Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA serak perempuan dalam rekaman itu tak asing di telinga Bernaldi Djemat. Baru mendengarkannya pada menit pertama dari 13 menit rekaman, pebisnis ini segera mengenalinya. "Seratus sembilan puluh persen: itu suara Ibu Non Saputri," katanya.
Rekaman itu diputar di Pengadilan Korupsi Jakarta, Kamis dua pekan lalu. Tempo memperdengarkan salinannya kepada Bernaldi di kantornya, PT Borobudur Capital Indonesia, di Plaza Gani Djemat, Jakarta, lima hari kemudian. Non Saputri, tak lain, bekas mertua Bernaldiāyang menikahi anak tunggalnya, Peni Fernita, pada 2006. Pasangan ini bercerai lima tahun kemudian. "Suara Ibu serak karena dia perokok berat," ujar Bernaldi.
KOMUNIKASI Saputri tersadap Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menyelidiki dugaan permainan dalam penentuan kuota daging sapi di Kementerian Pertanian, sepanjang akhir tahun lalu hingga awal tahun ini. Pada 28 Januari lalu, ia berbicara melalui telepon dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq,Ā menggunakan telepon Ridwan Hakim, putra Hilmi Aminuddin, ketua majelis syura partai itu.
Jaksa memutarnya ketika hakim meminta kesaksian Ridwan untuk terdakwa Ahmad Fathanah. Orang dekat Luthfi ini ditangkap setelah menerima uang suap dari PT Indoguna Utama, importir daging sapi, pada 29 Januari lalu. Saputri, yang dipanggil "Bunda Putri", menggunakan telepon milik Ridwan, yang sedang berada di rumahnya, kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, ketika percakapan berlangsung menjelang tengah malam.
Sadapan pembicaraan itu menunjukkan dengan jelas posisi politik Saputri. Luthfi tergeragap ketika Ridwan memintanya melanjutkan pembicaraan. Nada suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini menurun dibanding saat bercakap dengan Ridwan. "Waduh, maaf Bunda, saya baru menghubungi karena baru bangun tidur," katanya.
Mereka membicarakan rencana pergantian menteri. Ketika itu, posisi kader-kader Partai Keadilan Sejahtera di Kabinet Indonesia Bersatu terancam karena partai ini menolak kenaikan harga bahan bakar minyak. Tak disebutkan siapa menteri yang datang ke rumahnya. Saputri dan Luthfi terkesan telah saling memahami kode-kode yang mereka gunakan. Saputri hanya menyebut tamu tengah malamnya sebagai "Pak Haji Susu".
"Haji Susu" dianggap tak bisa memakai kewenangannya dalam membuat kebijakan, tapi meminta perlindungan agar tak tergeser dari kabinet. Saputri mengungkapkan kejengkelannya karena merasa dikhianati. Ia mengancam akan berbicara dengan "Pak Lurah"āpanggilan yang biasanya merujuk pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Jika Maret ada reshuffle, biar dibabat saja," ujarnya.
Saputri juga mengatakan sebenarnya pada hari itu memiliki janji bertemu dengan seseorang bernama "Dipo" di Jakarta Convention Center. Siapa Dipo, tak jelas benar. Dugaan mengarah ke Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Indikasinya ada. Berdasarkan pengecekan Tempo, pada hari itu Dipo memang menghadiri acara di Jakarta Convention Centre. Ia mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang membuka Rapat Kerja Pemerintah 2013.
Dipo Alam menyangkal kenal Saputri atau Bunda Putri, apalagi disangkutkan dengan pengaturan reshuffle dan impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Menurut dia, terlalu banyak nama Dipo yang bisa disebut orang secara sembarangan. "Saya kenal Bunda," katanya. "Tapi Bunda Sri, kakak saya."
DALAM sidang, Ridwan tak bersedia mengungkapkan detail identitas Bunda Putri. Ia bergeming meski jaksa dan hakim membujuk dan mencecarnya. Ia hanya mengatakan kenal perempuan ini sejak tiga tahun lalu. "Dia pengusaha perkebunan, mentor bisnis saya," katanya. Selebihnya, ia bungkam.
Saputri bukan satu-satunya yang mendapat julukan "Bunda". Ada bunda lain yang banyak berperan dalam pengaturan kuota impor daging. Dialah Elda Devianne Adiningrat, Ketua Asosiasi Perbenihan Indonesia, yang biasa dipanggil "Bunda Dattie". Dia merupakan penghubung antara Fathanah, Luthfi, dan pejabat Kementerian Pertanian, juga Elizabeth Liman, Direktur Utama PT Indoguna Utama.
Itu sebabnya penyidik berkali-kali memastikan apakah dua bunda ini orang yang sama. Dalam dokumen pemeriksaan saksi Baran Wirawan, sekretaris Menteri Pertanian Suswono, soal ini ditanyakan setidaknya dua kali. Baran menjawab, mereka orang yang berbeda. "Bunda Putri datang pada pernikahan anak Pak Menteri Suswono," ujarnya.
Di kalangan importir dan pengusaha yang kerap bersentuhan dengan Kementerian Pertanian, nama Bunda Putri atau Non Saputri tak terlalu asing. Para pejabat di kementerian itu juga sudah lama mendengar nama ini sebagai istri seorang pejabat eselon I yang mampu mempengaruhi penggantian pejabat. Seorang pejabat bercerita pernah ditawari naik pangkat oleh seseorang yang bernama Putri.
Pejabat itu mengatakan dimintai sejumlah uang untuk memuluskan promosi. Karena tak punya jumlah yang diminta, ia menolak. Pejabat ini melihat beberapa koleganya yang ditawari hal serupa bisa tembus hingga pembahasan tim penilai akhir di kantor wakil presiden. "Saya tahu karena ada orang di sana yang bercerita," katanya.
Pejabat eselon I yang digunjingkan sebagai suami Bunda Putri tak lain Hasanuddin Ibrahim. Anak buahnya menyebutkan Saputri adalah istri ketiga Direktur Jenderal Hortikultura ini. Namun Bernaldi Djemat mengatakan tak pernah melihat atau mendengar mertuanya mengikat janji pernikahan secara resmi dengan laki-laki 55 tahun ini. "Bu Saputri mengenalkannya sebagai 'pacar Mama'," ujarnya.
Menurut Bernaldi, Saputri dan Hasanuddin berkenalan sekitar 2007. Perantaranya Hazairin Haderi, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Barat. Hazairin dan Hasanuddin satu kampus di Jurusan Agronomi Institut Pertanian Bogor angkatan 1981. Hazairin dan Saputri akrab karena perempuan 50-an tahun itu pernah menjadi penasihat Petronas untuk Indonesia yang menggarap Blok Natuna dan lapangan minyak di Kalimantan Barat. "Kami memanggil Pak Hazairin dengan sebutan 'Kakek Ponti'," kata Bernaldi. "Ponti" adalah kependekan dari Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat.
Hazairin menyangkal cerita itu. Ia mengakui berteman dengan Hasanuddin karena satu almamater. "Tapi tak kenal Non Saputri atau Bunda Putri, apalagi mengenalkannya kepada Dirjen," ujarnya. Selama menjadi kepala dinas, ia mengatakan hanya dua kali bertemu dengan Hasanuddin. Yang pertama ketika temannya itu menjabat Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian pada 2005-2009, lalu setelah Hasanuddin menjadi Direktur Jenderal Hortikulturaāsejak 2009.
Hasanuddin tak menyangkal atau membenarkan punya hubungan dengan Non Saputri. Seusai rapat kerja dengan Komisi Pertanian Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa pekan lalu, ia tergeragap ketika wartawan menyodorkan foto Saputri. "Saya tak mau ditanya soal rumah tangga," katanya. Ketika didesak menyebutkan nama istrinya, ia menjawab diplomatis, "Nama istri saya Nyonya Hasanuddin."
Kepada Tempo, Bernaldi menunjukkan foto Hasanuddin memakai kaus dan peci putih sedang memangku anak Peni Fernita. Foto itu, kata Bernaldi, dijepret mantan istrinya di kamar Saputri.
Menurut Bernaldi, setelah kenal dengan Hasanuddin, bisnis Saputri berkembang. Ia mendengar Saputri punya pabrik pupuk organik besar di Singkawang, Kalimantan Barat. Menteri Pertanian Suswono mengkonfirmasi cerita ini. Ia mengaku pertama kali bertemu dengan Saputri saat peresmian pabrik pupuk PT Sinka Sinye Agrotama pada 31 Mei 2011. "Pabrik itu punya dia," ujarnya. Sedianya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan meresmikan pabrik pupuk organik terbesar di Asia Tenggara itu, tapi batal.
Di akta perusahaan, PT Sinka Sinye dimiliki pengusaha lokal bernama Tetiono. "Setahu saya, dia investor tunggal, tak ada nama Bunda Putri," kata Hazairin. Namun seorang pejabat Kementerian Pertanian mengatakan Tetiono merupakan bagian dari jejaring bisnis Saputri.
Tetiono, yang Kamis pekan lalu mengatakan bersedia ditemui untuk wawancara, membatalkannya sehari kemudian tanpa alasan jelas.
MENURUT seorang pengusaha, Saputri pernah menjadi distributor pupuk dan hasil pertanian dengan mendirikan PT Dwipa Kreatek Persada pada 2002. Kantornya di Gedung Yarnati, Jalan Proklamasi 44, Menteng, Jakarta Pusat. Muhtar Syahroni, pengelola gedung itu, membenarkan Saputri pernah berkantor di sana. Saputri menyewa satu lantai di lantai satu untuk menjalankan bisnisnya. Namun, dua tahun setelah berkantor, usahanya mulai sepi. "Perusahaan bangkrut pada 2005 karena tak mendapat order," kata Muhtar.
Seorang importir dan sejumlah pejabat Kementerian Pertanian menyebutkan Bunda Putri dipakai sebagai jangkar pengaturan proyek-proyek kelompok Luthfi. Ia dipasang karena orang dalam pusaran impor daging terlalu banyak sehingga tak terkontrol. Akibatnya, muncul kemacetan dalam lalu lintas keuangan.
Dalam percakapan telepon pada 28 Januari, Ahmad Fathanah menanyakan kepada Ridwan Hakim soal pemberian uang Rp 40 miliar dari Elizabeth untuk "Engkong". Menurut Ridwan, Engkong merujuk pada ayahnya, Hilmi Aminuddin. Ridwan mengatakan, "Enggak ada yang nyampe, Bosssā¦."
Menurut pengusaha itu, Bunda Putri juga dipasang agar tak terjadi tabrakan antara proyek PKS dan Demokrat setelah masuknya pengusaha Sengman Tjahja ke Kementerian Pertanian pada pertengahan 2011. Sengman merupakan pengusaha properti asal Palembang yang masuk bisnis impor daging. Ia diduga membantu memuluskan PT Indoguna agar kembali masuk pasar kuota setelah disingkirkan kelompok Basuki Hariman, pemilik perusahaan importir lainnya.
Menurut Ridwan Hakim, Sengman adalah "utusan Presiden jika bertamu ke PKS". Para pembantu Presiden Yudhoyono, seperti Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, mengakui kedekatan Yudhoyono dengan Sengman. Namun, menurut Djoko, kedekatan ini seperti hubungan Presiden dengan pengusaha lain. Bagaimanapun, pergaulan Saputri di pusat kekuasaan membuat ia ditakuti Luthfi Hasan Ishaaq dan Ridwan Hakim.
Ketua Fraksi PKS di Dewan Perwakilan Rakyat, Hidayat Nur Wahid, menyangkal kabar bahwa Bunda Putri punya hubungan khusus dengan partainya. "Saya baru mendengar namanya setelah diberitakan media," ujarnya. Hayono Isman, anggota Dewan Pembina Demokrat, juga menyatakan tak mengenal Bunda Putri. Padahal Hayono dan Saputri bersama banyak pejabat Demokrat lain tercatat sebagai pembina Lumbung Informasi Rakyat (Lira), lembaga swadaya pendukung Yudhoyono dalam pemilihan presiden 2004.
Tempo belum memperoleh konfirmasi dari Saputri tentang informasi-informasi itu. Lima hari tempat tinggalnya ditongkrongi, ia tak terlihat ke luar rumah. Di catatan rukun tetangga setempat, rumah megah itu disewa atas nama Rudi M. Rahmat, asistennya. Surat permohonan wawancara diterima penjaga rumah itu, yang kemudian melemparnya kembali. "Nama yang Anda tuju tak ada di sini," katanya.
Padahal rumah itu kerap dijadikan tempat rapat aktivis Lira. Selain tercantum sebagai penasihat, Saputri menjabat Ketua Lira Hijau, yang dilantik pada 2010. Lira memilih Saputri sebagai penasihat karena jaringannya di kalangan pengusaha sangat luas. "Supaya perusahaan-perusahaan itu memberikan dana program tanggung jawab sosial kepada Lira," kata Sekretaris Jenderal Lira, Frans Watu.
Frans, yang bertelepon dengan Saputri dua pekan lalu, menolak menghubungkan Tempo dengannya. "Sekarang dia sakit," ujar Frans.
FATHANAH meninggalkan kantor PT Indoguna Utama di Pondok Bambu, Jakarta Timur, pada Selasa malam, 29 Januari 2013. Di bagian belakang mobil Toyota Prado yang ditumpanginya, ia menempatkan dua dus dan satu tas plastik berisi uang kertas seratus ribuan. Total nilainya Rp 1 miliar. Ini merupakan pembayaran tahap pertama buat pengurusan kuota 8.000 ton daging untuk Indoguna.
Fathanah menelepon Luthfi, menyampaikan kabar gembira itu. Mereka telah berbulan-bulan mengatur kuota ini melalui serangkaian pertemuan. Fathanah meminta bertemu dengan sang Presiden. Karena Luthfi sedang mengikuti seminar, keduanya sepakat bersua di kantor pusat Partai Keadilan Sejahtera, Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan, pada malam harinya. Fathanah lalu menuju Hotel Le Meridien di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Di jalan, ia menghubungi Maharani, mahasiswa yang dia kenal sehari sebelumnya di Plaza Senayan, dan mereka berjanji bertemu di hotel.
Menjelang magrib, Fathanah tiba di Le Meridien. Ia menuju Restoran La Brasserie di lantai dasar hotel itu. Maharani tiba setengah jam kemudian. Mereka menghabiskan sebatang rokok, lalu menuju kamar 1740, yang telah dipesan. Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi terus mengawasi mereka. Beberapa waktu setelah keduanya berada di dalam kamar, dengan bantuan petugas hotel, para penyidik itu menggedor pintu.
Petugas-petugas itu menggeledah seisi kamar, disaksikan Fathanah, yang duduk di sofa. Maharani menangis di sampingnya. Lalu, setelah meminta mereka merapikan busana masing-masing, petugas menggiring keduanya menuju area parkir hotel di lantai bawah tanah. Di sini, serombongan lain petugas komisi antikorupsi telah meminta sopir Fathanah membuka mobil dan menunjukkan "bingkisan" dari Indoguna.
Berita penangkapan Fathanah segera menguar dan meledak di media massa esok harinya. Pada Rabu malam, 30 Januari, Bunda Putri memanggil Ridwan dan Luthfi ke rumahnya. Ia menanyakan kabar penangkapan Fathanah itu. Menurut Ridwan, seperti tertuang dalam dokumen persidangan, Luthfi menjawab suap itu tidak berkaitan dengan partai dan menteri.
Menurut Ridwan, Luthfi hanya setengah jam berada di rumah Bunda Putri. Anggota Dewan itu segera balik ke kantor partai untuk memimpin rapat pleno. Di tengah rapat inilah, ketika waktu menjelang tengah malam, sang Presiden dijemput petugas Komisi Pemberantasan Korupsi. Kali ini, Bunda Putri tak lagi bisa mengundangnya ke rumah.
Bagja Hidayat, Faiz Nashrillah, Akbar Tri Kurniawan, Rusman Paraqbueq, Ali Akhmad (Jakarta), Aseanty Pahlevi (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo