Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komika Pandji Pragiwaksono mengulas alasan Abdur Arsyad, Bintang Emon, Fedi Nuril, dan selebritas lain ikut bersuara saat unjuk rasa Peringatan Darurat 22 Agustus 2024.
Komika berperan menyerap ketidakpuasan publik kepada penguasa dan menjadikannya bahan tertawaan lewat stand-up comedy.
Ancaman film Fedi Nuril tak laku terbantahkan berkat kepiawaiannya memerankan tokoh yang menikah lebih dari satu kali.
AABDUR Arsyad tiba-tiba berseloroh sebelum kami mulai bermain catur dalam program YouTube saya, Skakmat. Dia berniat mempromosikan pertunjukan stand-up comedy tunggal terbarunya, “Kontras”. Sementara itu, saya sedang ingin berdiskusi mengenai transportasi umum yang menjadi tema utama pertunjukannya tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Caknus!" Saya bingung terhadap ucapannya tersebut. “Itu, lho, grand master catur, jago banget, dari Rusia,” kata Abdur. Saya berpikir sebentar, lalu tersadar dengan apa yang dia maksud, yaitu Magnus Carlsen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abdur kemudian tertawa. “Iya, Magnus, maksud saya,” ujarnya, meralat ucapannya.
Otomatis, saya tertawa keras sekali. Pertama, Magnus Carlsen bukan dari Rusia, melainkan Norwegia. Kedua, “Caknus” lebih terdengar seperti nama orang Nahdlatul Ulama daripada grand master catur. Saya kemudian merasa geli sendiri. Kok bisa Abdur jadi satu orang yang opini politiknya paling didengar di Indonesia?
Abdur Arsyad lahir di Kupang, anak seorang guru. Kampung halamannya adalah Lamakera, sebuah desa di Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Provinsi ini bisa dikatakan tertinggal. Angka kemiskinannya termasuk yang tertinggi. Tingkat literasi dan akses terhadap pendidikan termasuk yang paling rendah, dengan infrastruktur yang tertinggal jauh, apalagi dibandingkan dengan di Jawa dan Sumatera. Dari sanalah muncul seorang komika yang dikenal paling kritis dan cerdas se-Indonesia.
Abdur mendapatkan nama lewat Stand Up Comedy Indonesia atau SUCI di Kompas TV. Program televisi ini adalah kompetisi komedi tunggal tempat Abdur menjadi grand finalist bersama David Nurbianto pada 2014. Meski tidak menjadi juara, Abdur meninggalkan kesan yang mendalam. Berbeda dengan seniornya, Arie Kriting, sang juara III kompetisi yang sama satu musim sebelumnya, Abdur tidak hanya membawa keresahan sebagai orang Indonesia bagian timur. Dia turut menyebarkan pandangan dan opininya terhadap situasi politik Indonesia.
Berbeda dengan Abdur, Bintang Emon memulai karier komikanya sonder politik. Juara pertama Stand Up Comedy Academy atau SUCA Indosiar, dia dikenal dengan topi terbalik, pembawaan yang santai, dan pengamatan yang tajam terhadap kehidupan sekitar.
Bintang baru menyinggung isu politik sejak masa pandemi Covid-19. Saat semua panggung komika tertutup akibat pembatasan aktivitas, dia meluapkan keresahannya lewat konten yang berlabel DPO, Dewan Perwakilan Omel-Omel. Keluh kesah yang disampaikan dengan jenaka itu viral. Kini, dengan 6,1 juta pengikut di Instagram dan 1,2 juta di TikTok, Bintang jadi suara yang ditunggu anak muda ketika suatu isu politik merebak.
Pada 22 Agustus 2024, di tengah demonstrasi Peringatan Darurat, Abdur dan Bintang naik di panggung yang sama. Mereka berorasi di depan massa aksi yang menyemut di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat untuk menolak oligarki dan dinasti politik Presiden Joko Widodo lewat rencana revisi Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau Undang-Undang Pilkada. Komika lain juga hadir, termasuk Adjis Doaibu, Rigen, Abdel Achrian, dan Sammy Notaslimboy. Bintang menuntut kompetisi politik yang adil agar menghasilkan pemimpin-pemimpin terbaik, sementara Abdur menyindir anak-mantu Jokowi untuk mencari pekerjaan sendiri, bukan mengandalkan bapaknya.
Kehadiran para komika dalam unjuk rasa akbar tersebut menggambarkan keberpihakan mereka kepada orang banyak. Tidak semua orang bisa mengartikulasikan kesulitan yang mereka alami dan membuat orang lain tertarik mendengar. Komika mengambil peran itu, sehingga keresahan masyarakat selalu jadi dasar dari setiap penulisan materi stand-up. Maka, sekilas, komika seperti ngedumel di panggung. Omelan ini sejatinya juga keluhan masyarakat yang disebarluaskan. Syukur-syukur turut sampai ke telinga para penguasa.
Mengingat peran tersebut, tak mengherankan bila kita melihat para komika muncul di panggung politik. Namun mungkin baru tahun ini para aktor ikut mengungkapkan keresahannya. Aktor menjadi terkenal justru dengan tidak menjadi dirinya sendiri. Orang tidak pernah benar-benar tahu isi kepala mereka, terutama ketika mereka juga tidak aktif di media sosial.
Fedi Nuril dicintai karena karakter yang ia mainkan, seperti Fahri dalam Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Ayat-Ayat Cinta 2 (2017). Maka, ketika Fedi aktif di media sosial membagikan opini politiknya, banyak orang, termasuk saya, kaget.
Fedi tampak santai dan lihai dalam membalas komentar-komentar nyinyir. Kerap memerankan tokoh kalem dan santun di film, gitaris band rock Garasi yang mengidolakan Noel Gallagher ini kerap mengumpat ketika diusik di media sosial.
Di Skakmat, saya menanyakan alasannya banyak membahas politik. Fedi mengatakan karena situasi saat ini makin menyulitkan dia untuk hanya berdiam diri. Ia merasa harus bersuara untuk berbagi pemahaman lewat media sosial.
Orang-orang yang secara politis berseberangan dengan Fedi sering menakut-nakutinya dengan menyebut filmnya tidak akan laku. Ancaman itu tidak terbukti. Film terbarunya masih dan selalu ditunggu-tunggu, termasuk 1 Imam 2 Makmum yang akan tayang pada 16 Januari 2025. Jangan ragukan kekuatan Fedi Nuril ketika memerankan orang yang menikah lebih dari satu kali.
Orang-orang seperti Fedi Nuril, Bintang Emon, dan Abdur Arsyad memilih ikut bertarung ketika zaman membutuhkannya.
Peran politik Abdur Arsyad paling terasa lewat karyanya. Tiga stand-up special—sebutan untuk konser tunggal bagi komika—terakhirnya selalu membahas isu sosial-politik. Ada “Pahlawan Perlu Tanda Jasa” yang membahas pendidikan dan “Black Camping”—tadinya berjudul “Black Campaign” tapi diganti karena menyulitkan perizinan—yang membahas keresahannya terhadap dunia politik. Kini, yang sedang berjalan, “Kontras” alias “Konten Transportasi”, membahas alasan transportasi umum menjadi hak dasar masyarakat yang seharusnya dipenuhi setiap pemerintah daerah.
“Konten Transportasi” mengukuhkan Abdur sebagai komika yang peduli terhadap kebijakan publik. Dari Pekanbaru sampai Makassar, dia tampil di 16 kota yang kebanyakan angkutan umumnya berantakan. Sebagian besar warganya mungkin tidak memiliki bayangan sistem transportasi publik yang ideal yang memudahkan akses menuju sumber penghasilan, pendidikan, dan kesehatan. Ironisnya, isu ini nyaris tak terdengar dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak 2024.
Panggung “Kontras” di Jakarta akan berlangsung pada 15 Februari 2025 di Balai Sarbini. Orang-orang yang menikmati karya Abdur sejak awal menyebut pembahasan soal transportasi publik ini yang paling lucu. Meski belum menonton, saya meyakini itu. Karena tidak ada yang lebih lucu dari pemimpin yang dipilih oleh rakyat tapi justru abai kepada rakyatnya.
Istilah zaman sekarang: “omon-omon doang”. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo