Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soal Telepon Presiden Yudhoyono
Kami perlu meluruskan pemberitaan Tempo edisi 612 Februari 2006 dalam artikel berjudul ”Para Taruna, 33 Tahun Kemudian” halaman 28. Pada kolom pertama tertulis, ”... H.M. Gadillah, alumni Akabri 1973, mengaku pernah ditelepon Yudhoyono menjelang Pemilu 2004. ’Yah, ... waktu itu minta didukunglah,’ ujar pensiunan kolonel ini. Toh, bagi Gadillah, permintaan itu wajarwajar saja.”
Dengan secara terbuka saya menyatakan bahwa tidak pernah kejadian Yudhoyono menelepon saya. Hal ini juga saya sampaikan ketika wawancara dengan wartawan Tempo waktu itu. Karena itu, saya menyatakan dan meminta agar majalah Tempo meralat berita tersebut.
Dengan dimuatnya ralat berita ini maka berita tersebut dinyatakan tidak ada. Terima kasih.
H.M. GADILLAH Alumni Akabri 1973
—Anda benar, kami kurang teliti. Dari rekaman wawancara kami, Anda menceritakan kalau percakapan via telepon itu terjadi antara Anda dan Ibu Kristiani Herawati Yudhoyono, istri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kami mohon maaf atas ketidaktelitian itu dan penjelasan Anda sekaligus sebagai ralat. – Red.
Soal Bank Terancam Ditutup
Sehubungan dengan berita Tempo dengan kover ”27 Bank Terancam Ditutup”, kami sampaikan keprihatinan kami bahwa majalah yang sudah punya nama baik secara nasional bisa membuat berita yang dapat meresahkan masyarakat dan nasabah bank yang disebutkan. Atas berita itu, kami merasa perlu meluruskan beberapa hal sebagai berikut:
Informasi yang disampaikan Tempo itu sangat tendensius, tidak obyektif, karena tak melakukan klarifikasi kepada seluruh bank yang tercantum dalam berita itu, sehingga dikhawatirkan bisa menimbulkan salah persepsi. Berita itu juga dapat mengganggu stabilitas perbankan nasional, terutama masyarakat yang sangat sensitif dan mudah terpengaruh beritaberita seperti ini.
Data yang disampaikan dapat menyesatkan karena tak mencantumkan periode/posisi bulan dan tahun atas modal tiap bank. Juga berlebihan dengan pernyataan ”ditutup”, meskipun secara peraturan dinilai tidak demikian adanya. Tempo seharusnya mengkonfirmasi ke Bank Indonesia, yang kami yakini mempunyai data akurat dengan status/kondisi terkini terakhir atas bankbank yang disebut dalam berita itu.
Kondisi PT Bank Himpunan Saudara 1906 pada akhir 2005 sendiri sebagai berikut:
Telah dilakukan tambahan modal oleh pemegang saham pengendali, Bapak Arifin Panigoro, sebesar Rp 25 miliar sehingga total modal menjadi Rp 100 miliar dengan net equity per Desember 2005 sebesar Rp 86,5 miliar. Secara perhitungan, kami telah memenuhi persyaratan yang ditentukan. Tambahan modal itu juga telah kami ajukan ke Bank Indonesia untuk persetujuannya.
Rasiorasio pada akhir 2005 adalah: CAR 16,53%, NPL 0,37%, LDR 87,95%.
Saat ini bank kami telah mempunyai 24 kantor cabang/cabang pembantu/kantor kas di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Juga menjadi member ATM Bersama sejak awal 2005.
Dedi A. Santika
Corporate Secretary Bank Himpunan Saudara 1906
—Terima kasih atas penjelasannya. Konfirmasi dan keterangan dari Bank Indonesia sudah dimuat dan bisa dilihat di dalam berita itu —Red.
Penjelasan Soal Petugas PLN
Menanggapi surat pembaca ”Ulah Nakal Petugas PLN” pada Tempo edisi 9 Januari seperti yang disampaikan Saudara Sad Suparmadi, Kompleks Departemen Penerangan C9, Jakarta Selatan, dengan ini perkenankanlah kami menyampaikan penjelasan sebagai berikut:
PLN menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan pelayanan yang dialami Saudara Sad Suparmadi dan terima kasih atas informasi yang telah disampaikan. Kami menganggap ini adalah kritik yang membangun agar kami menjadi lebih baik dalam melayani para pelanggan.
Pada 4 Oktober 2005, petugas P2TL PLN Jaringan Kebayoran bernama Matzen dan kawankawan telah mendatangi rumah di Kompleks Deppen BI. C No. 9 Pesanggrahan, atas nama Drs Darman, dengan kontrak No. CC0370611.
Petugas kami memeriksa kWh meter. Hasilnya, terdapat kerusakan pada segel klem spanning, dan pada terminal meter terdapat jemper antara kabel masuk dan kabel keluar sehingga menghambat putaran kWh meter.
Semua temuan itu dituangkan dalam Berita Acara BB0323823A, BB032823B, CC0323823A, CC0323823B, CC03233573C, CC0323823D, dan ditandatangani Matzen, petugas PLN, dan Hj Suparti, istri Saudara Drs Darman sebagai penghuni. Setelah itu, kWh meter lama dicabut dan diganti yang baru.
Kepada pelanggan, sesuai dengan SK DIR No.68.K/010/DIR/2000 tanggal 26 April 2000, dikenakan tagihan susulan golongan C sebesar Rp 7.321.120 dan yang bersangkutan menandatangani surat pernyataan kesanggupan melunasi tagihan susulan dengan mencicil sebanyak 10 kali. Surat itu ditandatangani Sad Suparman. Demikian penjelasan kami.
Ir Azwar Lubis PH Deputi Manajer Humas & Peduli Lingkungan
Korupsi di Mahkamah Agung
ISU suap yang menghampiri tubuh Mahkamah Agung (MA) beberapa waktu lalu sungguh saya yakini kebenarannya. Pengalaman buruk dengan kinerja pengadilan telah saya alami selama 13 tahun lebih.
Saya Muhajir, buruh sebuah pabrik retsleting di Tangerang, PT Chiqita Talonplass Zipper (PT CTZ). Awal tahun 1993, saya diPHK sepihak oleh PT CTZ. Saya menolak keputusan yang saya anggap sewenangwenang itu dan menempuh jalur pengadilan perburuhan. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) di Jakarta menyatakan keputusan PHK itu tidak berdasar, sehingga saya seharusnya dipekerjakan kembali. PT CTZ juga diwajibkan membayar semua hakhak saya.
Tapi pengusaha enggan menjalankannya. Pihak penyidik sipil Depnaker Tangerang pun membawa kasus ini ke meja hijau dengan tuduhan pengusaha sengaja tidak menjalankan putusan P4P. Proses sidang akhirnya digelar di Pengadilan Negeri Tangerang dan majelis hakim memvonis pengusaha itu hukuman 1 bulan penjara. Tapi mereka berupaya banding, namun gagal karena Pengadilan Tinggi Bandung menguatkan putusan PN Tangerang. Para pengusaha itu pun mengajukan kasasi.
Kasasi nomor 1496 K/PID/1999 itu diterima Majelis Hakim Agung Pidana, dan pengusaha itu dibebaskan dari hukuman pidana penjara. Putusan ini jelas ”aneh dan tidak berdasar” serta cacat hukum. Selain putusan majelis hakim agung itu didasarkan atas fakta fiktif dan berbohong, juga sangat bertentangan dengan putusan kasasi Tata Usaha Negara (TUN) terhadap kasus PHKnya yang menolak kasasi pengusaha itu dan menyatakan saya tetap harus dipekerjakan kembali.
Saya punya bukti kuat, para hakim agung yang memeriksa perkara itu telah menjalankan praktek yang tak etis dan mencederai moral penegak keadilan di negeri ini. Surat pengaduan atas terjadinya pertentangan kasasi pidana dengan TUN ini telah saya kirimkan, namun tak dihiraukan Mahkamah Agung. Hingga hari ini, saya terus berjuang agar keadilan berpihak pada saya. Entah sampai kapan.
MUHAJIR Kalideres, Jakarta Barat
Keseriusan KPK
Pada 17 Agustus lalu, kami mengantarkan laporan dugaan korupsi miliaran rupiah dana APBD di Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara, ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta. Kami sengaja melaporkan kasus dugaan korupsi ini dengan alasan, bertahuntahun berbagai kasus dugaan korupsi yang dilaporkan masyarakat ke aparat hukum di daerah kami pada akhirnya ”lenyap tak berbekas”. Padahal kasus ini juga ditulis di berbagai media massa.
Empat bulan kemudian kami menerima tanggapan ringkas dari KPK yang isinya luar biasa unik. Dalam surat itu disebutkan: ”Sehubungan dengan pengaduan yang Saudara sampaikan kepada KPK melalui surat pada Agustus 2005, pimpinan KPK telah meminta Gubernur Sumatera Utara menindaklanjuti laporan dengan surat No. R.3053/ KPK/XII/ 2005 tanggal 22 Desember 2005. Atas perhatian Saudara, kami ucapkan terima kasih. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat ditandatangani oleh Junindo Jahja (Deputi).”
Surat itu sama sekali tak menuliskan indikasi korupsi miliaran rupiah di Dinas Kimpraswil Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara, yang kami laporkan. Jawaban yang meminta Gubernur Sumatera Utara menindaklanjuti itu juga terasa luar biasa. Pertanyaannya, bukankah lembaga gubernuran bukan instansi penyidik? Dan juga, masalahnya, kalau sejak dulu mekanisme pengawasan dan penanganan korupsi sudah berjalan bagus, bukankah KPK tak perlu dibentuk?
Yunan Napitupulu Tebing Tinggi, Sumatera Utara
DPR Berjuang untuk Siapa?
Pekan lalu, Komisi I DPR menolak Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyiaran No. 49, 50, 51 dan 52 Tahun 2005, yang diberlakukan mulai 5 Februari 2006. Alasan penolakan sungguh mulia: demi kepentingan publik. Pertanyaannya: publik yang mana?
Kenyataannya, praktisi penyiaran yang merasakan langsung dampak peraturan itu justru mendukungnya. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga (PRSSNI), Asosiasi Radio Swasta Lokal Indonesia (ARSSLI), dan Asosiasi Sulih Suara Indonesia merupakan organisasi praktisi penyiaran yang mendukung pemberlakuan PP itu dengan harapan tak terjadi kevakuman hukum seperti selama ini.
Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menguji materi PP itu bila dianggap melanggar kebebasan rakyat. Namun, DPR lebih suka mempolitisasi ketimbang menempuh jalur hukum. Mereka lebih suka berkatakata ketimbang berbuat konkret. Barangkali mereka sudah tak percaya lagi pada lembaga hukum yang ada dan menempatkan dirinya di atas segalanya.
Masalah ini mengingatkan kita pada uji kelayakan Panglima TNI yang menuduh Marsekal Djoko Suyanto sebagai sosok yang tidak visioner karena selalu berusaha merujuk pada UndangUndang TNI dalam menjawab pertanyaan anggota DPR. Padahal reformasi TNI justru berangkat dari UU TNI itu.
Melihat sepak terjang para anggota DPR ini, sebagai rakyat saya jadi bingung. Sebenarnya mereka itu berjuang untuk siapa? Rakyat, partai politik, atau dirinya sendiri? Seharusnya mereka malu, gajinya besar tapi kerjanya biasabiasa saja.
HUMAIDI DAHNAN Jalan Madrasah Pembangunan, Kompleks UIN Ciputat Tangerang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo