Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepasang matanya terhunjam ke helai kertas berisi catatan musik. Kedua tangannya memegangi marwas. Jefri memejamkan mata seraya menabuh alat musik tepuk berbentuk bulat itu. "Gambar not putih untuk pukulan berbunyi dung dan not hitam untuk pukulan berbunyi tak," kata remaja 16 tahun itu kepada Tempo, yang berkunjung ke desanya, Maret lalu. Tak lama berselang, mengalun petikan gambus. Melodi pembuka itu jeda sejenak, lantas disusul ketipak-ketipung marwas.
Kelompok musik Sayang Bengkalis di Desa Meskom, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, melakukan itu setiap malam. Berdiri sejak 2000, sanggar ini punya sekitar 40 anggota. Anggota kelompok ini, menurut ketuanya, Hary Kumbara, kebanyakan anak muda dengan kemahiran memodifikasi musik Melayu. Mereka rutin ke Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam. Mereka juga pernah hadir dalam festival folklor di Minturno, Italia, pada 2002.
Dari Bengkalis, Tempo beranjak ke Tanjung Pinang dan bertemu dengan Lukman Hakim Alkhair, 35 tahun. Ia ketua Sanggar Balai Gendang di ibu kota Provinsi Kepulauan Riau itu. Kegiatan 30 anggota sanggarnya adalah mengisi acara kebudayaan pemerintah. Mereka juga rutin ke Malaysia.
Lukman bercerita bahwa dulu ia susah mengajak anak muda bermain musik Melayu. Banyak yang menganggapnya rumit. Ia lalu menggunakan pendekatan baru, mengajarkan gambar not musik, dan membebaskan eksplorasi bunyi. Peminat jadi banyak. "Gambar not dengan warna hitam dan putih mudah dihafal. Saya juga bebas mengeksplorasi bunyi," ujar Reza Syahputra, 14 tahun, anggota sanggar asuhan Lukman.
Kedua pemimpin sanggar musik itu mengaku mahir memodifikasi musik Melayu sejak belajar dari komposer asal Padang, Nedy Winuza, 52 tahun. Nedy pernah mengelola Sanggar Malay, yang berada di bawah asuhan Taman Budaya Riau, pada 1988-1990. Kembali ke Riau pada 1997, dia mendapati jarang sekali ada festival musik Melayu. Pemain musiknya pun rata-rata berumur 50 tahun ke atas.
Hary membenarkan temuan Nedy. Seniman lokal tak mengenal pencatatan bunyi dan modifikasi. Mereka hanya mengikuti cara bermain leluhur yang diturunkan secara lisan. "Ini membuat musik tradisional Riau monoton," katanya. Perubahan terjadi setelah mereka mengikuti sejumlah workshop Nedy. Sang komposer meminta para seniman lokal tak hanya memainkan lagu yang sudah ada. Ia memberi contoh jenis-jenis bunyi baru.
Karena seniman itu rata-rata buta huruf, Nedy menggunakan not yang biasa digunakan pada alat musik perkusi. Not hanya dibuat satu bentuk dan dibedakan warnanya, hitam dan putih. Ia lalu meminta setiap orang bermain sambil mencatatkan bunyi ke dalam gambar not.
Nedy membolehkan para pemain memodifikasi bunyi musik. Nada tak boleh diganti, tapi temponya boleh diubah. Misalnya, pola pada musik pengiring zapin selalu dung-tak-tak-dung, tapi bisa dimodifikasi menjadi tara… tak-tak-tak-dung.
Dia pernah mengajar delapan kelompok seniman selama satu bulan di wilayah Kepulauan Riau. "Kami belajar di mana saja. Saya pernah melatih di tenda di tengah kebun sawit. Kadang ada babi hutan yang melintas," ujarnya. Seusai workshop, Nedy tetap membantu muridnya. Dalam sebulan ia bisa mengunjungi Riau tiga kali.
Saat seniman mulai bisa mencatat dan memodifikasi bunyi, kepercayaan diri mereka muncul. Nedy lalu mendorong mereka membuka sanggar baru, agar bisa pentas. Banyak yang mengikuti sarannya, seperti Hary dan Lukman. Kini 12 kabupaten di Riau setidaknya memiliki empat sanggar. Anggota setiap sanggar sekitar 50 orang. Nedy mendapat banyak apresiasi. "Ia telah membantu preservasi budaya musik Melayu Riau," kata Sopandi, pengamat musik Melayu.
Syari Fani, Wibisono Notodirdjo, Sadika Hamid (Jakarta), Ryan Nofitra (Riau), Febriyanti (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo