Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angin kencang berembus di pelataran Sanggar Bona Alit. Sudah tengah malam, tapi 50 musikus masih terus berlatih di beranda sanggar. Sebagian menabuh gamelan tradisional Bali. Sisanya memainkan bas sembari mengentakkan kaki. Ada pula yang menabuh gendang sampai tangannya memerah. "Setiap malam kami berlatih untuk mengisi acara televisi," kata I Gusti Ngurah Adi Putra, pemimpin sanggar. Hasil latihan itu ditayangkan di televisi Bali pada April lalu.
I Gusti Ngurah Adi Putra—biasa dipanggil Gung Alit—adalah maestro musik Bali yang dikenal karena karya-karyanya yang eksperimental. Sanggarnya kerap memainkan gamelan tradisional dengan alat musik yang bukan padanan lazim: kecapi, rindik (perkusi bambu mirip angklung), hingga shamisen, alat musik petik Jepang. Komposisi baru ini mengiringi pergelaran tarian kecak dan teater tradisional Bali.
Keunikan ini membuat Sanggar Bona Alit laris di Jepang, Hong Kong, Cina, hingga Korea Selatan. Merry, 35 tahun, mahasiswi asal Jepang, mengaku tertarik belajar gamelan setelah melihat penampilan mereka dua tahun lalu. "Bunyinya akrab di telinga," ujarnya. Etnomusikolog Franki Raden memuji Gung Alit sebagai maestro Bali yang langka. "Tokoh semacam ini penting karena mampu membawa tradisi dalam konteks masyarakat modern," katanya kepada Tempo.
Gung Alit mengenal gamelan dari ayahnya, Anak Agung Rai, penari kecak sejati. Pada usia 10 tahun, ia sudah mahir memainkan gendang, saron (alat musik pukul dari lempengan logam), gong, dan gitar. Bosan, Gung Alit mencari bunyi baru dengan memadukan berbagai instrumen. Ia berhenti kuliah dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar agar berfokus pada eksperimen musiknya. Pada 1996, ia mendirikan sanggar.
Awalnya anggota sanggar cuma enam orang. "Tak banyak yang mau bergabung di awal karena menganggap saya tak punya uang," tuturnya. Tapi mereka yang cocok setia berada di sanggar selama bertahun-tahun. Supatra, 30 tahun, penabuh gamelan dari Sukowati, sudah sembilan tahun hidup di sanggar. "Ilmu saya terasah setiap kali pentas," ujarnya.
Gung Alit menyatakan tak pernah ada yang memprotes komposisinya yang nyeleneh. Ia justru mendapat kritik karena kerap memprotes para seniman yang rela berpentas dengan imbalan tak sepadan. "Mereka terlalu berorientasi ke pasar, sehingga daya ciptanya rendah," kata Gung Alit.
Ia juga diprotes ketika menciptakan gamelan bambu pada 1999. Kala itu, Gung Alit tak mampu membeli seperangkat gamelan. Ia mencoba-coba membuat gamelan dari bambu—karena murah dan mudah didapat. Mereka yang tak suka pada inovasinya kontan meninggalkan sanggar. "Mereka berpikir gamelan ya harus dari lempengan logam," Gung Alit menjelaskan.
Saat itu, datang serombongan mahasiswa Jepang yang ingin berguru karena mendengar berbagai inovasinya. Sejak itu, setiap tahun Gung Alit membuka kursus singkat gamelan dan tari Bali bagi wisatawan. Undangan berpentas di sejumlah negara datang sejak 2000. Dia juga menjadi dosen tamu di Hong Kong. Lima bulan lalu, kelompok gamelan ini berkeliling Australia setelah manggung di Shanghai Festival. "Hampir setiap tahun selalu ada undangan," ujar Agung Wahwe, produser Gung Alit.
Mereka juga pernah manggung di tempat-tempat yang tak biasa. Misalnya Rumah Sakit Jiwa Solo dan Rumah Sakit Jiwa Bangli, Bali. Dalam ingatan Gung Alit, semua pasien menjadi tenang ketika mereka tampil. "Mungkin musik bisa membantu penyembuhan, seperti di masa lalu," kata sang maestro.
Sanggar Gung Alit telah menciptakan tiga album. Dan kini mereka tengah melangsungkan rekaman album keempat. "Sambil mengisi berbagai festival musik," ujarnya seraya tersenyum.
Syari Fani, Sadika Hamid (Jakarta), Rofiqi Hasan (Gianyar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo