Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

DI BALIK PERTARUNGAN GUS DUR-SYAHRIL

Perseteruan antara Presiden Abdurrahman Wahid dan Gubernur Bank Indonesia makin keras. Ada apa di balik konflik keduanya?

11 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Gus Dur terbang melawat ke luar negeri. Tapi "pertarungannya" dengan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin tetap berlanjut. Keduanya seperti kepalang basah: tak ingin tampak bersalah sebelum bisa dibuktikan.

Syahril sendiri terus memainkan pelbagai jurus perlawanan. Sejak dinyatakan jadi tersangka, sepanjang Selasa, Syahril langsung mengunjungi Ketua DPR Akbar Tandjung dan Ketua MPR Amien Rais. Kunjungan itu tak sia-sia. Keduanya menentang upaya Gus Dur mengganti Syahril. "Sebelum dibuktikan bersalah, Syahril tak bisa diganti," kata Akbar. Komisi IX DPR RI akan membahas kasus tersebut bersama jajaran BI awal pekan ini.

Syahril juga menggelar kampanye intensif. Hari itu juga Syahril mengundang wartawan asing dan pemimpin redaksi media massa di Jakarta. Dia juga menyebarkan catatan berisi kronologi upaya Gus Dur bersama Jaksa Agung Marzuki Darusman menggusur dirinya. Catatan harian ini didasarkan atas rekaman yang dilakukan Syahril ketika bertemu Presiden dan juga Marzuki.

Syahril tak sendiri. Karyawan BI ramai-ramai menggugat cara Gus Dur "melorot" Syahril. Deputi Senior Gubernur BI, Anwar Nasution, termasuk yang sangat jengkel melihat ulah Presiden yang dianggapnya tak patut itu. "Kalau Gus Dur sudah tak suka sama Syahril, jangan seperti orang mau membuang kucing, dong," katanya. Seorang pejabat BI menambahkan, upaya perlawanan ini manusiawi saja. "Jika orang terus ditekan," katanya, "pasti melawan." Syahril sendiri sudah menegaskan tak akan mundur dari jabatannya.

Menghadapi perlawanan yang demikian keras, Gus Dur tampaknya terbawa irama Syahril. Tiba-tiba saja, Presiden menggelar jumpa pers Rabu lalu di Bina Graha. Gus Dur kembali mengulang alasannya meminta Syahril mundur. Menurut Presiden, dia menginginkan agar kasus ini diselesaikan baik-baik. Syaratnya, Syahril mundur dan kasusnya akan dideponir alias dipetieskan. "Saya cuma memberi tahu akan adanya tuntutan pidana, daripada sama-sama tak enak, lebih baik dia mundur atas permintaan sendiri," kata Presiden.

Melihat tensi hubungan keduanya, agaknya perseteruan Presiden dengan Gubernur BI tak mungkin selesai baik-baik. Tudingan intervensi tak bisa dianggap main-main. Menurut Undang-Undang tentang Bank Indonesia, siapa pun yang mencampuri tugas BI diancam hukuman 2-5 tahun penjara dan atau denda Rp 2-5 miliar. Dosa Syahril pun tidak kecil. Syahril menghadapi tuduhan korupsi dan sumpah palsu.

Tapi mengapa mereka begitu bermusuhan seperti tikus dengan kucing dalam film Tom and Jerry? Sumber TEMPO mengonfirmasikan bahwa sejak awal Gus Dur sudah ingin mengganti doktor Universitas Vanderbilt, Amerika Serikat ini. Ada sejumlah sebab, antara lain tidak lulusnya Direktur Kredit Korporasi BRI, Prijadi Praptosoehardjo, dalam fit and proper test.

Selain itu, ada dua kasus besar yang membuat perseteruan keduanya meruncing. Pertama, penutupan Bank Ficorinvest. Sumber TEMPO di BI mengungkapkan, Gus Dur marah besar kepada Syahril serta dua Deputi Gubernur BI Miranda Goeltom dan Subarjo Joyosumarto. Ketiganya dituding sebagai penyebab dibredelnya Bank Ficorinvest, Maret tahun lalu. Padahal, Gus Dur melalui PT Adhikarya Sejati Abadi punya 19 persen saham di sana. Apalagi, Bank Papan Sejahtera (BPS), yang juga dimiliki Gus Dur melalui PT Harawi Sekawan, ikut pula ditutup pada waktu yang sama.

Pejabat teras BI mengisahkan, Gus Dur membeli bank Ficorinvest pada Februari 1999 dengan harga Rp 5,32 miliar. Bank itu dibeli sekitar dua pekan sebelum pemerintah berencana menutup bank-bank yang tingkat kecukupan modalnya (CAR) di bawah minus 25 persen. Nah, Ficorinvest ini masuk kategori C. Untuk mencapai CAR 4 persen, diperlukan dana Rp 780 miliar. Jelas, Gus Dur tak mungkin membayar sendiri kebutuhan modal tambahan itu. Gus Dur mengira bahwa BI, sebagai salah satu mitranya di Ficorinvest, mau ikut menyuntikkan modal. "Eh," kata sumber ini, "BI malah berencana melakukan divestasi."

Akibatnya, Ficorinvest harus diamputasi. Meski waktu penutupannya diundur dua pekan, Gus Dur dan pemegang saham lainnya tetap tak mampu mencari dana Rp 780 miliar itu. Apalagi, pada saat yang sama, Gus Dur juga harus menyelamatkan BPS, yang akhirnya juga ditutup pemerintah. Dalam kasus BPS, bekas Ketua Umum PB NU itu marah kepada Hashim Djojohadikusumo, sedangkan untuk kasus Ficorinvest, Syahril-lah yang jadi sasaran. Subarjo ikut kena getahnya karena dia yang bertanggung jawab atas program penyehatan perbankan.

Selain kasus itu, Syahril dan Dewan Gubernur BI juga dianggap sebagai biang melemahnya rupiah. Seorang teman dekat Presiden menceritakan bahwa Gus Dur sangat jengkel karena BI tak kunjung melakukan campur tangan ketika rupiah terus merosot dari kurs Rp 7.000 menjadi Rp 8.600 per dolar AS. Presiden bahkan sempat meminta bank pemerintah mengobok-obok pasar. Syahril dan Miranda secara terbuka menyatakan tak bersedia melakukan intervensi. Menurut mereka, melemahnya rupiah bukan karena fundamental ekonomi, tapi lantaran faktor politik dan keamanan. "Percuma saja diintervensi," kata Miranda.

Teman dekat Gus Dur itu menilai ada
agenda besar di balik keengganan BI
mengintervensi pasar. "Rupiah yang
melemah bisa dipakai untuk menggoyang Gus Dur," katanya. Dia juga punya cerita, Dewan Gubernur BI yang ada juga terlibat peredaran uang palsu di Timor Timur (sekarang Bumi Loro Sa'e). Tapi, Syahril membantah. "Nama yang muncul adalah Miranda dan Subarjo. Padahal, mereka bukan orang yang mengurus soal itu," kata Syahril.

Kendati demikian, Syahril dan BI bukanlah pihak yang bersih noda. Ada yang mengecam sikap BI yang tak mengizinkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit bank-bank penerima bantuan likuiditas Bank Indonesia. BI secara terbuka juga mengecam Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dianggap membocorkan hasil audit BPK terhadap BI. Meski akhirnya BI mengizinkan BPKP mengaudit, citranya sudah kadung jelek.

Lebih dari itu, banyaknya bank yang ditutup sejak krisis menjadi catatan tersendiri mengenai lemahnya pengawasan BI terhadap perbankan di Indonesia. Sejak krisis melanda Indonesia, pemerintah sudah menutup 63 bank. Selain itu, kredit macet di bank-bank pemerintah yang mencapai sekitar Rp 230 triliun juga menunjukkan betapa BI tidak mengawasi dengan baik praktek perbankan di Indonesia.

Kasus Bank Bali juga menjadi catatan hitam. Mulusnya pencairan klaim tagihan antarbank yang semula seret jelas memunculkan pertanyaan tetang keterlibatan BI dan BPPN dalam proses tersebut. Apalagi, catatan harian bekas direktur utama Bank Bali, Rudy Ramli, dengan jelas menunjukkan kehadiran Syahril dalam pertemuan 11 Februari 1999, yang menjadi tonggak awal kasus Bank Bali. "Dokumen mengenai semua itu sudah di tangan Gus Dur," kata sohib dekat Presiden. Kejaksaan, kabarnya, tinggal menunggu kerelaan Syahril untuk berbicara terbuka.

Jadi, siapa yang akan memenangi pertarungan? Posisi Gus Dur jelas di atas angin. Dalam Undang-Undang No. 23 tentang Bank Indonesia Pasal 37 ayat 2, dengan jelas disebutkan bahwa dalam hal gubernur berhalangan, tugas gubernur diserahkan kepada deputi gubernur senior dengan berita acara serah terima. Nah, salah satu penyebab gubernur berhalangan adalah jika gubernur diberhentikan sementara karena menjalani pemeriksaan dalam perkara tindak pidana. Pasal ini bisa dipakai Presiden untuk memberhentikan sementara Syahril. "Presiden akan segera mengeluarkan keppres yang mengatur pemberhentian sementara Syahril," kata orang yang dekat dengan Istana.

Agaknya, penerbitan keppres itu merupakan salah satu cara Gus Dur mengakhiri perdebatan publik antara dirinya dan Syahril. Ekonom Danareksa, Rino Agung Effendi, hanya bisa mengingatkan bahwa makin lama perseteruan ini dipertahankan, biaya yang harus dikeluarkan juga makin besar. Lihat saja rupiah yang terus bertahan pada kisaran 8.600. Begitu pula indeks saham Bursa Jakarta yang tak mampu menembus kembali 500 poin. Presiden dan Gubernur BI jelas tak boleh mengumbar perseteruan ini dengan mengorbankan kepentingan Indonesia. "Tugas pemerintah dan BI juga akan makin berat, terutama untuk memulihkan kepercayaan publik," katanya. Lagi-lagi, tak ada yang untung dari setiap perselisihan, apalagi jika itu dilakukan secara terbuka di depan publik.

M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Iwan Setiawan, Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus