Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jembatan Bacem
Sutradara: Yayan Wiludiharto
Produser: Rini Pranatawati, Zaenal Abidin
Produksi: Elsam dan Pakorba Solo
Bunga itu ditaburkan di Jembatan Bacem baru di perbatasan Solo-Sukoharjo. Kelopak-kelopaknya hanyut terbawa air Bengawan Solo. Tabur bunga menjadi penanda untuk mengingat mereka yang tak pernah kembali. Adegan ziarah itu menjadi pengantar film ini kepada kenangan beberapa orang laki-laki.
Bibit, lelaki tua dengan kumis tebal, bercerita bagaimana bunyi letusan bedil menjadi tanda hilangnya satu demi satu nyawa tahanan anggota Partai Komunis Indonesia dan onderbouw-nya di sekitar Solo dan Sukoharjo. Dia pun berkisah bagaimana terpaksa ikut membantu menghilangkan para korban di Bengawan Solo itu. "Saya mau dibedil kalau tidak bersedia membantu."
Lalu ada pula Mulyadi. Pria agak botak dan gemuk itu berjalan menuju Sasono Mulyo. Di tempat itu ia pernah ditahan pada 1965-1967. Ia berkisah betapa tiap malam saat itu tegang menunggu nasib, apakah akan dibon (istilah untuk tahanan yang dipinjam untuk diinterogasi) atau dipindahkan ke tempat lain.
Film ini sederhana. Jangan bayangkan film ini kaya akan footage potongan gambar atau video yang mengagetkan. Penonton tak perlu sepenasaran seperti menonton film The Act of Killing besutan Joshua Oppenheimer. Yayan Wiludiharto, sang sutradara, memang menyajikan rekonstruksi demi rekonstruksi yang dibangun dari wawancara para pelaku dan korban. Namun jangan bandingkan dengan rekonstruksi yang disajikan Oppenheimer.
Joshua Oppenheimer mampu mengangkat sosok Anwar Congo si Jagal dari Medan Area, Medan. Ia berhasil menampilkan sosok itu hingga muncul pada penonton gambaran pergulatan batin si jagal yang penuh paradoks. Bagaimana ia bisa menyajikan karakter Anwar yang riang gembira dan tak menyesali kekejiannya. Sedangkan Yayan hanya menampilkan pengakuan Bibit dan satu pelaku lain serta korban sebatas wawancara, meskipun dia sudah melakukan pendekatan yang cukup intens.
Yang sedikit menyesakkan adalah cerita yang dibeberkan Barjo, 82 tahun, asal Purwodadi. Cerita menjadi semakin kuat dengan sketsa yang muncul di layar. Lelaki sepuh berkepala botak ini juga bercerita bagaimana dia menyelamatkan diri dari maut. Sketsa-sketsa yang menguatkan film Yayan seperti memenuhi lagi pikiran lelaki ini. Jumat, 24 April 2013, Barjo hadir dalam pemutaran film ini di GoetheHaus. Dia mengaku seperti diseret lagi ke masa lalu melihat tayangan film yang dipenuhi sketsa karya Arif Hidayat. Penonton rasanya juga bisa terbawa ke dalam peristiwa itu.
Yayan membuat film ini sejak 2007, tapi sempat terhenti karena kendala biaya. Dia juga baru bisa mendapatkan wawancara dari tokoh inti, Barjo, korban selamat yang luput dari malaikat maut 1965, pada September tahun lalu. Sebagai film independen, bolehlah film ini memperpanjang deretan film dokumenter untuk mengungkap peristiwa kelam 1965. Beberapa narasumber saat diskusi Jembatan Bacem menyebut film ini "Jagal versi Solo", meskipun tak sekuat dan sedalam garapan Joshua Oppenheimer. Pengakuan mereka yang ikut menjadi pelaku menjadi perspektif baru yang selama ini tak muncul dalam film dokumenter tentang 1965, karya orang kita sendiri.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo