Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perempuan Bageur dari Lereng Ciremai

Non Saputri dikenal luwes bergaul dengan pejabat dan politikus. Menteri Andi pernah menginap di rumahnya.

16 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada orang Desa Cilimus yang tak kenal Non Saputri. Rumahnya berdiri megah di lereng Gunung Ciremai, KuniĀ­ngan, Jawa Barat, itu. Penduduk desa mengingat perempuan itu ramah dan ringan tangan. Ketika dia pulang kampung, warga setempat berbondong-bondong datang. "Saya pernah ke rumahnya, pulang diberi uang," kata Tatang Supriatna, warga desa itu, Jumat pekan lalu. "Bunda Putri bageur pisan."

Karena itu, ketika adik Saputri, Otong Mulyadin, maju sebagai calon Kepala Desa Cilimus pada 2012, dengan gampang ia meraup suara pemilih. Dua kandidat pesaingnya hanya mendapat suara secuil. Namun Otong tak mau menceritakan kisah kakaknya. "Bukan kapasitas saya untuk menjelaskan," ujarnya.

Ramai dikunjungi penduduk, rumah Saputri pun kerap didatangi pejabat. Salah satunya Andi Alifian Mallarangeng ketika masih menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga. Bukannya menginap di hotel, Andi dan rombongannya menghabiskan malam tahun baru 2012 di kediaman Saputri. Di halaman rumah yang jembar, dipasang tenda pesta. Sejumlah acara digelar untuk menyambut sang Menteri, antara lain turnamen catur. Dimintai konfirmasi, Rizal Mallarangeng, adik Andi, menolak berkomentar.

Non Saputri, 50-an tahun, bergelar insinyur dari Institut Teknologi Bandung. Ia menikahi pria Prancis, Bernard Taramin. Dari pernikahan itu lahirlah Peni Fernita. Tinggal di Jakarta, keluarga itu memiliki sebuah hotel di kawasan wisata Sangkanhurip di Cilimus, Kuningan. Bernard wafat pada 2000. Hotel itu kini dikelola anak Bernard dari istrinya yang lain.

Di Jakarta, Saputri mendirikan PT Dwipa Kreatek Persada, yang bergerak di sektor pertanian. Perusahaan ini berkantor di Gedung Yarnati, yang beralamat di Menteng, Jakarta Pusat. Menurut pengelolanya, Muhtar Syahroni, dari lima lantai gedung, Dwipa hanya menyewa lantai satu. Selama berkantor di sana sejak 2003 hingga 2005, kata Muhtar, Dwipa jarang mendapat proyek.

Seingat Muhtar, Dwipa mengerjakan proyek konstruksi dan penyewaan alat berat, termasuk alat pertanian. Pada tahun pertama berkantor di Yarnati, perusahaan itu beroperasi normal. Tahun berikutnya, terlihat perusahaan mengalami kemunduran. Satu demi satu karyawannya keluar lantaran perseroan sepi proyek. Puncaknya terjadi pada 2005. Dwipa menunggak uang sewa selama setahun.

Kantor lalu ditinggalkan begitu saja, termasuk peralatannya. Oleh pengelola gedung, peralatan kantor, antara lain meja, dijual untuk menutup tunggakan. Menurut Muhtar, hasil penjualan tak bisa menutupi tagihan. "Bahkan separuhnya saja tidak sampai," ujarnya. Selama berkantor di Yarnati, Muhtar mengatakan hanya beberapa kali bertemu dengan Saputri. "Dia jarang ke kantor."

Setelah perusahaannya bangkrut, Saputri bekerja di Petronas, perusahaan minyak bumi Malaysia. Menurut Bernaldi Kadir Djemat, mantan menantunya, Saputri bergabung dengan Petronas sejak 2006ā€”pada tahun itu Bernaldi menikahi Peni Fernita. Pasangan ini berpisah lima tahun kemudian. Di sejumlah berita, Saputri ditulis sebagai penasihat internasional Petronas di Indonesia, terutama untuk proyek gas Natuna D-Alpha, yang belakangan disebut Blok East Natuna, dan gas alam cair (LNG) Kalimantan Barat. Tugasnya, antara lain, menjadi penghubung antara Petronas dan pejabat Indonesia.

Petronas enggan menjelaskan apakah Non Saputri alias Bunda Putri ini adalah perempuan yang sama yang pernah bekerja untuk mereka. "Kami cek dulu," kata Aulia, anggota staf hubungan media Petronas. Adapun menurut Bernaldi, selepas 2011, Saputri tak lagi bekerja di Petronas.

Bernaldi alias Aldi ingat bahwa gara-gara Petronaslah Non Saputri tinggal di Jalan Metro Pondok Indah SB 09. Bernaldi sendiri yang mencarikan rumah itu. "Aldi, tolong carikan Mama rumah di Pondok Indah," ujar Bernaldi menirukan Saputri. Petronas membayar biaya sewanya.

Bangunan dua tingkat itu difungsikan sebagai rumah sekaligus tempat kerja Saputri. Lantai satu untuk tempat tinggal dan lantai dua untuk kantor. Rumah disewa atas nama Rudi M. Rahmat, asisten pribadi Saputri. Ketua rukun tetangga di perumahan itu, Susantin Sinarno, membenarkan bahwa rumah tersebut dikontrak Rudi M. Rahmat.

Luwes dalam bergaul, Saputri lalu bertemu dengan Direktur Jenderal Hortikultura Hasanuddin Ibrahimā€”waktu itu menjabat Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanianā€”sekitar 2007. Bernaldi ingat Hasanuddin mendadak sering muncul di rumah Pondok Indah dan menimang-nimang putra Aldi, cucu Saputri. Ketika Aldi mengajak berkenalan, Hasanuddin malah menyembunyikan nama. "Panggil saja 'Kakek'," Bernaldi menirukan Hasanuddin.

Ia mendapatkan nama Hasanuddin dari Peni, istrinya, beberapa waktu kemudian. Selain enggan memberitahukan nama, kata Bernaldi, Hasanuddin menolak dipotret. "Janganā€¦ jangan difoto," ujarnya tiap kali Bernaldi mengeluarkan telepon seluler. Meski begitu, Aldi mengatakan punya foto Hasanuddin sedang memangku putranya. Di dalam foto, Hasanuddin hanya mengenakan kaus dan sarung.

Bernaldi pernah bertanya kepada Saputri bagaimana mertuanya itu kenal dengan Hasanuddin. "Dikenalkan 'Kakek Ponti'," Saputri menjawab ditirukan Bernaldi. Menurut Bernaldi, Saputri kemudian menjelaskan bahwa "Kakek Ponti" adalah Hazairin, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kalimantan Barat. "Ponti" kependekan dari Pontianak.

Hazairin berkawan dengan Hasanuddin sejak kuliah di Institut Pertanian Bogor. Keduanya satu jurusan di Agronomi angkatan 1981. Hazairin mengakui persahabatannya dengan Hasanuddin, tapi membantah mengenalkannya kepada Saputri. "Saya tidak kenal Bunda Putri," ujarnya.

Hasanuddin menolak menjelaskan siapa Bunda Putri dan bagaimana hubungannya dengan perempuan itu. "Jangan dipaksa menjawab, dong. Saya tidak mau bicara soal pribadi. Saya tidak mau ditanya soal rumah tangga," kata Hasanuddin kepada wartawan di kompleks parlemen, Senayan, pada 5 September lalu.Didesak sekali lagi, Hasanuddin menjawab, "Yang dimaksud makhluk Allah bernama Bunda, saya tidak mengerti."

Luasnya jaringan bisnis Saputri membuat organisasi swadaya, Lumbung Informasi Rakyat, tertarik merekrutnya. Namanya disingkat menjadi Lira, organisasi ini dulu dibentuk oleh para pendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejumlah politikus Partai Demokrat pun bergabung di sini.

Menurut Yusuf Rizal, pemimpin Lira, Saputri bergabung sejak awal 2010. "Agar Lira mendapatkan program CSR (corpoĀ­rate social responsibility) dari perusahaan jaringan Bunda Putri," ujar Yusuf.

Mulanya, Saputri didapuk sebagai anggota dewan pembina. Pada 19 Juni 2010, Saputri dilantik menjadi Ketua Umum Lira Hijau, organisasi sayap Lira. Acara pelantikan digelar di Hotel Sultan. Yusuf Rizal mengatakan terakhir kali bertemu dengan Saputri pada saat halalbihalal Lira Jawa Timur di Hotel Meritus Surabaya pada 27 Agustus lalu. Lira terang-terangan mendukung Soekarwo-Saifullah Yusuf dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur.

Saputri belum bisa dimintai konfirmasi. Di rumah Pondok Indah, penjaga mengatakan Saputri tak tinggal di sana. Menurut dia, penghuninya adalah Rudi Rahmat.

Anton Septian, Faiz Nashrillah, Ali Hidayat (Jakarta), Deffan Purnama (Kuningan), Aseanty Pahlevi (Pontianak)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus