. Feri makin yakin karena ia akan tampil bersama dua dosen hukum tata negara lain. Mereka adalah Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Jakarta, dan Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 

Keputusan mengumpulkan tiga pengajar sebagai narator utama diusulkan oleh Dandhy. Ia menilai ada banyak variabel kecurangan yang harus dijelaskan. “Jadi akan lebih menarik kalau bertiga,” ujar Dandhy kepada Tempo di rumahnya di Pondok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu, 17 Desember 2024.



Dandhy menjadi sutradara Dirty Vote. Mantan wartawan SCTV itu sebelumnya menggarap sejumlah film secara independen. Misalnya KPK The Endgame (2021), yang membicarakan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi; Sexy Killers (2019), yang menceritakan dampak buruk industri batu bara dan politikus yang terlibat; serta Rayuan Pulau Palsu (2016).

Sedangkan Bivitri, Feri, dan Zainal punya latar belakang aktivisme yang panjang. Bivitri ikut mendirikan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. Feri menjabat direktur eksekutif di Themis Indonesia dan pernah menjadi Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas. Adapun Zainal aktif di Pusat Kajian Anti Korupsi atau Pukat UGM.

Ketiganya ikut mendirikan Constitutional and Administrative Law Society atau CALS, asosiasi untuk para pengajar hukum tata negara. Forum ini dibentuk setelah mereka keluar dari Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara pada 2021. Mereka merasa organisasi itu telah terlalu kental dengan kepentingan politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Feri Amsari (kiri), Bivitri Susanti dan Zainal Arifin Mochtar saat syuting film dokumenter Dirty Vote, 7 Februari 2024. Yusuf Priambodo/Ekspedisi Indonesia Baru

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baik Bivitri, Feri, maupun Zainal kerap menyuarakan berbagai persoalan dalam praktik hukum tata negara. Mereka juga mengkritik sejumlah kebijakan pemerintahan Jokowi yang melanggar aturan atau tak berpihak kepada publik. “Bayangan saya, mereka tak hanya saling mengisi, tapi juga bisa saling berdebat,” ucap Dandhy.

Zainal kerap mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada 16 Oktober 2023. Isinya membolehkan kepala daerah menjadi calon presiden-wakil presiden meski belum berusia 40 tahun. Putusan itu membuka pintu untuk Gibran maju menjadi calon wakil presiden. “Konstitusi dipermainkan untuk kepentingan penguasa,” kata Zainal kepada Tempo, Rabu, 18 Desember 2024.

Adapun Bivitri kerap mempersoalkan politik gentong babi atau pork barrel pada masa pemerintahan Jokowi. Ia mengkritik penggunaan anggaran negara untuk kepentingan politik penguasa. Menjelang Pemilu 2024, politik gentong babi terjadi lewat penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat.

Sementara itu, Feri ikut mengadvokasi kasus dugaan intimidasi terhadap penyelenggara pemilu di Sulawesi Utara yang dipaksa mengubah hasil verifikasi partai politik. Tapi Feri dan tim kuasa hukum dari Themis Indonesia kalah dalam sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Menurut Feri, intimidasi penyelenggara pemilu itu menjadi bagian awal kecurangan Pemilu 2024.

Bersama Themis Indonesia, Feri mengkaji berbagai kebijakan Jokowi untuk kepentingan Pemilu 2024. Misalnya mobilisasi kepala desa untuk mendukung Prabowo-Gibran. Kesimpulannya, Feri menilai kecurangan ini tak terlepas dari peran Presiden Jokowi. Data Themis Indonesia menjadi salah satu basis data film Dirty Vote.

•••

SEBELUM memulai syuting, Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari mengelaborasi berbagai temuan kecurangan Pemilu 2024. Mereka menambahkan berbagai data dan informasi baru. Ada sembilan variabel kecurangan yang dirumuskan. Dari pemilihan penjabat kepala daerah, penggunaan bantuan sosial atau bansos, sampai putusan Mahkamah Konstitusi. 

“Selama dua minggu, ketiga pemateri diminta mendalami dan menyusun naskah masing-masing dengan dibantu tim riset,” ujar Dandhy Dwi Laksono.

Dandhy pun mulai mengumpulkan anggota tim produksi. Beberapa di antaranya pernah bekerja dengannya. Ia juga merekrut beberapa kru baru. Mereka tak mendapat informasi film apa yang akan dibuat dan baru mengetahuinya setelah proses syuting berjalan. “Untuk menjaga kerahasiaan film,” ucapnya.

Dandhy, juga tiga narator, paham betul risiko pembuatan Dirty Vote. Bagaimanapun, mereka berhadapan dengan penguasa yang memiliki sumber daya kuat untuk menekan mereka. Kerahasiaan pembuatan film diperlukan untuk mencegah intimidasi dari alat negara sekaligus menjaga keamanan semua orang yang terlibat di dalamnya. 

Belakangan, Dandhy memutuskan untuk mencari rumah aman. Ada dua tujuan, yakni mengkarantina para pemateri agar lebih berfokus mengerjakan naskah dan melatih bicara di depan kamera. Rumah aman di kawasan Jakarta Selatan itu juga menjadi upaya mitigasi jika ada ancaman. 

Sutradara Dandhy Dwi Laksono (kiri) saat syuting film dokumenter Dirty Vote, 7 Februari 2024. Yusuf Priambodo/Ekspedisi Indonesia Baru

Pada Rabu, 7 Februari 2024, sepekan sebelum hari pencoblosan, syuting dimulai di sebuah studio yang disewa WatchDoc. Berlangsung lebih dari 12 jam, syuting baru rampung menjelang tengah malam. Lamanya proses syuting salah satunya terjadi lantaran pengambilan ulang gambar para pemateri. “Kami bukan aktor. Ada groginya saat bicara di depan kamera, terutama saya,” kata Feri Amsari.

Menurut Dandhy, dalam proses syuting, para pemateri tak membaca naskah. Prompter yang disediakan hanya memuat poin-poin materi. “Jadi yang disampaikan keluar spontan dari mereka sebagai pakar hukum tata negara, sebagai dosen,” ujar Dandhy.

Alasan lain proses syuting dikebut sehari adalah keterbatasan biaya. Untuk menyewa proyektor high definition atau HD yang menjadi latar belakang para pemateri bicara saja ongkosnya mencapai sekitar Rp 30 juta sehari. Belum lagi sewa studio dan peralatan lain. Dandhy enggan menyebutkan total biaya produksi Dirty Vote. Namun ia menyatakan angkanya mencapai ratusan juta rupiah.

Pendanaan film ini bersumber dari urunan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Indonesia Corruption Watch, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, serta Jaringan Advokasi Tambang. Mereka sempat menunggak pembayaran sewa barang dan baru dilunasi setelah film tayang. “Kami mencari tambahan dana untuk melunasi ke jaringan kami,” tutur Bivitri Susanti.



Sehari sebelum diunggah, Dirty Vote dipertontonkan secara tertutup kepada sejumlah pengacara dari kelompok masyarakat sipil. Tujuannya, memastikan materi film tak digugat. Sejumlah bagian terpaksa dipangkas karena dinilai berisiko. Durasi film yang mencapai hampir 3 jam dipangkas menjadi kurang dari 2 jam. 

“Ada beberapa hal yang dianggap tak perlu atau bisa merusak strategi advokasi teman-teman jaringan masyarakat sipil,” kata Feri Amsari. Dirty Vote diunggah ke YouTube pada hari pertama masa tenang kampanye pada 11 Februari 2024. Tujuannya, agar film mendapat perhatian lebih dari masyarakat tanpa terganggu kampanye pemilu.

Menjelang film dirilis, sejumlah skenario disiapkan untuk mengantisipasi adanya gangguan. Misalnya Dirty Vote akan diunggah dari Singapura jika gagal di-upload dari Indonesia. Tim juga menyiapkan link Google Drive berisi file mentah film untuk didistribusikan oleh kelompok masyarakat sipil.

Pada hari-H, tim Dandhy kesulitan mengunggah film ke akun YouTube Dirty Vote yang sudah dibuat. “Upload-nya lama sekali,” ucap Dandhy. Waktu tayang film molor hampir satu jam. Kelompok masyarakat sipil dan beberapa tokoh yang menerima link Google Drive akhirnya mengunggah video tersebut.

Hingga akhirnya akun Dirty Vote bisa mengunggah film tersebut secara lengkap. “Itu pun langsung dapat shadow banned, kalau dicari langsung enggak muncul,” kata Zainal Arifin Mochtar. Beberapa jam setelah film tayang, penontonnya di YouTube mencapai jutaan. Hingga Desember 2024, tercatat lebih dari 20 juta penonton dari beberapa kanal yang mengunggah film tersebut.

•••

SEHARI sebelum Dirty Vote dirilis, berbagai gangguan dialami tim. Muncul upaya peretasan telepon seluler tiga pembicara setelah teaser film diunggah. Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar mendapat beberapa pemberitahuan adanya upaya masuk ke akun Telegram milik mereka. “Kami mengistirahatkan nomor yang biasa dipakai dan ganti ke nomor sementara supaya tak mudah dilacak,” ujar Zainal.

Setelah film tayang, gangguan kian deras. Bivitri dan Feri kerap dihubungi nomor asing yang mengajak mereka bertemu. Bivitri juga diikuti oleh orang asing yang selalu datang ke berbagai acara yang ia hadiri.

Ada pula utusan lembaga negara yang membujuk Bivitri agar tak lantang mengkritik pemerintah. Utusan tersebut menemuinya dan memberikan amplop berisi segepok uang. Dengan berbagai macam alasan, Bivitri menolak pemberian tersebut dan langsung memberi tahu teman-temannya di Dirty Vote.

Ketua Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Bivitri Susanti saat sidang dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 31 Oktober 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W

Serangan personal juga dialami para pemateri film, terutama Bivitri sebagai satu-satunya perempuan. Ia menerima beragam cacian dan hinaan di akun media sosialnya. “Kami sudah tahu risiko tampil untuk membahas isu sensitif seperti itu,” kata Bivitri.

Dirty Vote dituduh berupaya menggerus perolehan suara Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Beberapa menit setelah Dirty Vote dirilis, politikus Partai Gerindra, Habiburokhman, menuduh film itu berisi fitnah. Dandhy Dwi Laksono dan tiga pemateri juga dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI atas tuduhan melanggar Undang-Undang Pemilu oleh Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia.

Menurut Bivitri Susanti, Dirty Vote tak pernah bertujuan mengarahkan publik untuk memilih calon presiden tertentu. “Kami ingin publik mendapat perspektif baru dan berpikir ulang sebelum mencoblos,” tutur Bivitri.

Zainal Arifin Mochtar (kiri), Bivitri Susanti dan Feri Amsari dalam Aksi Kamisan Padang ke-82 di depan Universitas Andalas, Sumatera Barat, 29 Februari 2024. Tempo/Fachri Hamzah.

Zainal Arifin Mochtar mengatakan tujuan Dirty Vote sejak awal adalah menjadi film pendidikan politik. Terutama untuk menghadapi potensi kecurangan berulang yang sistematis pada pemilu mendatang. “Akan ada satu masa nanti orang harus menonton film ini dan tahu bahwa penguasa bisa memainkan tentakel kekuasaannya untuk menguasai pemilu,” ujar Zainal.

Tim Dirty Vote pun menggelar road show nonton bareng dan diskusi ke sejumlah kampus dan komunitas di berbagai penjuru Indonesia. Zainal menyebutkan acara diskusi hampir selalu dipenuhi peserta. Di beberapa daerah, antrean bahkan mengular meski film itu bisa ditonton sendiri. 

Meski respons terhadap Dirty Vote melebihi ekspektasi, Feri Amsari menilai film itu bukan gerakan sosial yang bisa mengubah peta elektoral Pemilu 2024. Dirty Vote berperan sebagai pemantik yang harus ditindaklanjuti sendiri oleh publik, seperti lewat diskusi atau gerakan lain. “Dirty Vote tak hanya memberi kesadaran politik, tapi juga keberanian untuk mengatakan sesuatu yang benar,” kata Feri.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Egi Adyatama

Egi Adyatama

Bergabung dengan Tempo sejak 2015. Alumni Universitas Jenderal Soedirman ini sejak awal meliput isu politik, hukum, dan keamanan termasuk bertugas di Istana Kepresidenan selama tiga tahun. Kini menulis untuk desk politik dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus