SEORANG diktator Indonesia masa datang mungkin akan melarang penulisan catatan harian. Catatan pribadi itu, boleh jadi, akan dianggap lebih subversif ketimbang pengeboman Istana Negara. Mengapa? Sejarah mencatat, catatan harian punya peluang besar untuk menggulingkan pemerintahan.
Setahun lalu, B.J. Habibie telah merasakannya. Pada sesi pertanggungjawaban sidang umum, kronologi yang ditulis Rudy Ramli dalam skandal Bank Bali tanpa ampun lagi menjungkalkan Habibie dari kursi kepresidenan. Kini, Presiden Abdurrahman Wahid menghadapi ancaman yang sama. Pengakuan tertulis Sapuan yang dibacakan di depan wakil rakyat mengaitkan namanya dalam Buloggate. Setelah itu, catatan Syahril Sabirin menelanjangi tekanan Gus Dur agar ia mundur dari kursinya sebagai Gubernur Bank Indonesia—menurut undang-undang, mestinya tak boleh diobok-obok pemerintah.
Catatan yang merekam tekanan itu tampaknya pantas membuat Gus Dur ketar-ketir. Soalnya, Syahril melawan. Selasa lalu, ia datang ke Senayan mengadukan ulah Gus Dur kepada Ketua MPR Amien Rais dan Ketua DPR Akbar Tandjung. Hasilnya, duet Amien dan Akbar kembali bersuara galak ke arah istana. Presiden Wahid dikecam telah mengintervensi bank sentral—tindakan yang diancam hukuman dua sampai lima tahun penjara.
Suara parlemen tampaknya harus diperhitungkan. Menurut undang-undang bank sentral, Gubernur BI diusulkan dan diangkat presiden atas persetujuan anggota dewan. Penjelasan undang-undang memang menyebutkan Gubernur BI bisa diberhentikan sementara karena menjalani pemeriksaan dalam perkara tindak pidana. Boleh jadi ini akan dimanfaatkan Gus Dur untuk menonaktifkan Syahril yang telah dikenai status tersangka.
Tapi, soalnya, undang-undang itu tak tegas mengatur siapa berwenang memberhentikan sementara Gubernur BI. Orang bisa saja menafsirkan, sebagaimana pengangkatannya, pemberhentian sementara itu baru bisa dilakukan setelah parlemen memberikan lampu hijau. ''Presiden tak bisa begitu saja mencabut keputusan pengangkatan Syahril," kata Paskah Suzeta dari Fraksi Golkar.
Dukungan kepada Syahril bukan cuma datang dari Paskah. Empat fraksi ''gajah"—Golkar, PDI Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Reformasi—menyokong sikap Syahril yang tak bersedia mundur. ''Saya melihat adanya politik dagang sapi dalam tawaran (Gus Dur) itu, padahal tak bisa begitu," kata Amien. Ketua PPP Faisal Baasir dan Ketua Komisi IX dari PDI-P Sukowaluyo Mintorahardjo bahkan tegas-tegas menyatakan Presiden Wahid telah melanggar undang-undang.
Nada berbeda cuma terdengar dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), pemilik 11 persen suara di Senayan. Sekretaris Jenderal PKB Muhaimin Iskandar mendesak parlemen agar segera meminta Syahril mundur dan menetapkan calon pengganti. Politisi keponakan Presiden ini memang pernah sangat terkenal ketika menyatakan, ''Kalau Gus Dur bilang langit kuning, saya juga akan bilang langit kuning."
Dengan peta seperti itu, rapor Gus Dur makin merah saja di parlemen. Catatan Syahril menjadi kasus kesekian yang mengauskan dukungan terhadapnya. ''Legitimasi Presiden berkurang lagi sekian persen," kata Amien. Faisal Baasir malah mengatakan, meski belum resmi diputuskan, Poros Tengah berniat memasukkan kasus ini dalam agenda sidang tahunan.
Padahal, di luar kisruh ini, ada sederet kasus lain yang siap dibidikkan. Interpelasi pencopotan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi dari kabinet telah diteken 277 wakil rakyat—lebih dari separuh suara parlemen. Kasus ''dicolengnya" dana Rp 35 miliar Yayasan Bulog kini malah bertelur menjadi persoalan dana bantuan kemanusiaan US$ 2 juta dari Sultan Brunei ke saku pribadi Gus Presiden.
Toh, seperti biasa, Gus Dur tenang-tenang. Setelah sarapan pagi bersama Megawati, Amien, dan Akbar di Istana Merdeka, Rabu lalu, ia mengatakan tak melihat indikasi bakal diadili di sidang umum mendatang. Cuma sebatas koreksi, katanya.
Bukan cuma itu. Ia bahkan maju tak gentar. Ia mengusulkan agar parlemen mengamendemen undang-undang bank sentral. Untuk itu, katanya, pemerintah akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
Jika ini benar-benar dilakukan, rapor Gus Dur makin merah menyala.
Karaniya Dharmasaputra, Tomi Lebang, Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini