Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bukan manusia sembarang manusia

Pengarang : p. leenhouwers. jakarta : gramedia, 1988. resensi oleh : toeti heraty noerhadi.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANUSIA DALAM LINGKUNGANNYA: Refleksi Filsafat tentang Manusia Oleh: P. Leenhowers Penerbit: Gramedia, Jakarta, 1988, 309 halaman BUKU Manusio dalam Lingkungannya menguraikan suatu refleksi tentang manusia, yang merupakan penugasan kongkret. Bagaimana pelaksanaan tugas itu? Jawabannya: kita perlu pengetahuan. Tapi bukan pengetahuan sehari-hari, pengetahuan pra-ilmiah, yang terkadang berupa sensasi. Ia juga bukan pengetahuan ilmiah yang hanya empiris dan eksperimental. Lewat ilmu, misalnya, tetapi tidak terjawab: Apa itu kematian ? Mengapa manusia berhakikat sosial? Filsafat biasanya memberikan jawaban abstrak dan umum. Tapi, kali ini, dijanjikan jawaban kongkret karena pokok masalah adalah eksistensi manusia. Eksistensi ini diartikan sebagai penghayatan seorang aku. Aku ini selalu unik. Apalagi, kini, kehidupan modern membenamkannya dalam alineasi. Manusia dibingungkan kehidupannya sendiri, karena pegangan-pegangan tradisi telah luput. Lewat filsafat sebetulnya yang dicari adalah kebenaran. Sulitnya, di satu pihak kita tidak mau dogmatis, di lain pihak tidak mau skeptis. Kebenaran itu mestinya satu kaitan antara tatanan pemikiran dan tatanan realita. Logis dan ontologis sekaligus. Kebenaran sekaligus juga nisbi karena bervariasi menurut luas dan sempitnya jangkauan manusia. Pendek kata, cukup alasan untuk menyebut pengetahuan itu bercakrawala ganda -- yang batasnya bergeser terus. Jadi, harus toleran pada yang sesat. Kita dapat belajar dari mereka juga. Ciri manusia tak pernah rampung, karena memiliki kesadaran diri yang bebas dan bertanggung jawab terhadap hidupnya. Ini berarti kesadaran diri itu cukup repot. Tapi perlu disadari ia bertubuh yang terarah dan terbuka. Keterarahan ini membuat ia hidup di dunia dalam keterarahan dengan sesama manusia, alam, dan Tuhan. Ia terikat pada cita-cita yang baik, bukan manusia asal-asalan. Patokannya adalah hati nurani pribadi Kebebasan manusia bertautan dengan kemauan, dan merupakan satu realita yang kompleks. Kebebasan terjalin pada situasi kongkret -- menyangkut sikap batin terhadap situasi. Kebebasan berarti memilih dan menerima, dan sekaligus meniadakan pilihan lain. Kalau kebebasan manusia begitu mutlak, apakah Tuhan tidak mendapat tempat? Menurut Filosof J.P. Sartre memang tidak. Tapi anggaplah kebebasan itu rahmat Tuhan, sebagai sarana perwujudan "aku" dalam rangka penugasan kongkret tadi. Dengan menempuh metode fenomenologis telah diadakan refleksi filsafat. Hasilnya ialah butir-butir pengetahuan tentang aku yang terarah dalam berbagai konteks. Hukum adalah penafsiran kongkret tentang hidup ideal manusia yang berupa penugasan. Kekuasaan ditopang fakta kenyataan hidup manusia yang belum selesai, dan atas keunggulan moril memberi uluran tangan demi pengembangan diri. Keterjalinan sosial pun fakta eviden -- tak perlu dibuktikan lagi. Cinta dianggap dasar ideal keterjalinan ini. Keadilan dan cinta saling menopang. Keadilan adalah cara memberi dan menjamin menurut hak, cinta menopangnya atas dasar pengakuan "aku" dan sikap memberi. Kemudian, kerja adalah hubungan dinamis dengan dunia: "bersibuk dengan dunia penuh keprihatinan." Sedangkan teknik berarti penyesuaian diri dengan realita. Baik kerja maupun waktu senggang menjadi bentuk penghayatan khusus dalam peningkatan manusiawi. Akhirnya, para filosof, meskipun tidak berargumentasi membuktikan Allah, berpendapat pengingkaran Allah tidak dapat dibenarkan. Mereka sudah takjub pada misteri manusia. Allah yang tidak dituntut oleh akal budi menjadi hipotesa kerja keberhinggaan manusia. Dari segi emosional pun Allah dianggap proyeksi manusla sala dan melemahkan. Dalam pandangan ini, ateisme wajar-wajar saja sebagai sikap keprihatinan terhadap manusia. Ateisme tidak lain dari pengakuan bahwa kita tidak akan mengenal Allah secara menyeluruh. Manusia akan menciptakan Allah menurut citranya sendiri. Di sini ateisme mempunyai fungsi: menisbikan gambaran kaku dan mutlak. Sedangkan dalam keimanan diikutsertakan aspek dinamis keterarahan pada Allah. Penyajian masalah-masalah hidup kongkret telah direnungkan dan disajikan jawabannya lewat upaya terpadu: lewat satu metode, fenomenologi. Lewat Mansia dalam lingkungannya, pertanyaan tentang hati nurani, hukum, kekuasaan, kerja, cinta, dan Allah terjawab tuntas. Sambil tetap membuka peluang luas untuk tindak lanjut: merenungkan sendiri dari situasi kongkret dan pribadi. Ini sebenarnya sangat ambisius, tapi sekaligus berhasil. Biasanya fenomenologi dianggap esoterik. Tapi kali ini komunikatif menyampaikan hasil-hasil renungannya. Apalagi seandainya "cinta" dalam keterjalinan manusia diganti dengan "kasih". Sayangnya, ada uraian yang terasa berulang-ulang, dan rangkuman seusai tiap bab tidak pula banyak membantu. Tapi terasa -- filsafat sebagai hikmat membantu pelaksanaan tugas kongkret: hidup sebagai manusia. Toeti Heraty Noehadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus