Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bangkit dari Mati Suri

Dialog Industri Musik di Jakarta pada 18 April lalu mencatatkan hasil, antara lain: banyak tokoh musik Indonesia tetap kukuh mempertahankan identitas musik negerinya—di tengah gempuran budaya asing. Mereka tak hanya ada di kota-kota besar. Sejumlah musikus di pelosok Indonesia berhasil menghidupkan kembali musik-musik daerah dari mati suri dengan inovasi baru. Sebagian dari mereka berada di bawah radar, tak terdeteksi pantauan media. Mereka meluaskan lingkup instrumen tradisional dari pelosok-pelosok Tanah Air ke dunia internasional. Tempo menemui beberapa musikus itu, dari Maluku, Riau, dan Bali.

5 Mei 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Orkestra dari Dusun
Seorang musikolog dari Ambon menghidupkan kembali suling bambu yang sudah langka. Instrumen itu dikemas dalam bentuk orkestra agar memikat pendengar baru.

Sekitar dua puluh peniup suling bermain di depan rumah setengah jadi di Dusun Tuni, kawasan Gunung Soya, sekitar sembilan kilometer dari Kota Ambon. Sebagian atap rumah itu terbuat dari rumbia, dengan dinding pelepah sagu. Nada seruling yang tinggi, ringan, dan riang menembus hening malam. Dari kawasan setinggi 500 meter dari permukaan laut itu, para musikus bisa melihat lampu Kota Ambon bekerlip bagai kunang-kunang.

Mereka adalah anggota Molucca Bamboo Wind Orchestra—orkestra suling asal Ambon. Di malam itu, bukan hanya mereka yang bermain. Anggota orkestra yang lain berlatih di empat tempat berbeda. Lokasi yang paling dekat 1,5 kilometer dari sana. "Kami berlatih secara terpisah. Baru menjelang pentas kami latihan bersama. Lebih efektif," ujar Maynard Raynolds Nathanael Alfons, pemimpin kelompok pesuling ini, tatkala ditemui Tempo pada Maret lalu.

Rence—panggilan Maynard Raynolds Nathanael Alfons—memimpin orkestra beranggotakan seratus pemain suling serta lebih dari seratus pemain tifa, totobuang (gong kecil), gitar, keyboard, dan instrumen lain itu.

Sebagian besar anggota Molucca Bamboo Wind Orchestra—biasa disingkat MBO—bukan musikus profesional. Mereka tukang ojek, penyadap nira, pengemudi becak, montir, guru sekolah dasar, pegawai negeri, pensiunan polisi, mahasiswa, pelajar, wiraswasta, dan pekerja serabutan. Rentang usianya 11-71 tahun.

Penggemar mereka dari segala usia dan kalangan. Prihe Letlora, gadis Ambon 26 tahun, menyukai musik MBO karena inovatif. "Mereka tak hanya memainkan musik tradisi, tapi juga jago musik Barat," katanya. Prihe mengaku terpikat pada MBO ketika kelompok itu melantunkan lagu Queen—grup rock asal Inggris—dengan suling. Charley Alfons, 36 tahun, tak pernah mendengar suling dikemas menjadi orkestra sebelumnya, "Ketika mereka bermain ramai-ramai, suaranya sangat indah," ujarnya.

Orang Maluku mengenal suling sejak akhir abad ke-16. Tiga abad kemudian, misionaris asal Belanda, Joseph Kam—yang dijuluki "Rasul Maluku"—membuat suling semakin populer. Ia memperkenalkan paduan suling untuk mengiringi nyanyian jemaat gereja. Sejak itu, alat musik tiup ini mengiringi upacara adat, ritual gereja, ritual kematian, serta perayaan 17 Agustus di kampung.

Tapi pada 1990-an suling ditinggalkan, kalah pamor dibanding trompet, keyboard, dan gitar. Di kebanyakan gereja, suara suling tak lagi terdengar. Kalaupun ada, hanya di pelosok. Itu pun mati segan hidup tak mau.

Rence prihatin melihat suling bambu tergeser. Menurut dia, alat musik bambu ini tak populer lagi karena aransemennya tak digarap serius. "Suara suling bambu itu kecil. Butuh banyak suling untuk membuat suara yang 'tebal'," kata pria 46 tahun itu. Terpikirlah ia membuat orkestra suling dengan aransemen dan komposisi modern. Dengan konsep baru ini, ia memulai misi menghidupkan kembali suling Maluku pada 2005.

Dia berburu pemain dari desa ke desa. Syaratnya tak macam-macam: yang penting rajin berlatih. "Saya ingin pemain dari beragam latar belakang. Suling jadi pemersatu mereka," ujarnya. Saat itu tidak banyak orang yang tertarik pada musik ini. Regenerasi juga sedikit.

Cara mendekati calon pemain adalah sembari minum kopi. Tak sedikit yang sinis menanggapi ajakannya. Suling dianggap ketinggalan zaman. Ia mengubah strategi perekrutan. "Saya ajak mereka mengubah paradigma orang Maluku tentang suling," katanya. Ia meyakinkan mereka bahwa suling bisa jadi menarik.

l l l

Ada sekitar 30 orang yang mula-mula bergabung dengan Rence. Sebagian di antaranya mantan pemain suling di gereja—tapi banyak yang sama sekali tak pernah menyentuh alat musik tiup. Salah satunya Alexander Alfons, 67 tahun, pensiunan polisi. Sejak remaja, ia bermain suling di gereja. "Saya bangga bisa mempopulerkan suling lagi," ujarnya.

Sang musikolog juga merekrut pemain totobuang, tifa, dan rebana—semuanya instrumen tradisional Maluku yang mulai langka. Sama seperti terhadap pemain suling, Rence "berburu" dari desa ke desa mencari pemain yang tepat. Untuk pemain rebana, misalnya, ia menjelajahi desa muslim, seperti Desa Batu Merah dan Waihaong. "Musik jadi alat rekonsiliasi antar-agama yang ampuh," katanya.

Setelah masalah pemain beres, Rence mulai membuat suling. Awalnya, ia mencoba membelinya di toko. Tapi tidak ada lagi yang menjualnya. Rence lalu membuatnya sendiri, dibantu pemain yang baru direkrut. Lulusan Musikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini pernah belajar membuat suling dari ayahnya, Max Alfons (almarhum), musikus gereja.

Bersama para musikus, dia mencari bambu—bahan baku suling—di hutan dekat rumahnya. Bambu kemudian dijemur selama sebulan sampai kering. Setelah kering, bambu diampelas untuk mencegah bentuknya berubah karena cuaca, lalu dilubangi menggunakan pula-pula, besi sepanjang 20 sentimeter yang dipanaskan.

Karena mereka belum berpengalaman, beberapa kali percobaan membuat suling gagal. Tatkala ditiup, nadanya kerap sumbang. Banyak bambu terbuang sebelum didapatkan 30 suling dengan nada yang pas.

Berawal dari obrolan santai dengan Wali Kota Ambon—teman Rence di masa kuliah—MBO lalu diundang mengisi acara dalam perayaan ulang tahun kota pada pertengahan 2005. Ketika itu, pemerintah kota ingin menampilkan kesenian asli Maluku.

Karena sebagian besar anggota amatir, Rence mengajarkan bermusik dari nol. Satu per satu diberi tahu cara menempelkan bibir ke suling. Rata-rata pemain juga tak bisa baca not balok, sehingga sang konduktor menulis notasi angka di partitur.

Mereka berlatih rutin sekali seminggu, selama tiga bulan. "Bayaran"-nya hanya makanan ringan dan segelas air mineral, diambil dari kocek Rence. Pada 7 September tahun itu, orkestra musikus amatir ini berpentas di Lapangan Merdeka, Ambon, disaksikan ribuan orang. Mereka menampilkan empat lagu yang populer di Ambon, antara lain Spirit Ambon karya Franky Sahilatua.

Sambutan penonton meriah. Terkesan, Semmy Toisuta, Kepala Taman Budaya Maluku, memasukkan MBO ke agenda tahunan lembaga yang dipimpinnya. Penonton bisa melihat mereka setiap tahun tanpa pungutan biaya.

Ada sejumlah alasan Semmy tertarik pada MBO. Pertama, menurut dia, musik bambu sudah langka, hanya dimainkan dalam upacara agama atau adat. "Berkat MBO, suling dinikmati kalangan luas," ujarnya. Ia juga senang MBO mempersatukan beragam komunitas dari berbagai kelompok, status sosial, dan agama. "Mereka juga tak takut bersaing dengan musik modern," ujarnya.

Keberagaman itu juga yang memikat Carlo Labobar, seniman musik Ambon. "Hanya satu kekurangannya, mereka baru memainkan dalam satu kunci D," katanya. Ia berharap MBO bertahan lama. "Pemerintah harus membantu menjaga mereka," ujar alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu.

Sejak itu, tawaran berdatangan. Orkestra ini diundang konser di Maluku dan Jakarta. Mereka kerap manggung di acara nasional, seperti perayaan Natal nasional atau Proklamasi di Istana Negara. Konser "Real Wow Sound from the East" pada Desember 2012 di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, adalah yang paling mutakhir. Selain bermain sendiri, malam itu mereka mengiringi penyanyi beken Maluku, seperti Bob Tutupoli, Glenn Fredly, dan Michael Mailuhu.

Orkestra ini biasanya memainkan lagu-lagu populer Maluku, Indonesia, dan Barat, seperti Rayuan Pulau Kelapa karya Ismail Marzuki, St. Elmo's Fire karya David Foster, dan lagu dangdut Kopi Dangdut, untuk meramaikan suasana. Terkadang mereka memainkan aransemen Rence, seperti New Face, yang dikarang semasa kerusuhan Ambon.

Jumlah anggota MBO membengkak hingga 210 orang. Selain pemain suling, tifa, totobuang, dan rebana, ada musikus drum, bas, gitar, keyboard, saksofon, ukulele, dan biola. Banyak pemain muda ikut bergabung. Salah satunya Alesandro Kastanya, 13 tahun. Murid sekolah menengah pertama itu harus berjalan kaki empat kilometer dari desanya ke lokasi latihan. "Sejak dulu, saya senang main suling, tapi di sini jadi semakin mahir," ia mengungkapkan alasannya bertahan.

l l l

Sementara awalnya sulit mencari pemain, sekarang mereka terpaksa sering menolak orang. Daftar tunggu mencapai sekitar 50 orang. Tapi MBO sudah merasa cukup dengan musikus yang ada. "Kami hanya mengganti kalau ada yang mengundurkan diri," kata Rence. Pemain pun tak lagi dibayar dengan penganan, tapi mendapat honor hingga Rp 500 ribu sekali pentas. Honor ini dibayar oleh para pemesan.

Akhirnya, Rence menemukan cara lebih baik membuat suling. Ia mengganti pula-pula dengan bor listrik. "Pula-pula membuat bambu cepat memuai, sehingga nadanya menjadi tidak pas," ujarnya. Dengan alat baru, tak banyak lagi bambu terbuang percuma.

Metode baru ini sangat menghemat waktu MBO membuat suling. Setiap tahun mereka harus membuat seratus suling baru. Umur instrumen tiup itu pendek—paling lama dua tahun. Pada Januari-April, pemain pun sibuk mencari bambu dan membuat suling. Cahaya matahari Ambon pada bulan-bulan itu terik sehingga bambu cepat kering.

Pada bulan lain, mereka berfokus latihan dua kali sepekan. Menjelang pentas, latihan digenjot tiga kali sepekan, selama dua bulan. Taman Budaya Maluku menyediakan tenaga lima asisten pelatih. Dengan bantuan mereka, satu lagu bisa dikuasai dalam tiga kali latihan. Setiap aransemen dibagikan ke asisten pelatih dan mereka melatih kelompok kecil.

Sesekali Rence dan asistennya menggelar audisi ulang, menilik kelemahan musikus. Audisi digelar dengan menyuruh lima orang bermain suling di atas pentas. Mereka yang kurang menguasai materi lagu langsung terlihat dan akan diberi jadwal latihan ekstra.

Berkembangnya MBO membawa masalah baru. Orkestra ini tak punya markas yang bisa menampung semua pemain dan instrumen. Latihan terpaksa digelar di tempat-tempat terpisah. Jika ingin berlatih dengan semua anggota orkestra, mereka terpaksa meminjam aula Taman Budaya Maluku.

Prihatin, seorang warga Dusun Tuni—masih kerabat sang konduktor—menghibahkan tanah satu hektare tak jauh dari lokasi latihan sekarang. Orkestra ini berencana membangun markas dan aula pertunjukan di lahan itu. Dana pembangunan dikumpulkan dari honor konser. "Tapi saya juga berharap ada yang mau menyumbang," kata Rence. Gedung itu rencananya rampung pada 2015.

Jika gedung sudah dibangun, MBO akan menggelar konser rutin setiap musim buah. Rence berambisi menjadikan konser MBO sebagai tujuan wisata di Ambon. Ia membayangkan penonton mendengarkan orkestra seraya makan duku, mangga, atau durian, sambil menikmati pemandangan Teluk Ambon dari ketinggian. Seniman Ambon pun meningkat penghasilannya. "Sekali mendayung, tiga pulau terlampaui," ujarnya dengan penuh semangat.

Sadika hamid, Mochtar touwe (ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus