Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bola tengkorak

Tanah makam sirabanda di desa condong, kab. purbalingga, terbongkar karena longsor, hingga puluhan tengkorak berserakan. 20 anak bermain sepak tengkorak. malamnya, anak-anak itu sakit, diduga kualat.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI pun sepak bola. Hujan yang turun di Desa Condong, pertengahan Juni lalu, begitu derasnya. Tanggul di desa yang terletak di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, itu jebol. Tanah makam Sirabanda seluas setengah hektar ikut longsor. Akibatnya, batu nisan berserakan di mana-mana. Yang menyeramkan, puluhan tulang-belulang nyembul dari dalam tanah. Mirip di film The Killing Fields. Ada juga tengkorak. Seorang anak memungut tengkorak itu tanpa rasa takut. Lalu dibawanya ke lapangan bola dan ditendangnya. Seorang anak datang lagi, menendang. Lalu beberapa anak lagi datang. Jadinya, tengkorak itu ditendang-tendang. Jadilah permainan sepak tengkorak. Setelah dihitung, ada 20 anak. Maka dibentuk dua tim, dan pertandingan akhirnya berjalan seru. Cuma tak ada yang mau menjadi kiper, karena takut menangkap bola tengkorak itu. Sambutan penonton ternyata membludak. Penduduk yang tadinya berkumpul di kuburan kini beramai-ramai ke lapangan bola menyaksikan sepak tengkorak itu. Malah ada yang membawakan "bola cadangan" maksudnya tengkorak manusia juga. "Kami semula ngeri melihat anak-anak menendang tengkorak," kata Wardi. Pertandingan yang berlangsung selama 40 menit ini berakhir pukul enam sore dengan angka 4-2. Hasil lain, tiga tengkorak hancur berantakan. Hasil lainnya lagi, ketika malam tiba. Kedua puluh pemain bola itu mendadak meriang. "Badan saya terasa panas semua," kata Anto. Begitu juga yang dialami Mukhlis, Warsono, Dono, Nurulalamin, dan yang lain-lain. "Tubuh Nurul panas, saya selimuti pakai sarung. Anehnya, ia tak mau disentuh oleh siapa pun," cerita Samsuhadi, ayah Nurul. Esoknya, karena hari libur, Nurul yang tampak lelap dibiarkan saja oleh ayahnya. "Saya kira ia kecapekan saja," ujar Samsuhadi. Ditunggu-tunggu hingga tengah hari siswa kelas III madrasah tsanawiyah itu belum juga bangun. Samsu penasaran. Tubuh anaknya dia goyang-goyang. Tak ada reaksi. Ketika diperiksa lebih teliti, bapak empat anak itu kaget bukan kepalang. "Ternyata, anak saya sudah tiada," kata Samsu dengan mata basah. Kabar duka itu membuat penduduk Desa Condong dicekam kengerian. Tetua desa menganggap kematian Nurul ini akibat pembalasan roh yang merasa terganggu lantaran tengkoraknya dijadikan barang mainan. Sebagian lagi menduga karena tengkorak itu muncul dari makam keramat. Sebagian yang lain menduga, kematian Nurul biasa-biasa saja, sakit dan terlambat mendapat pertolongan. Dugaan Anda, bagaimana, sih ? Yusroni Henridewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus