Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Merdeka Macam Mana

11 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gesekan antara pemerintah dan bank sentral yang "independen" ternyata bukan monopoli Indonesia. Di belahan dunia yang lain, gegeran semacam itu meletup juga. Dari Zimbabwe di Afrika sampai Chek di Eropa, dari Thailand sampai Australia: pertengkaran semacam itu tidak pandang bulu. Maksudnya, bukan cuma terjadi di negara "berkembang". Dari pelbagai gesekan itu, ada satu gejala umum: ide independensi bank sentral memang relatif baru dan karena itu mengundang cekcok. Di Chek, pertengkaran baru-baru ini meletup gara-gara tarik ulur makna independen itu. Koalisi dua partai besar yang berkuasa mengajukan amendemen RUU Bank Sentral. Tapi langkah ini ditentang Gubernur Bank Sentral Chek, yang khawatir amendemen itu akan mengurangi "kemerdekaannya". Gesekan itu akhirnya berlangsung panas dan tidak konstruktif karena kedua pihak mulai saling tuding. Mereka sama-sama melempar tanggung jawab sebagai penyebab kegagalan program ekonomi. Debat panas itu akhirnya tak menghasilkan apa-apa selain kekecewaan rakyat karena masalah yang lebih penting menyangkut kebijakan nilai tukar dan inflasi jadi tak terurus. Di Thailand, kata independen juga jadi sumber cekcok. Mulanya, Bangkok mengajukan amendemen agar bank sentral leluasa mengendalikan inflasi. Namun, "keleluasaan" ini tak disertai dengan kewenangan yang cukup: kedudukan Gubernur Bank of Thailand tetap di bawah pengawasan menteri keuangan. Sadar posisi ini akan menghalangi tugasnya, Gubernur BOT minta agar dewan gubernur bank sentral tidak lagi dipilih kabinet. Ia juga minta pasal yang menyebut, "bank sentral harus mendukung kebijakan pemerintah" diganti "bank sentral harus mempertimbangkan kebijakan pemerintah." Tapi usul ini membuat menteri keuangan yang mantan eksekutif bank swasta itu sewot. Ia ingin, BOT tetap jadi bagian dari pemerintah. "Menjadi independen bukan berarti tak bisa bekerja sama dengan badan pemerintah," katanya. Hingga pekan lalu, gesekan ini belum kunjung berakhir. Di Australia, cekcok antara pemerintah dan bank sentral bermula dari kebijakan kenaikan suku bunga. Jauh-jauh hari, Reserve Bank of Australia (RBA) mengendus adanya ancaman terhadap dolar Australia. Karena itu, Januari lalu Gubernur RBA, Ian Macfarlane, merencanakan kenaikan suku bunga. Namun, Perdana Menteri John Howard menentang rencana itu habis-habisan. Bagi Howard, rendahnya suku bunga merupakan syarat vital pertumbuhan ekonomi. Jika suku bunga tetap tiarap, ia berharap bisa meraih kemenangan kedua pada pemilu 2001. Dengan keyakinan ini, Howard tetap bergeming bahkan ketika Amerika gencar menaikkan suku bunga dolar. "Australia tak perlu mengikuti Amerika," katanya. Untuk mengamankan jurus suku bunga rendah, Howard tak segan menempatkan orangnya dalam Dewan Gubernur RBA. Padahal, berdasarkan undang-undang Australia, RBA jelas-jelas lembaga independen. Belakangan, penciuman Macfarlane terbukti benar. Dolar Australia terus melemah gara-gara suku bunga Amerika terus naik. RBA lalu menyalahkan pemerintah yang menyerang rencana kenaikan suku bunga. Tapi Howard tak mau kalah dengan menuding RBA kurang transparan. Maka, segera saja terjadi konflik terbuka antara pemerintah dan RBA. Persoalan suku bunga seperti di Australia agaknya akan segera kita hadapi. Gelagatnya sudah tampak jelas. Bunga dolar naik terus, dan bukan mustahil akan naik lagi sampai 7,5-8 persen. Kenaikan suku bunga dolar ini tentu saja akan mengancam nilai tukar rupiah. Jika selisih suku bunga dolar dengan rupiah begitu tipisnya, daya tarik rupiah akan hilang. Dan jika nilai tukar rupiah merosot, tanggung jawab BI dalam mengelola target inflasi akan jebol. Karena itu, jika bank sentral benar-benar independen, mestinya BI tak perlu gamang lagi: suku bunga rupiah harus naik kalau tak mau inflasi melejit. Tapi yang terjadi sebaliknya. Dari Singapura Deputi Senior Gubernur BI Anwar Nasution menyatakan tak punya "senjata" untuk melawan kenaikan dolar. Menaikkan suku bunga rupiah? Itu juga berat. Soalnya, setiap kenaikan 1 persen suku bunga rupiah, beban anggaran pemerintah akan naik Rp 2,14 triliun. Kalau bank sentral mengerek bunga rupiah tinggi-tinggi, bisa jebol juga, tuh, pemerintahan Gus Dur. Bagaimana mau merdeka, Bung! Nugroho Dewanto, Iwan Setiawan, Agus Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus