KEMANDIRIAN Bank Indonesia (BI) kini sedang diuji. Persoalan serius itu memanas setelah Gubernur BI Syahril Sabirin dijadikan tersangka dalam kasus Bank Bali. Bahkan, sebelumnya, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid meminta Syahril mengundurkan diri dari jabatannya. Tentu saja Syahril menganggap tindakan Gus Dur itu telah melanggar prinsip independensi BI yang dijamin oleh Undang-Undang (UU) BI.
Menurut UU BI, siapa pun termasuk pemerintah memang dilarang mengintervensi ataupun mencampuri urusan BI. Bahkan, UU tersebut telah mencantumkan ancaman pidana maksimal berupa hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 5 miliar kepada mereka yang mengintervensi BI.
Tapi benarkah manuver Gus Dur terhitung tindakan mengintervensi BI? Arifin Djunaedi, salah seorang yang dekat dengan kalangan istana, mengabarkan bahwa keinginan Gus Dur agar Syahril mundur itu bukan semata-mata lantaran Gus Dur secara pribadi tak suka kepada Syahril. Itu lebih karena kemauan kuat Gus Dur untuk memberantas korupsi, termasuk dalam skandal Bank Bali.
Sebenarnya, masalah intervensi yang dimaksud dalam UU BI lebih ditujukan pada campur tangan pihak lain, termasuk presiden, terhadap pelaksanaan tiga tugas BI. Tiga tugas itu berupa kebijakan moneter, kelancaran sistem pembayaran, dan pengaturan plus pengawasan bank. Jadi, bukan untuk masalah pengunduran diri dan proses hukum pidana terhadap Syahril.
Kalaupun terjadi intervensi, kata Sekretaris Kabinet Marsillam Simanjuntak, yang seolah-olah membelokkan istilah intervensi, hal itu lebih menyangkut pada pengaruh Presiden terhadap Jaksa Agung Marzuki Darusman. Maksudnya, pengaruh supaya proses hukum terhadap Syahril diteruskan.
Memang, soal intervensi Presiden kepada Jaksa Agung itu menjadi persoalan tersendiri. ''Cara Presiden memanfaatkan penegakan hukum dengan mempengaruhi Jaksa Agung itu sama dengan praktek semasa Orde Baru," ujar Didi Supriyanto, anggota DPR dari PDI Perjuangan.
Modus serupa tersirat ketika Gus Dur menawarkan pilihan kepada Syahril: mundur atau menjadi tersangka. Bila mundur, Syahril akan dijadikan anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) atau duta besar. Seharusnya, siapa pun yang diduga terlibat tindak pidana, termasuk mantan Ketua DPA A.A. Baramuli dan mantan Menteri Keuangan Bambang Subiyanto, dalam kasus Bank Bali, tak perlu ada pilihan selain diproses secara hukum.
Yang jelas, dalam polemik kasus Syahril Sabirin, Gubernur BI itu bersikeras bahwa tindakan Gus Dur telah menyimpang dari ketentuan UU BI. Untuk itu, Syahril pun mengupayakan dukungan politis dari Ketua DPR Akbar Tandjung. ''Wajar bila saya memberikan pengertian pada lembaga-lembaga politik. Bila saya didesak untuk mundur dengan tuntutan yang tak wajar, tentu lembaga-lembaga itu bisa membela saya," kata Syahril.
Boleh jadi aksi Syahril ke DPR itu berangkat dari anggapan bahwa hanya DPR yang berwenang terhadap BI. Sebab, DPR-lah yang memilih Gubernur BI. Bahkan, Pasal 58 dan penjelasannya dalam UU BI, menurut pengamat hukum perbankan Rasjim Wiraatmadja, menyiratkan adanya mekanisme laporan pelaksanaan tugas BI kepada DPR dan pengawasan BI oleh DPR.
Dengan demikian, itu berarti DPR-lah yang berwenang mencopot jabatan Gubernur BI, sedangkan presiden sama sekali tak berkuasa terhadap BI. ''BI berada di luar pemerintahan. Hubungannya dengan presiden (selaku kepala negara) hanya sebatas urusan administrasi (protokoler)," kata pengamat hukum perbankan yang lain, Pradjoto.
Tapi ada pendapat yang menyatakan bahwa karena presiden yang mengangkat Gubernur BI, Gubernur BI bertanggung jawab kepada presiden. Pendapat ini merujuk pada Pasal 41 (1), Pasal 46 (3), dan Pasal 47 (2) UU BI.
Lain lagi pendapat Paskah Suzeta, anggota DPR dari Golkar. Menurut dia, BI tidak bertanggung jawab kepada DPR ataupun presiden. Karena itu, ''Presiden dan DPR tak bisa menjatuhkan Gubernur BI," ucap Paskah.
Bila argumentasi itu benar, tentu memprihatinkan. Sebab, bagaimana mungkin sebuah lembaga negara tidak bertanggung jawab kepada siapa pun? Namun, harus dibilang apa, kenyataannya UU BI tak mengatur soal pertanggungjawaban tersebut. Jelas, masalah semacam itu bisa terjadi pula pada lembaga tinggi negara yang lain, seperti Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Dewan Pertimbangan Agung.
Bagi Syahril, pendapat yang menganggap presiden tak berwenang mengurusi jabatan Gubernur BI-lah yang dianutnya. Itu sebabnya ia bergeming terhadap hasrat Presiden melengserkannya. ''Meski ditekan terus dan walaupun sudah dinyatakan sebagai tersangka, saya akan tetap bertahan. Pada waktunya nanti, saya akan mengundurkan diri tanpa ada paksaan," ucap Syahril.
Satu-satunya cara untuk menggusur Syahril, yang masa jabatannya masih tiga tahun lagi, ya, melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 48 UU BI. Menurut pasal itu, Gubernur BI bisa diturunkan bila mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana, ataupun berhalangan tetap. Untuk kondisi pertama, jelas Syahril tak bersedia mundur secara sukarela. Pada kondisi kedua, itu harus setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Dan kondisi ketiga terjadi, misalnya, bila Gubernur BI meninggal dunia atau cacat.
Bila dicermati, aturan pergantian Gubernur BI dalam masa jabatannya pada UU BI ternyata juga mengandung lubang serius. Sebab, UU itu tak mengatur kemungkinan penggantian bila Gubernur BI terbukti tidak mampu atau tak berhasil melaksanakan tugasnya. Dengan tetap menjunjung prinsip independensi BI yang profesional, sepatutnya masalah itu dicantumkan pula dalam UU BI mendatang.
Untuk mengatasi kebuntuan akibat kendala pasal 48 di atas, Pradjoto mengusulkan agar Syahril menyatakan diri nonaktif sebagai Gubernur BI. Dengan begitu, tugas Gubernur BI dijalankan oleh deputi senior. ''Kalau mengundurkan diri, seolah-olah Syahril sudah menerima vonis bersalah," ujarnya. Nantinya, bila pengadilan menyatakan Syahril tak bersalah, ia bisa kembali menduduki posisi sebagai Gubernur BI.
Mungkin saran Pradjoto bisa dikaitkan dengan ketentuan Pasal 37 (3) UU BI. Berdasarkan penjelasan pasal itu, Gubernur BI bisa diberhentikan sementara karena menjalani pemeriksaan dalam perkara pidana. Siapa yang memberhentikan sementara? Kalau berpegang pada pendapat bahwa yang mengangkat Gubernur BI adalah presiden, tentu presiden pula yang punya wewenang itu.
Karena jabatan Gubernur BI yang kosong harus diisi oleh deputi senior, Presiden tak bisa memaksakan kehendaknya menjagokan salah seorang deputi, kabarnya Dono Iskandar, untuk menjadi penjabat sementara Gubernur BI. Untuk mengegolkan hasratnya itu, Presiden juga tak bisa menggunakan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) guna mengamendemen UU BI. Soalnya, tak ada kegentingan yang memaksa dan DPR pun tidak sedang reses.
Hp.S., Ahmad Taufik, Rian Suryalibrata, Adi Prasetya, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini