Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada suatu malam yang cerah di Kota Sharjah, di pelataran depan Sharjah Art Museum, saya berada di salah satu kerumunan orang yang ramai menonton pertunjukan menabuh drum. Ada sepuluh orang dari berbagai negara memainkan drum, dalam suasana spontan dan penuh improvisasi. Mereka seolah-olah memainkan satu narasi bersama, lalu berkomunikasi melalui tabuhan drum, dan mengajak penonton terlibat dalam kegembiraannya.
Pertunjukan ini adalah proyek dari seÂniman Libanon, Tareq Atui, yang memang dikenal dengan improvisasi bunyi yang eksperimental. Entah mengapa, pertunjukÂan terbuka itu terasa membagikan kegembiraan banyak orang dengan cara sederhana.
Tareq Atui menggelar pertunjukannya selama seminggu sepanjang pembukaan Sharjah Biennial 2013, yang resminya berlangsung mulai 13 Maret hingga Juni mendatang. Sharjah Biennale adalah salah satu hajatan seni terbesar di kawasan Arab dengan sejarahnya yang panjang (lebih dari 20 tahun). Kurator perhelatan tahun ini adalah Yuko Hasegawa (Jepang), yang sukses dengan Istanbul Biennale 2001. Dia pernah menjabat Direktur Museum Kanazawa 21st Century dan sekarang menjadi Direktur Museum of Contemporary Art Tokyo.
Hasegawa mengambil inspirasi kuratorialnya dari lanskap arsitektur Sharjah yang unik, yang penuh fenomena courtyard (halaman). Karena itu, ia memberi judul Re:emerge: Towards A New Cultural Cartography. Halaman dilihat sebagai sebuah platform pertemuan yang berada antara yang publik dan yang privat, yang tertutup dan yang terbuka, yang personal dan yang politis.
Sharjah Biennale, meskipun tidak banyak menampilkan karya over-bombastis, dengan caranya sendiri menunjukkan komitmen yang tinggi dari penyelenggara untuk menggelar satu perhelatan internasional yang mapan dan terorganisasi. Sebagian besar karya dipajang di gedung-gedung bersejarah di Sharjah, terutama di kawasan Arts Square, Calligraphy Square, dan Sharjah Museum of Art. Mereka juga menyulap sebuah bangunan bank menjadi ruang pamer. Banyak juga seniman yang memanfaatkan ruang publik dan membangun karya yang bisa berkomunikasi langsung dengan masyarakat lokal.
Salah satu karya yang paling menonjol adalah karya seniman kolektif Denmark, Superflex, yang membangun taman bermain anak-anak di sebidang tanah luas di pusat kota. Superflex, bekerja bersama komunitas untuk mewujudkan taman bermain ini, meminta mereka mendata jenis permainan yang diinginkan dan aktivitas apa saja yang hendak mereka lakukan di sana. Begitu taman bermain itu berfungsi, karya ini menjadi ruang publik baru bagi masyarakat sekitar. Setiap hari, terutama menjelang petang, warga berkumpul di sini melakukan berbagai aktivitas.
Selain Superflex, karya lain yang menarik di ruang terbuka adalah karya dari kelompok arsitek SANAA: Bubble, yang membuat bola-bola besar tembus pandang, seperti gelembung sabun. Sederhana dalam bentuk, tapi menciptakan kesan puitis dengan latar belakang bangunan tua di Calligraphy Square, bola-bola terbuat dari akrilik ini diisi dengan bangku kecil dari stainless steel yang mengundang penonton untuk duduk dan menjadi bagian dalam ruang baru ini.
Saya juga menikmati instalasi seniman Ernesto Neto, e Culture Moves Us Apart, Nature Brings Us Together, yang terinspirasi dari sebuah perjalanannya di padang pasir Sharjah. Karya ini merupakan struktur terbuat dari jala plastik, yang menjadi khas seniman asal Brasil ini, dengan taman mungil di tengahnya, tempat orang bisa melihat air selalu menetes pelan dari atas. Untuk menciptakan efek air ini, setiap hari Neto meletakkan dua balok es di puncak struktur.
Di luar karya-karya luar ruang, Hasegawa mengundang banyak seniman video, yang nyaris mendominasi presentasi karya. Yang paling menonjol adalah karya seniman kelahiran Ghana, John Akomfrah, The Unfinished Conversation, yang terdiri atas tiga layar video, menampilkan kisah hidup legenda intelektual Stuart Hall, yang memungkinkan ia berbicara tentang pascakolonialisme, rasisme, politik identitas, politik ingatan, dan banyak aspek politik lain dengan fokus pada penceritaan persona Hall. Meski menggunakan pendekatan dokumenter, Akomfrah memanfaatkan bahasa-bahasa visual yang segar dan puitis, jauh dari jargon dan heroisme.
Seniman Meksiko, Francis Alys, menggelar proyeknya yang kompleks tentang Selat Gibraltar, menampilkan instalasi, lukisan, peta, dan film pendek tentang pemisahan Eropa dan Afrika. Karya ini merupakan salah satu karya yang dengan mudah memprovokasi daya estetika kita, karena indah dan sederhana, tapi juga menantang pemahaman kita akan sejarah dua benua yang terpisah ini, dalam kacamata kanak-kanak. Bintang Asia, Apitchapong Weerasethakul, berkolaborasi dengan Chai Siri, menggambarkan kehidupan pekerja Bangladesh di Uni Emirat Arab, yang bergelut dengan pertumbuhan kota yang pesat, dari situs konstruksi satu ke yang lain.
Dari Jazirah Arab, karya seniman video banyak memberikan suara kritis terhadap pola kehidupan sosial, pertumbuhan urban, dan ketegangan politik, yang sebagian besar disampaikan dengan halus dan acap terlalu rapi. Salah satunya karya Wael Shawky (Mesir), yang menafsir tulisan Mohamed Mustagab, di mana, sebagaimana beberapa proyek video sebelumnya, ia menggunakan figur anak-anak yang berperan sebagai orang dewasa, sehingga penonton seperti dipaksa untuk melihat sejarah dari kacamata anak kecil.
Jananne al-Ani, seniman Arab Saudi, menampilkan tiga modus melihat kartografi hari-hari ini, yang mempengaruhi pula bagaimana manusia memperlakukan alam. Ia mengambil gambar dengan kamera yang menelusuri lanskap wilayah tertentu di tengah gurun pasir, menggerakkan kamera videonya sedemikian rupa sehingga representasi lanskap ini menjadi sesuatu yang abstrak, bahkan menjadi serangkaian gambar semirealis yang sangat indah dan menyerap.
Modus serupa Al-Ani bisa ditemukan pula pada karya Nevin Aladag, yang memanfaatkan sumber bunyi tradisional dan membuatnya menjadi subyek yang hidup dari latar belakang kehidupan Kota Sharjah. Aladag menampilkan tiga layar video yang menggambarkan alat bunyi ini meluncur di padang pasir, jalanan kota, rumput-rumput yang selalu hijau, dengan langit biru yang menawan. Nyaris terlalu indah.
Seniman Indonesia yang ambil bagian pada Sharjah Biennale ini adalah Tintin Wulia. Sesuai dengan kata kunci "kartografi", Tintin menggelar kembali pertunjukannya yang baru saja ditampilkan di Art Stage Singapura pada Januari lalu, Terra Incognita Et Cetera. Tintin mengundang audiens untuk bermain, menandai, dan membangun sendiri negara mereka dari peta dunia yang tanpa nama, tanpa negara.
Banyak karya yang sangat kuat ditemukan pada Sharjah Biennale 2013 ini. Yuko Hasegawa juga menampilkan keberagaman latar belakang budaya yang cukup berimbang, sehingga kita tidak merasakan biennale ini sebagai Eropasentris—yang biasanya terjadi pada pameran besar di Eropa—tapi juga tidak melulu berfokus pada jazirah Timur Tengah itu sendiri.
Tampaknya gagasan tentang keseimbangan itu pada akhirnya menjadi serba kompromi, di mana semua hal yang sering dipertentangkan dalam kategori berbeda dalam seni rupa kontemporer tampil dalam satu panggung. Selain berani mengundang seniman muda, Hasegawa bekerja dengan seniman sangat mapan, seperti Matthew Barney dan Gabriel Orozco. Hasegawa juga menampilkan perpaduan karya-karya kontemporer yang berbasis proyek, dengan modus estetika konvensional seperti karya dari seniman legendaris dari Iran, Monir Shahroudy Farmanfarmaian. Keduanya menunjukkan perspektif yang berbeda tentang keindahan.
Pergelaran yang "serba ada", menampilkan semua pendekatan dan kemungkinan dalam seni rupa kontemporer hari ini, tampaknya memang menjadi titik tengah menghadapi tuntutan untuk lebih populer dan bertaut dengan masyarakat lokal. Ini juga yang membuat karya-karya yang ditampilkan tidak terasa "garang" dan penuh statement, tapi cenderung mengajak berpikir diam-diam, sehingga tidak serta-merta provokatif untuk publik umum. Untuk konteks Sharjah, di mana yang disebut masyarakat lokal ini sendiri sebenarnya merupakan sekumpulan besar pendatang (hampir 60 persen warga Sharjah adalah pekerja asing), pilihan Hasegawa untuk menjadikan biennale-nya sebagai peristiwa seni serba ada tampaknya menjadi relevan.
Alia Swastika, pengamat seni rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo