SEBAGAI ibukota Daerah Istimewa Aceh, tentu saja Banda Aceh
berkeinginan punya sebuah pasar yang juga istimewa. Seperti
pasar di ibukota-ibukota propinsi lainnya. Artinya bertingkat,
bersih dan sehat. Maka tatkala Usman Yakob jadi walikota Banda
Aceh maksud itupun dilaksanakannya. Yaitu dengan mengobrak-abrik
pasar Aceh alias Peukan Aceh yang sudah ada sejak 70 tahun lalu.
Lalu digantinya dengan pasar bertingkat berukuran 200 x 25 M.
Pasar lama yang bemlula sepetak padang belukar di samping Mesjid
Raya yang diisi para wanita dan janda-janda yang suaminya mati
syahid itu, di akhir 1972 berganti dengan yang baru dan
bertingkat itu. Mampu menampung seluruh penjaja yang dulunya
bersimpuh di tanah-tanah berlumpur. Dan lantai bawahnya
dijadikan tempat bernaung 50 tukang jahit dan 150 pedagang kain
dan kelontong.
Tapi ada yang dikecualikan. Yaitu para pedagang ikan basah dan
tukang daging. Mereka dilarang berdagang disana. Meski mereka
pun sudah bercokol di sana lebih 1/2 abad. Alasannya demi
menjaga kebersihan dan kesehatan. Maklum jenis dagangan itu
basah dan anyir. Mereka dipersilakan menyingkir ke bangunan baru
di tepi Kali Aceh di daerah Peunayong. Yang tak kebagian di sana
boleh cari tempat di Pasar Pagi Kuta Alam atau Peukan Seutui.
Tak peduli berstatus liar atau tidak. Pokoknya menyingkir dari
Pasar Bertingkat atau Pasar Aceh Baru.
Loroog-Lorong
Tentu saja pengaturan tersebut bikin nyonya-nyonya atau
nona-nona rumah jadi repot. Bila perlu beras, sayuran atau bumbu
cukup pergi ke Pasar Bertingkat. Tapi bila berhajat beli ikan
basah dan daging, mesti pergi ke Peunayong. Kerepotan
menjadi-jadi, bila apa-apa yang akan dibeli terlupa. Hingga
harus mondar-mandir.Ini mengilhami sebagian pedagang sayur dan
bumbu untuk pindah dari Pasar Bertingkat dan mengelar
dagangannya di pasar Peunayong Hingga pengunjung Pasar Aceh
bertingkat yang maunya istimewa itu, agak berkurang.
Juga keadaan tersebut mengilhami para pedagang lainnya untuk
memborong ikan basah dan daging di Peunayong, lalu secara
sembunyi-sembunyi memboyong dan menjualnya di Pasar Bertingkat.
Lama-lama mereka memenuhi lorong-lorong di Pasar Bertingkat.
Biar sedikit mahal, toh dagangan mereka amat laris. "Ketimbang
buang ongkos becak, tenaga dan waktu, lebih baik mahal", ujar
seorang nyonya. Akhirnya petak-petak bawah dan atas, yang memang
sudah melimpah, makin luber. Bahkan sampai ke tangga-tangga yang
dulu mulus. Keadaan kembali tak beda seperti 70 tahun lampau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini