GELAR manusia triliunan rupiah ternyata bukan hanya monopoli Taipan Liem Sioe Liong dan Konglomerat Prajogo Pangestu. Deretan angka yang terdiri atas 13 digit ini diam-diam juga menghiasi nama Eddy Tansil alias Tan Tjoe Hong, bos Golden Key Group. Siapa dia? Tak banyak yang kenal memang -- mungkin karena Eddy Tansil cenderung merendah-rendah alias low profile. Tapi, kalau diteliti, nama kunci emas atau Golden Key sudah mencuat ke permukaan sejak tahun lalu. Tepatnya, ketika isu kredit macet di bank-bank pemerintah dibocorkan oleh sebuah selebaran gelap, yang tidak jelas sumbernya. Namun, ketika itu, nama Tan Tjoe Hong atau Eddy Tansil luput dari sorotan. Sebab, utangnya kepada bank-bank pemerintah tidak sebesar yang diributkan sekarang. Di selebaran gelap itu disebutkan bahwa posisi utang Golden Key hanya Rp 796,1 miliar. Dan yang diperkirakan menjadi kredit macet hanya Rp 273,6 miliar, sekitar 34,51% dari total kewajibannya. Tapi keadaan berubah ketika dua anggota Komisi VII DPR RI, yaitu Arnold Baramuli dan Yahya Nasution, pekan lalu mengungkapkan kredit macet yang nyangkut di pengusaha ini. Setelah ditambah dengan bunganya, jumlah pinjaman Eddy di bank pemerintah -- semula hanya US$ 430 juta -- ternyata membengkak menjadi Rp 1,3 trilun. Dan yang mengejutkan, kredit itu mengalir tanpa prosedur yang wajar. Entah betul entah tidak. Konon, kredit itu -- menurut perjanjian semula -- akan dialirkan dengan sistem usance L/C. Ini berarti, pinjaman akan diberikan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan barang yang dibeli oleh debitur. Menurut seorang bankir, dengan sistem ini pembayaran bisa saja baru dilakukan enam bulan, bahkan hingga dua tahun, setelah barang (biasanya berupa barang modal) sampai di tangan debitur. Adapun usance L/C ini, selain sangat aman, juga lazim dipakai dalam transaksi dagang. Tapi entah akal licik siapa yang mengacau, usance L/C itu berubah menjadi red clause L/C. Akibatnya, tanpa mengirimkan barang terlebih dahulu, pemasok barang yang berkedudukan di luar negeri bisa langsung mencairkan seluruh dana kredit tersebut. Dan kabarnya, sebagian besar dana itu memang telah dicairkan. Lebih menakjubkan lagi, tak seorang pun tahu siapa sebenarnya yang mengubah usance L/C menjadi red clause L/C. "Sungguh, saya tidak tahu," kata Subekti Ismaun, bekas Direktur Utama Bapindo, yang masih berada di pucuk pimpinan Bapindo ketika menangani kredit ini. Alasannya sederhana. Menurut Subekti, di jajaran direksi Bapindo ada semacam pembagian tugas. Jadi, walaupun pembahasan kredit dilakukan bersama direktur utama, pelaksanaannya bisa dilakukan oleh direktur. Penjelasan seperti ini agak janggal terdengar di telinga bankir swasta. Mengapa? Yang lazim berlaku, seorang direktur utama tidak terbatas peran dan wewenangnya pada proses pengambilan keputusan saja, tapi lebih dari itu ia juga harus mengontrol langsung pelaksanaannya. "Apalagi yang menyangkut kredit ratusan miliar," kata seorang bankir di Jakarta. Lantas, bagaimana red clause L/C bisa muncul? Seorang pejabat di Bapindo menyajikan sebuah cerita yang juga sulit di terima akal. Katanya, perubahan dari usance L/C ke red clause L/C sebenarnya dilakukan oleh Kepala Cabang Bapindo Jakarta, sebagai kantor bank pelaksana. Adapun perubahan itu dilakukan, tentu saja, atas permintaan Eddy Tansil sendiri. Tapi Kepala Cabang Bapindo Jakarta itu tidak melaporkan apa yang telah dilakukannya kepada direksi. Sehingga, F. Bambang Koentjoro, sebagai direktur yang konon menangani kredit untuk Eddy Tansil ini, sama sekali tak tahu-menahu. Wajar kalau kemudian banyak pihak menyebut kredit ini misterius. Dan ketidakjelasan pinjaman ini tampaknya akan berlangsung terus. Soalnya, jangankan direksi Bapindo, Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad pun tak bersedia memberikan jawaban yang transparan. Alasannya, kasus itu menyangkut rahasia bank yang dijamin undang-undang. "Kalau itu diungkapkan, bisa-bisa direksi Bapindo dituntut nasabahnya," demikian kata Mar'ie. Padahal, pertanyaan yang diajukan Komisi VII, yang disuarakan oleh Arnold Baramuli, cukup gencar dan rinci. Mulai soal agunan yang konon tidak cukup, sampai jumlah persisnya kredit yang telah dinikmati oleh Eddy Tansil. Pada Jumat pekan lalu itu, suasana dengar pendapat di DPR RI digayuti antiklimaks. Banyak yang kecewa karena delapan pertanyaan Arnold Baramuli yang cukup bernas tidak memperoleh jawaban yang pantas. Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad hanya bisa menjanjikan, kelak (rencananya Rabu pekan ini) direksi Bapindo sendiri yang akan menjelaskan. Itu pun hanya terbatas pada hal-hal yang tidak melanggar rahasia bank. Terlepas dari kekecewaan para wakil rakyat itu, satu hal yang juga mengusik akal waras orang ialah mengapa Eddy Tansil atawa Tan Tjoe Hong bisa dengan mudah menggaet pinjaman begitu besar. Selain itu, ia memperolehnya dengan sangat mudah. Seperti dikatakan Eddy, kredit yang diperolehnya pada tahun 1991 itu hanya melalui proses yang berlangsung tak lebih dari lima bulan. Padahal, menurut seorang bankir, untuk memperoleh kredit yang nilainya sampai Rp 860 miliar, biasanya dibutuhkan waktu untuk negosiasi hingga satu tahun penuh. Tapi sebuah sumber di Bapindo berkomentar, adalah wajar jika pengusaha ini sukses mengurus kreditnya dalam waktu singkat. Sebab, pengusaha yang bernama Eddy ini tidak melenggang sendiri. Ia didampingi oleh seorang pejabat tinggi. Bahkan, selain mendampingi Eddy ketika menghadap Direktur Utama Subekti Ismaun, pejabat tinggi ini juga memperkenalkan "temannya" kepada Sumarlin, yang waktu itu menjabat sebagai menteri keuangan. Tentu saja "info" ini masih harus dibuktikan dulu kebenarannya. Yang pasti, Eddy Tansil memiliki latar belakang bisnis yang tidak diketahui banyak orang. Tidak banyak yang tahu bahwa "raja bajaj" -- dia dulu yang merakit kendaraan roda tiga itu -- ini adalah adik kandung Hendra Rahardja, pemilik Bank BHS sekaligus pemilik PT Harapan Motor yang merakit Yamaha. Dan jika diurut ke belakang, terkesan bahwa bisnis keluarga ini tidak begitu bersinar. Tan Tek Hoat, bapak Eddy dan Hendra, pernah memiliki Bank Benteng Indonesia, yang kemudian dinyatakan bangkrut. Begitu pula bisnis BHS Bank dan Yamaha, beberapa tahun lalu, sempat meredup -- tapi belakangan bisa tampak berkibar lagi. Akan halnya Eddy sendiri, ia konon memiliki delapan buah perusahaan. Sehingga, dengan asetnya yang dikabarkan mencapai Rp 1 triliun, ia masuk dalam jajaran pengusaha nonpri terkaya (ke-163) di Indonesia. Nah, di antara delapan perusahaan tersebut, tiga di antaranya -- berlokasi di Cilegon, Jawa Barat -- adalah yang menggarap proyek yang dibiayai Bapindo tadi. PT Hamparan Redjeki, yang akan memproduksi acrylic fiber (bahan pengganti wool), direncanakan mulai berproduksi April depan. PT Dinamika Erajaya, yang akan membuat bahan baku pipa PVC, diperkirakan baru bisa berproduksi Juli depan. Sedangkan PT Graha Swakarsa Prima, produsen bahan baku plastik, direncanakan baru beroperasi tahun 1995 (lihat Bukan Olefin, tapi Styrene). Tiga pabrik tersebut, seperti diakui Subekti Ismaun, adalah proyek yang menguntungkan. Karena itulah, Bapindo menyetujui proposal yang diajukan Eddy. Betul, semula proyek raksasa itu tidak hanya akan dibiayai oleh Bapindo. Akan ada tiga bank pemerintah lainnya -- ini menurut seorang eksekutif di Bapindo -- yang diajak urun kredit. Mereka adalah BNI, BankExim, dan BDN. Namun, BNI mengundurkan diri, hingga tinggal BankExim dan BDN yang bertahan. Bank-bank ini sepakat memilih Bapindo sebagai pemimpin sindikasi. Alasannya, selain bank inilah yang mengucurkan kredit terbanyak, kredit investasi di bidang kimia memang salah satu spesialisasi Bapindo. Ternyata, ketiga bank pemerintah itu tidak langsung menurunkan dananya. Untuk sementara, kredit itu lalu ditalangi oleh Bapindo. BDN dan BankExim akan menyetor kepada Bapindo. Lalu, hanya beberapa bulan setelah kredit itu cair, seperti diakui Eddy, pihaknya meminta agar usance L/C diubah menjadi red clause L/C. Dan permintaan itu dikabulkan. Malang tak dapat ditolak, setelah usance L/C menjadi red clause L/C dan sebagian besar dari plafon kredit dicairkan, tiba-tiba Pemerintah membuat sebuah keputusan yang mengejutkan. Melalui Keppres No. 39, yang turun pada akhir tahun 1991, Pemerintah melarang bank-bank BUMN terlibat dalam proyek-proyek mega. Di sinilah, kata eksekutif tersebut, pangkal kemacetan kredit Eddy Tansil. Soalnya, konon, Eddy tak memiliki dana sendiri untuk membiayai proyeknya. "Ya, bagaimana bisa dirampungkan, wong duitnya juga baru sebagian," kata sumber ini seakan membela Bapindo. Dengan adanya Keppres No. 39, kontan BankExim dan BDN mengundurkan diri dari sindikasi. "Tinggallah bank kami yang menanggung kredit macet itu sendirian," ujar pejabat Bapindo ini. Kalau saja cerita itu benar, isu bank's draft yang beredar selama ini -- termasuk yang dibahas di Komisi VII DPR -- tentulah tidak benar. Artinya, tidak betul Bapindo telah berhasil menjual bank's draft (semacam surat tanda ikut membiayai kredit) kepada bank pemerintah lainnya. Yang tetap jadi misteri, berapa sebenarnya jumlah kredit yang dapat dicairkan Eddy Tansil, dan ke mana larinya uang sebesar itu. Ada bisik-bisik santer menyebutkan bahwa dana itu ditanamkan Eddy di sebuah proyek lain di sebuah negara lain. Tapi ada juga yang bilang, uang itu tersimpan di sebuah perusahaannya yang berdomisili di Hong Kong. Akibatnya, selain proyek itu tertunda-tunda, pembayaran cicilannya pun tersendat-sendat. Coba saja hitung. Dengan masa tenggang (grace period) yang 18 bulan, seharusnya sudah sejak pertengahan tahun lalu Eddy melakukan cicilan bunga dan utang pokoknya. Namun, hal itu tidak pernah terlaksana sehingga masuk dalam kategori kredit macet. Padahal, kata sebuah sumber, masa tenggangnya sudah cukup panjang. Perhitungannya, dua bulan untuk pengiriman barang modal (termasuk mesin-mesin) dari pemasok, enam bulan untuk memasang peralatan produksi, dan sisanya untuk melakukan produksi percobaan sekaligus produksi komersial. Adapun yang terjadi, seperti yang terlihat saat ini, dua tahun lebih setelah persetujuan kredit ditandatangani, belum satu pun pabrik (dari sembilan pabrik) beroperasi. Padahal, dengan red clause L/C, kedatangan barang modal itu sudah selayaknya menjadi lebih cepat lagi. Begitu pula pemasangan peralatan tak akan menghadapi hambatan dalam soal biaya. Sebab, menurut sumber di Bapindo, yang belum sempat dicairkan Eddy tak banyak lagi, sehingga pembangunan pabrik-pabrik itu tak harus tertunda sampai satu tahun. Apakah ada kemungkinan kredit Bapindo itu terbenam di perusahaan Eddy yang berlokasi di luar negeri? Atau apakah mungkin terbelok ke tempat lain? Pengusaha yang berperawakan kekar ini hanya dengan mantap menegaskan bahwa dirinya bukan pencuri, dan bahwa proyeknya kelak bukan saja melaba, tapi juga akan meraih keuntungan yang cukup besar.Budi Kusumah, Dwi S. Irawanto, Iwan Qodar, Bambang Aji, dan G. Sugrahetty Dyan K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini