Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JABATAN menteri dan wali kota ternyata sama dalam satu hal. "Keduanya tidak menjamin orang masuk surga," kata Nurmahmudi Ismail, Wali Kota Depok dan mantan Menteri Kehutanan dan Perkebunan di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah tertundatunda setengah tahun lebih, 26 Januari lalu ia dilantik menjadi wali kota. Baginya, bagian terpenting dari kedua jabatan empuk itu adalah pelayanan. "Kalau tidak perform, ya, bakal dicibir orang," ujarnya.
Menampilkan performa wali kota yang prima ternyata bukan perkara mudah. Apalagi, setelah beberapa minggu berkantor di Depok, ia semakin paham bahwa banyak persoalan harus diselesaikan. Mulai dari sampah, lalulintas yang semrawut, pungli, hingga rendahnya kualitas pendidikan. Toh, Nurmahmudi menganggap semua itu sebagai tantangan yang harus dihadapi dengan kerja keras. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengubah paradigma aparat bahwa mereka adalah pelayan rakyat.
Bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)-partai tempat Mahmudi berasal-Depok menjadi prototipe kepemimpinan yang mereka canangkan. Pengelolaan pemerintahan Kota Depok di bawah Nurmahmudi diharapkan bisa menjadi teladan bagi daerah lain. Karena itu, ia pun menegaskan komitmennya pada penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, antikorupsi. "Antikorupsi itu amanah," ujarnya.
Rabu pekan lalu, wartawan Tempo Arif Zulkifli, Untung Widyanto, Widiarsi Agustina, dan Philipus Parera mewawancarai Nurmahmudi Ismail di ruang kerjanya di kantor Wali Kota Depok, Jawa Barat. Nur mengenakan safari biru yang dekil pada ujung celana-terciprat tanah becek ketika menginspeksi Pasar Kemiri, tak jauh dari kantor wali kota. Di meja, tersaji teh dengan gula diet serta berbagai kue jajan pasar.
Apa yang akan Anda lakukan untuk Depok dalam lima tahun ke depan?
Yang terpenting, mengubah paradigma aparat. Mereka saya ajak untuk sadar bahwa saat ini mereka bukan pejabat, bukan raja lagi, tapi diberi amanah konstituen untuk menjadi pelayan rakyat. Perilaku yang harus ditunjukkan adalah proaktif membaca problem di lapangan, proaktif menyusun alternatif solusi, dan menganalisis potensi Depok.
Itu kan bukan pekerjaan mudah?
Memang harus bekerja keras. Karena tak ikut menentukan APBD 2006, yang bisa saya lakukan adalah mengoptimalkan penggunaan dana, jangan sampai ada yang bocor.
Untuk pembangunan fisik, apa yang akan Anda lakukan?
Saya tak ingin mulukmuluk. Karena dipilih untuk lima tahun, kami berkonsentrasi pada rencana pembangunan jangka menengah, titik.
Bisa lebih spesifik?
Di bidang lalulintas, misalnya, jangan sampai ada kemacetan. Di bidang kesehatan, jangan sampai ada endemi berlebihan. Di bidang pendidikan, kualitasnya bisa terangkat. Untuk diketahui, kualitas pendidikan Depok itu nomor dua terendah seJawa Barat. Ini obyektif. Kami juga dinilai sebagai kota paling kotor, nomor 13 dari 13 kota metropolitan.
Anda menilai wali kota sebelumnya telah gagal?
Ini akumulasi telantarnya pengelolaan pemerintahan. Kebersihan tak pernah diurus, sarana tidak ada, konsep tidak ada, proses penyadaran untuk mencapai attitude yang baik juga tidak ada. Ini yang harus serius dirombak.
Bagaimana dengan peranan swasta?
Pada hakikatnya peranan swasta tak bermasalah. Kami memutar duit Rp 5 triliun lebih, tapi APBD kami hanya Rp 500 miliar. Jadi, peranan swasta memang tak bisa diabaikan. Yang kami perlukan adalah bagaimana mengelola, mengarahkan, membina, dan mengapresiasi dalam koridor perencanaan pembangunan kota.
Jalan Margonda kini sangat semrawut. Apa yang akan Anda lakukan untuk menertibkan kawasan itu?
Margonda telah ditetapkan menjadi wilayah komersial sejak dulu. Jadi, kalau menjadi komersial, itu tidak salah. Yang salah adalah bagaimana menata dan mengaturnya: terlalu padat atau tidak, tempat parkirnya bagaimana.
Termasuk menertibkan bangunan yang mengambil bahu jalan, seperti yang terjadi pada Depok Town Square, sebuah mal di jalan Margonda?
Ya. Sesuai dengan aturan, harus diluruskan.
Anda akan memerintahkan itu dibongkar?
Lihat saja nanti. Tapi saya ingin masyarakat lebih dahulu memahami apa maksud kami, baru proses penertiban itu berjalan. Ya mengimbau dululah.
Anda kok terkesan lemah, ya?
Justru saya ingin menunjukkan bagaimana menyelesaikan persoalan secara baik.
Di Indonesia, lazim jika pejabat baru menempatkan orangorang kepercayaannya di pospos tertentu. Apakah ini akan Anda lakukan?
Sesuai dengan aturan sajalah. Memang saat ini masih banyak jabatan yang kosong. Tapi akan diisi melalui seleksi secara profesional.
Sewaktu menjadi Menteri Kehutanan, Anda menarik Suripto dan Suryama M. Sastra, kini anggota Fraksi PKS DPR, ke Departemen Kehutanan.
Kalau saya memasukkan satu- dua orang, itu karena saya perlu orang yang bisa berpikir barengbareng untuk mengefektifkan program. Bukan untuk kepentingan golongan.
Apakah akan bekerja sama dengan universitas, Universitas Indonesia misalnya?
Universitas Indonesia dan Gunadarma tentu harus kami lirik. Jangan biarkan mereka sendiri melenggang menjadi pencakar langit.
Konkretnya seperti apa itu?
Saat ini mereka punya beberapa program untuk masyarakat. Mereka, misalnya, sudah menawarkan komputer bekas untuk dialokasikan ke sekolahsekolah. Lalu ada program peningkatan mutu pendidikan guru. Kami juga menantang mereka untuk membantu menuntaskan masalah 13 ribu buta huruf. Ini memalukan: Depok yang dekat dengan Jakarta ternyata masih punya banyak warga buta huruf.
Partai Anda ingin Anda menjadi prototipe kepemimpinan PKS yang bersih dan beriman. Sukses Anda akan mengukur kesuksesan PKS pada Pemilu 2009?
Saya kira itu tidak salah. Setiap partai tentu menghendaki kandidatnya sukses. Tinggal seberapa sukses dan seberapa besar dampaknya bagi partai, tergantung nanti. Sekecil apa pun suksesnya, diharapkan memberikan dampak.
Sukses itu ukurannya apa? Apakah bebas korupsi?
Antikorupsi itu amanah.
Anda merasa terbebani oleh target partai?
Itu kewajiban saya. Tanpa ada itu pun, setelah saya terpilih, sudah menjadi kewajiban saya untuk tampil baik.
Kami mendengar ada tim sembilan PKS yang disiapkan membantu Anda mengelola Depok.
Tim sembilan apa?
Tim dengan anggota sembilan orang kader PKS.
Beginilah. Selama pemikiran yang diberikan PKS ada dalam koridor pekerjaan pemerintah daerah, saya terima. Bahkan bukan hanya PKS, partaipartai lain punya kewajiban untuk berpartisipasi. Saat ini saya milik warga Depok. Itu sudah sejak awal saya katakan.
Soal syariat Islam, Anda akan menerapkannya di Depok?
Terserah DPRDnya saja.
Anda sendiri menganggap itu penting?
Berdasarkan asas Ketuhanan Yang Maha Esa, saya mendambakan seluruh umat beragama taat kepada agama dan meningkatkan ibadahnya. Kalau mereka memiliki kesadaran terhadap ajaran agama, terutama kesadaran bahwa dirinya diawasi Tuhan, tentu mereka tak akan korup, bolos, dan sebagainya. Makanya, sekarang setiap Jumat saya mengimbau para lakilaki untuk salat Jumat.
Tidakkah menerbitkan peraturan akan lebih efektif ketimbang hanya mengimbau?
Belum tentu. Ada banyak perda yang terusmenerus dilanggar. Contoh paling gampang perda pungutan KTP. Resminya biaya mengurus KTP hanya Rp 5.500, tapi kenyataannya bisa Rp 20 ribu atau Rp 50 ribu. Perda lain mengatur biaya menikahkan orang hanya Rp 50 ribu. Kenyataannya ada yang dipungut hingga Rp 800 ribu. Jadi, masalahnya soal kesadaran.
Di daerah lain, syariat Islam diwujudkan dengan mewajibkan pegawai negeri muslim mengenakan jilbab dan baju koko pada hari Jumat.
Secara prinsip itu tak salah, tapi itu bukan sesuatu yang pokok. Sekarang, kalau saya memilih memakai baju batik, itu islami nggak? Yang prinsip menutup aurat, bukan kokonya. Saya justru ingin menghormati ajaran Islam dengan bagus.
Anda setuju agama dan moral diatur oleh pemerintah?
Kalau saya, lebih dahulu akan bertanya sudah seberapa banyak pemerintah memfasilitasi warganya.
Jadi, setelah difasilitasi, pemerintah boleh mengatur soal agama dan moral?
Ya, tapi aturan itu seharusnya menjadi pelindung, bukan pemaksa.
Ini soal lain. Jakarta akan dijadikan kota megapolitan bersama Depok dan beberapa kawasan lain. Pendapat Anda?
Ide tentang pola perencanaan pembangunan terintegrasi itu tidak harus diwadahi dalam sebuah institusi lintas wilayah pemerintahan. Pembangunan antardaerah yang terintegrasi sudah ada aturannya dalam undangundang. Terkait dengan jalan, ada misalnya istilah jalan negara, jalan provinsi, jalan kabupaten. Itu semua melibatkan kerja sama lintas daerah. Jadi, sebenarnya ini cuma masalah koordinasi.
Bukankah koordinasi itu yang justru sering bermasalah?
Kan sudah ada aturannya. Tinggal kita mau menjadi orang yang openminded atau tidak. Sebagai kepala daerah, saya harus senantiasa berpikir, kalau hendak melakukan sesuatu dampaknya sampai lintas daerah atau tidak. Kalau lintas daerah, saya harus ngomong dulu dengan daerah lain. Jadi tidak egosentris.
Menurut Anda, apa yang membuat Jakarta ingin Bogor dan Depok menjadi bagian dari megapolitan?
Secara ekologi, Jakarta memerlukan dua wilayah ini, terutama untuk pengendalian banjir. Kemudian masalah konservasi wilayah. Tapi konservasi wilayah itu juga tidak sematasemata untuk Jakarta, kan?
Anda menolak rencana megapolitan?
Itu di luar kapasitas saya (menjawabnya).
Kami mendapat informasi, salah satu penyumbang kampanye Anda adalah PT Sinar Mas Group, pengelola mal ITC Depok. Kabarnya, Anda sempat berkunjung ke kantor perusahaan itu?
(Nurmahmudi tampak memandang tajam). Tanya dong kepada pengelolanya. Kami menggunakan tim pencari dana dan melakukan beberapa event pengumpulan dana.
Termasuk dari Sinar Mas?
Saya tidak tahu, saya tidak ikut menjadi fund raiser.
Apakah tidak sebaiknya hal semacam ini dibuka saja agar tidak menjadi bumerang?
Daftar penyumbang ada di panitia. Semuanya transparan. Lagi pula sejak awal saya tidak ingin melibatkan diri dengan institusiinstitusi tertentu yang, misalnya, menyumbang Rp 50 juta tapi pinginnya memiliki Depok. Kalau mau menyumbang, ikhlas saja. Namanya juga nyumbang.
(Direktur Eksekutif Sinar Mas Group, G. Sulistiyanto, membantah informasi ini. "Nggak benar itu. Kami punya kebijakan untuk tidak menjadi sponsor pilkada," ujarnya.)
Bagaimana kalau orang-orang yang merasa berkeringat membantu Anda terpilih menjadi wali kota tibatiba menagih proyek?
Proyek harus dikelola secara profesional dengan tender yang transparan. Saya tidak mau memberi konsesi apa pun. Saya jamin untuk tidak mau terlibat dalam masalah.
Tapi "tak ada makan siang gratis", kan?
Saya bergaul dengan mereka (para penyumbang), sematamata bergaul. Saya berusaha tidak minta sumbangan. Apalagi minta sumbangan banyak. Itu saya hindari.
Sumbangan bisa tidak lewat Anda, tapi juga anak buah Anda.
Makanya. Karena saya tak mau terlibat, saya bisa bersikap. Itu bukan urusan saya. Sejak awal saya katakan, kalau mau membantu, seikhlasnya. Saya yakin, masih banyak orang mau membantu tanpa pamrih.
Ngomong-ngomong, dulu ada 42 lurah yang menolak Anda sebagai wali kota. Bagaimana hubungan dengan mereka?
Alhamdulillah nggak masalah. Semua biasabiasa saja.
Sudah bertemu mereka lagi?
Ya. Pertama, waktu kami bicara masalah kebersihan, mereka diundang ke sini. Kemudian, dalam acara open house di rumah saya, ada pula yang datang: satu kecamatan dengan 14 lurah.
Anda akan mengganti mereka?
Kalau toh mereka nanti saya ganti, itu karena kinerja mereka.
Anda tidak khawatir mereka menghambat konsolidasi internal pemerintah Depok?
Itu sederhana. Misalnya saya ngomong: nih saya pingin biaya pembuatan KTP Rp 5.500, sesuai dengan aturan. Kalau di lapangan mereka mengutip lebih banyak, ya, saya ingatkan. Kalau nggak bisa, ya, saya ganti. Enteng saja. Lebih baik begitu. Tak peduli dia termasuk 42 lurah itu atau tidak.
Bagaimana hubungan dengan Badrul Kamal, seteru Anda dalam pilkada?
Baik. Kami bertemu saat sidang Mahkamah Konstitusi. Ketika saya dilantik, dia datang. Tapi, setelah pelantikan, kami samasama sibuk. Saya dikerubuti wartawan, dia dikerubuti wartawan, hahaha. n
Nurmahmudi Ismail Lahir: Kediri, 11 November 1961 Pendidikan:
Karier:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo