WALIKOTA Utju mulai repot membenahi kotanya. Bukan saja karena
Ali Sadikin terang-terangan menyebut Bandung sebagai kota
brengsek, tapi terlebih lagi karena Utju mendapati keadaan yang
agak repot. "Hutang kami kepada leveransir dan pemborong saja
lebih dari Seratus juta", kata drs Eman Suparman yang baru
sebulan jadi Sekda. Ia mengakui hal itu dengan hati-hati. Bukan
saja karena ia sendiri belum lama menduduki posnya, tapi seperti
yang dikatakannya, "jangan-jangan kami dituduh hanya menyalahkan
pejabat yang terdahulu".
Tapi apa boleh buat. Pergantian Walikota Bandung seakan memberi
kesempatan terlontarnya berbagai kritik, bahkan yang amat tajam
sekalipun. Soalnya, ketidak puasan itu sudah lama tersimpan di
lubuk hati, terutama bagi orang Bandung sendiri. Bahkan DM ITB
bekerja sama dengan Pemda dan Perguruan Tinggi lainnya yang ada
di Bandung, dengan cepat menyelenggarakan seminar-tentang
Pengembangan Bandung Sebagai Kota Pendidikan. Walaupun dari
panitia sendiri dengan hati-hati datang keterangan, "diadakannya
seminar tidak ada kaitan dengan pergantian Waiikota".
Yang jelas, sekarang ini tampak banyak fihak yang memperlihatkan
perhatiannya terhadap Bandung ini. Hal itu timbul, barangkali
didorong rasa jengkel atau sayang. Namun timbulnya berbagai
pendapat itu harus dianggap positif. "Untuk membuat Bandung
tidak brengsek, diperlukan banyak fihak yang turun tangan", kata
Eman di kantornya. Kemudian, bekas teman Utju di DPRD Propinsi
Jabar ini, membolak balik setumpuk berkas di mejanya. "Kami
mendapatkan staf yang terlanjur dimanjakan", katanya pelan.
"Padahal, melihat kemampuan yang ada, kami justru harus
mengketatkan ikat pinggang", tambahnya. Ia kemudian menyebut
satu pos yang biasanya menelan ongkos 200 juta, sekarang
diciutkan menjadi seratus juta saja. "Hal ini terpaksa ditempuh,
walau dengan imbalan antipati", katanya. Bahkan kendaraan dinas
yang dulu dibeli banyak-banyak sekarang kedapatan sudah dijual.
"Jumlahnya sekitar 200 buah", kata Eman.
Bukan Uang Saja
Barangkali, kalau benar itikadnya baik, tidak ada salahnya
mengakui segala kekurangan. Bukan semata-mata melempar
tanggungjawab pada pejabat yang sudah berhenti, sebab hal begitu
takkan menyelesaikan keadaan. Seperti juga tempo hari, pernah
disebut Bandung tak bisa apa-apa karena tidak ada duit. Dengan
alasan itu. akhirnya duit pun diperoleh lewat berbagai pungutan.
Ada dana kebudayaan dari karcis bioskop, sementara arti
kebudayaan di situ entah apalah namanya. Ada juga pajak
penerangan, padahal listrik tetap saja byar-pet. Sudah wajar,
kalau kemudian masyarakat jadi jengkel, biarpun hanya dalam
hati. Rencana Utju, untuk meninjau kembali sebagian pungutan ini
diharapkan tidak hanya untuk kampanye saja.
Diakui Eman, "ternyata persoalan tidak selesai karena ada uang
saja". Sekarang, kabarnya, akan dicoba ditempuh jalan lain.
"Bandung ini bukan tanggung jawab kotamadya saja", kata Eman
tandas. Perlu disebut, Bandung yang sekarang ini luasnya hanya
8098 hektar, belum mengalami pengembangan sejak tahun 1949.
Padahal penghuni terus berjejal. "Penduduk Bandung sekarang ini
sudah dua kali lipat dari kemampuan wilayahnya sendiri secara
wajar", kata Eman lagi. Sehingga terjadilah, bahkan taman-taman
sekalipun sekarang sudah penuh dengan rumah Pengembangan
wilayah, tempo hari juga agak santer diberitakan, antara lain
lewat perundingan dengan kabupaten. Namun entah bagaimana,
antara tetangga dekat inipun tak terbina saling pengertian.
Sementara kota lain sudah membengkak dua-tiga kali lipat,
Bandung tetap kerdil saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini