MEGAWATI Sukarnoputri tak pernah mau disamakan dengan Gloria Macapagal-Arroyo. Berapa lama mereka membentuk kabinet bisa jadi contoh perbedaan kedua wanita di pucuk kekuasaan itu. Arroyo cuma membutuhkan waktu enam hari, setelah ia diangkat, untuk melantik kabinetnya. "Saya bukan tipe orang yang suka menunggu. Saya selalu mencoba bersikap sebagai seorang pebisnis," kata Arroyo dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden Filipina.
Megawati tak secepat itu. Diambil sumpahnya sebagai Presiden RI ke-5 pada 23 Juli lalu, baru tiga pekan kemudian?Kamis atau Jumat depan?ia akan mengumumkan susunan menterinya. Itu jika tak ada perubahan lagi.
Mega, yang naik ke kursi presiden berkat sokongan empat partai plus TNI, mau tak mau harus menampung calon-calon yang disodorkan para penyokongnya itu. Sebuah kerja berat.
Lagi pula, di kalangan PDI Perjuangan, Mega dikenal kerap mengambil keputusan di saat-saat akhir. Pangkal soalnya, kata pengamat politik Andi Alfian Mallarangeng, tarik-menarik berlangsung alot. Presiden Megawati ingin lebih banyak menempatkan kalangan profesional di kabinetnya. Dikejar waktu yang tak lagi banyak tersedia, cuma tiga tahun lagi sampai 2004, Mega berkepentingan agar pemerintahannya langsung berjalan efektif. Tapi, di sisi lain, pemimpin partai gencar mendesak supaya diberi porsi lebih besar. Alasannya, supaya kekukuhan koalisi terjaga dan tak terus disodok-sodok di parlemen seperti masa Presiden Abdurrahman Wahid. Sinyalemen Mallarangeng dibenarkan oleh Muhammad Yamin, anggota parlemen dari PDI-P, dan Alvin Lie dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Toh, tak urung jalur lambat gaya Mega itu menggemaskan banyak pihak. Suara keras antara lain datang dari Alvin, yang baru saja getol menaikkan Mega pada sidang istimewa kemarin. Ia menilai justru sang RI Satu sendirilah yang menjadi pokok soal. Menurut dia, Mega tidak siap mengambil alih kepemimpinan nasional. Kabinet belum terbentuk, tapi Mega sudah bisa jalan-jalan ke luar kota. "Kalau begini terus, ya, wasalam," katanya sengit.
Tapi, di sisi lain, mengambil keputusan di tengah "pasar kabinet" yang begini hiruk-pikuk jelas membingungkan. Semua berebut posisi. Padahal, kursi yang empuk itu tak banyak jumlahnya. Menurut seorang kalangan dekat Taufiq Kiemas, suami Mega, Presiden merencanakan, dari sekitar 35 pos, cuma sekitar 11 kursi yang akan ditempati politisi atau utusan partai. Golkar, misalnya, cuma bakal kebagian tiga kursi. Sedangkan PAN, PPP, dan PKB masing-masing mendapat dua saja. Adapun Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan cukup satu.
Bagaimana dengan kader PDI-P sendiri? Juga tak bakal banyak. Paling satu-dua, kata Suparlan, anggota Fraksi PDI-P yang dikenal dekat dengan Taufiq Kiemas. Ia malah lantang menyerukan, "Kader-kader PDI-P sebaiknya tidak dulu berada di kabinet untuk memberikan keleluasaan bagi Ibu Mega memasukkan orang-orang profesional."
Tapi kekuasaan amatlah menggiurkan. Nafsu menduduki kursi empuk menteri begitu besarnya. Diselubungi pernyataan yang mendesak Mega agar total menggunakan wajah baru, kalangan partai sebenarnya berupaya memperbesar jatah kursi masing-masing.
Menurut seorang petingginya, PAN, misalnya, mengajukan tiga nama. Mereka adalah Bambang Sudibyo untuk pos vital Menteri Keuangan, Hatta Radjasa untuk Menteri Pertambangan, serta Abdillah Thoha sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Posisi Bambang tak boleh ditawar-tawar lagi. Partai "Mentari Biru" akan berjibaku memperjuangkannya. Tapi Hatta bolehlah dilepas. Jika Menteri Purnomo Yusgiantoro dipertahankan, PAN rela Hatta ditempatkan di kursi lain.
PPP, yang telah memperoleh kursi wakil presiden, masih mengincar empat jabatan menteri. Di dalam amplop Partai Ka'bah yang di-kirimkan ke Mega tercantum nama Sugiarto (Menteri Keuangan), Suryadharma Ali (Menteri Koperasi), Alimarwan Hanan (Menteri Sosial), dan Bachtiar Chamsyah (Menteri Perindustrian dan Perdagangan). Dua di antaranya, Alimarwan dan Bachtiar, dipastikan bakal masuk. Jika Suryadharma dicoret dari lis, Bachtiar diplot menjadi Menteri Koperasi.
Partai Keadilan, menurut presidennya, Hidayat Nur Wahid, juga telah memasukkan dua nama. Yang pertama adalah Astio Lasnan, doktor lulusan Universitas Aachen, Jerman, dan pejabat karir di Badan Tenaga Atom Nasional. Ia dinominasikan untuk pos Menteri Negara Riset dan Teknologi. Yang kedua untuk posisi Jaksa Agung. Namanya tak asing lagi, Soeripto, mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan yang gencar membongkar perkara korupsi di sektor kehutanan?"musuh utama" Prajogo Pangestu. "Harapan kami, keduanya bisa masuk kabinet. Tapi kami sadar sepenuhnya itu merupakan hak prerogratif presiden," kata Nur Wahid, yang menampik pencalonannya sebagai Menteri Agama karena jabatan itu ia nilai lebih pas diduduki orang lain.
Golkar termasuk yang paling bersemangat. Menurut seorang petingginya, Partai Beringin sekaligus memasukkan 15-18 anggota pengurus pusatnya. Tak kepalang tanggung, mereka mengincar tujuh jabatan menteri sekaligus. Antara lain yang diusulkan adalah Syamsul Mu-arif, Andi Mattalata, Rambe Kamarul Zaman, Slamet Effendy Yusuf, Marwah Daud Ibrahim, Rully Chairul Azwar, Mahadi Sinambela, Fredy Latumahina, Theo Sambuaga, Agung Laksono, Fahmi Idris, Enggartiasto Lukita, Sri Rejeki, M.S. Hidayat, Joyokusumo, dan Ade Komaruddin.
Cuma, perkembangan bursa terakhir membuat mesin politik Orde Baru ini lagi kecewa berat. Mereka cuma diberi jatah berbagai pos yang tak begitu bergengsi. Calon yang paling berpeluang, Andi Mattalata, misalnya, semula dijagokan Akbar untuk pos Menteri Kehakiman. Tapi kemungkinan besar ia akan bergeser menjadi Menteri Kelautan. Sedangkan jabatan Menteri Pemuda dan Olahraga?kalau jadi diadakan lagi?akan diperebutkan oleh Slamet Effendy dan Rambe. Marwah juga masuk urutan atas dalam daftar. Yang paling lumayan Syamsul Muarif. Semula ia diplot sebagai Menteri Penerangan. Setelah departemen ini disepakati tak bakal dihidupkan lagi, ia masuk lis calon Menteri Kehutanan.
Buntutnya, seorang motor lintas fraksi dari Golkar sampai merajuk. Gara-gara cita-citanya menjadi menteri tak bakal kesampaian, ia sampai tidak mau datang ke syukuran lintas fraksi. Akbar juga sulit betul bertemu dengan Mega untuk merundingkan jatah partainya. Berkali-kali ia meminta jadwal, tapi selalu tak beroleh tanggapan. Baru Kamis pagi kemarin, sesaat sebelum pertemuan ketua partai, ia diterima Mega. Tapi kabar kemasygulan partainya ini dibantah Syamsul Muarif, "Kita tidak akan menarik dan mengulur. Kalau Ibu minta, kita kasih. Kalau dia tidak minta, ya tidak kita kasih."
Suasana di kalangan PDI-P tak begitu jauh berbeda. Menurut seorang sumber TEMPO, Rabu kemarin, pertemuan di Jenggala?rumah Arifin Panigoro sekaligus markas lintas fraksi?cuma berisi gerutu dan nada tak puas. Hadir anggota dewan dari PDI-P, antara lain, Didi Supriyanto, Zulvan Lindan, Julius Usman, dan Arifin Panigoro sendiri. Seseorang yang amat bernafsu menjadi Menteri Muda Urusan Badan Usaha Milik Negara tak henti meluapkan kejengkelan. "Bagaimana ini? Kita yang menanam pohonnya, kok, buahnya malah jatuh ke halaman orang lain?" katanya bersungut-sungut.
Rupanya, segala konsep dan rumus kabinet yang lama mereka susun dengan susah payah itu sama sekali tak direken Mega. "Jangankan diterima, mau bertemu saja sulit," kata Arifin mengeluh. Baru terungkap, draf mereka ternyata hanya bisa sebatas dimasukkan lewat Sutjipto, Sekjen PDI-P. Dan tiap kali ditanya, jawaban Sutjipto selalu sama, "Belum ada tanggapan dari Ibu." Arifin lalu membesarkan hati yang hadir. Toh, banyak aktivis lintas fraksi dari partai lain yang pasti masuk kabinet, katanya menghibur. Untuk yang tak kebagian jatah, ia telah menyiapkan "hadiah hiburan": paket umrah gratis dan jalan-jalan keliling Eropa pada September mendatang.
Cetak biru yang disusun kelompok lain, seperti Kwik Kian Gie, mengalami nasib serupa. Dalam menyusun pemerintahannya, kini Mega praktis mengandalkan masukan para penasihat seniornya, seperti Frans Seda, M. Sadli, dan Widjojo Nitisastro, selain tentu saja dari Taufiq Kiemas sendiri. "Tak ada lagi itu sistem skoring-skoringan," kata Muhammad Yamin dari PDI-P memastikan.
Menurut seorang pembantu dekat Wakil Presiden, prinsip itu kembali ditegaskan ketika Hamzah bertemu dengan Mega di Istana Bogor, Jumat pagi kemarin. Hamzah telah menyatakan persetujuannya bahwa kata akhir ada di tangan Mega, termasuk jika ternyata jatah partai tak bisa dipenuhi sebanyak yang diminta.
Dalam hal ini, usulan Mallarangeng perlu didengar. Supaya Mega lebih leluasa menggunakan pertimbangan profesionalisme, katanya, tak perlu semua partai diajak masuk pemerintahan. Blok suara PDI-P (35 persen) dan PPP (12 persen) di parlemen telah mencapai 47 persen. Cukup ditambah beberapa fraksi kecil dan TNI/Polri, jumlahnya sudah mayoritas: hampir mencapai 60 persen. Malah, semakin banyak partai dengan spektrum ideologi yang beragam hanya akan membuat fondasi koalisi gampang retak.
Bolehlah Mega tak setrengginas Arroyo. Yang penting, Kabinet Gotong-Royong jangan sampai mesti diubah namanya menjadi Kabinet Tarik-Ulur.
Karaniya Dharmasaputra, Adi Prasetya, Levianer Silalahi, Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini