Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anhar Gonggong
MEMPERINGATI Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928, saya terkenang pada dua tokoh teman dekat Ir Soekarno, Prof Dr Abu Hanifah dan Maskoen. Abu Hanifah adalah pemimpin pemuda dalam periode Pergerakan Nasional. Dia pernah menjadi Sekretaris Umum Pusat Pemuda Sumatera (1927-1928), Pemimpin Redaksi Majalah PPPI, Indonesia Raya, dan Sekretaris Organisasi Kongres Pemuda II-1928. Adapun Maskoen salah seorang pemimpin PNI yang ikut ditangkap dan dipenjarakan bersama Bung Karno di Sukamiskin, Bandung. Setelah PNI pecah menjadi Partindo dan PNI-Pendidikan, Maskoen memilih bergabung ke dalam PNI-Pendidikan yang dipimpin Bung Hatta dan Sutan Sjahrir.
Kedua tokoh itu memberikan keterangan yang berbeda tentang posisi Bung Karno dalam pelaksanaan kongres yang menjadi tonggak pergerakan Kebangkitan Nasional 80 tahun silam itu. Keterangan Abu Hanifah terdapat dalam tulisan ”Renungan tentang Sumpah Pemuda” dalam Bunga Rampai Soempah Pemoeda, Balai Pustaka, 1978. Buku ini diterbitkan untuk memperingati 50 tahun Sumpah Pemuda hasil Kongres Pemuda II itu. Sedangkan keterangan Maskoen disampaikan secara lisan kepada penulis dalam berbagai kesempatan pada akhir 1980-an sampai 1990-an, sebelum beliau wafat.
Persatuan dan Bahasa: Pemuda dan Bung Karno
Kegiatan-kegiatan pemuda dan Bung Karno pada periode 1926-1928 patut disimak karena ada sejumlah peristiwa menarik. Setelah lahirnya Jong Java pada 1918, yang diikuti Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Bataks, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain, maka salah satu hal penting yang dilakukan pemuda adalah dilaksanakannya Kongres Pemuda I pada 1926 yang diprakarsai dan dipimpin Tabrani.
Kongres ini, Indonesisch Congres—bahasa yang digunakan masih bahasa Belanda—bertujuan ”mencapai jalan membina perkumpulan-perkumpulan yang tunggal, yaitu membentuk sebuah badan sentral dengan maksud memajukan paham persatuan kebangsaan dan mempererat hubungan antara semua perkumpulan pemuda kebangsaan”. Keterangan tersebut menunjukkan bahwa di kalangan pemimpin pemuda yang mempunyai organisasi yang ”bersifat kedaerahan” itu, lahir ide untuk mempersatukan diri dalam satu organisasi tunggal yang merupakan perwujudan persatuan yang dicita-citakan. Dalam rangka itu, walaupun akhirnya tidak disepakati, Jong Java mengusulkan suatu jenis organisasi yang berbentuk federalis.
Pada akhir 1926 dan awal 1927 itu, di wilayah Nederlandsch-Indie, terutama di sekitar Banten dan Batavia serta di Silungkang, Sumatera Barat, berkembang situasi tegang terutama di lingkungan pemerintah kolonial. Situasi kritis terjadi karena adanya rencana pemberontakan PKI di daerah-daerah tersebut. Pemberontakan itu akhirnya dapat ditumpas pemerintah kolonial. Dalam situasi seperti itu, tampillah Bung Karno ke gelanggang politik pergerakan dengan mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan asas partai nonkooperasi dan tujuan utamanya adalah ”menciptakan persatuan menuju Indonesia merdeka”.
Dalam mewujudkan persatuan menuju kemerdekaan itu, Bung Karno melontarkan ide agar kekuatan-kekuatan yang ada yang menentang kolonialis harus menyatukan diri untuk menghadapi kekuasaan kolonialistik itu. Ide ini dilontarkannya pada 1926, sebelum menjadi pemimpin partai, dalam artikel: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, yang dimuat dalam Suluh Indonesia Muda, 1926. Sebagai pemimpin utama PNI, Soekarno menjadikan ide persatuan sebagai hal yang sangat penting dan harus direalisasikan. Sejalan dengan itu, Bung Karno melakukan pendekatan pada pemimpin partai dan organisasi lain. Usahanya itu membuahkan hasil. Salah satunya, kesediaan (Partai) Sarekat Islam (SI) yang diwakili Dr Soekiman Wiryosanjoyo untuk mempersiapkan pembentukan organisasi dimaksud.
Organisasi yang bersifat ”federalis” itu diberi nama Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Dalam menyambut Kongres Pertama PPPKI, 30 Agustus—2 September 1928, Bung Karno menulis sebuah artikel ”Menyambut Kongres PPPKI” dalam Suluh Indonesia Muda, 1928. Ketika beliau menyebutkan rupa dan wujud PPPKI, beliau menyatakan PPPKI adalah suatu barisan kaum kulit berwarna. Ia berarti bruin front dan tidak hanya bermaksud ke luar menghadapi pemerintah kolonial, melainkan ke dalam, memperkukuh persatuan.
Dalam rangka persatuan itu, ketika membicarakan persoalan bahasa, Bung Karno termasuk pemimpin yang tidak setuju dengan usul bahasa Jawa menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia. Tentang persoalan ini, menarik informasi yang diberikan Abu Hanifah dalam tulisannya: ”Soal Tanah Air Bersama, Berbangsa Satu, tidak terlalu banyak dalam pembahasan ..., yang agak menyukarkan waktu itu adalah tentang soal bahasa. Mula-mulanya keras suara supaya dipakai bahasa Jawa, karena telah tersusun dengan baik. Tetapi banyak, juga dari orang-orang Jawa sendiri tidak setuju, karena dianggap ’feodal’.
Abu Hanifah menyebutkan, yang menentang bahasa Jawa itu antara lain Soekarno. Ia mengutip Bung Karno, yang berpendapat bahwa sukar kelak berbicara secara demokratis. Katanya, macam-macam bentuk bahasa Jawa itu menyusahkan buat bergaul secara bebas, lagi sukar dipahami oleh mereka yang tidak berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Apakah harus diatur lagi bahasa ngoko, kromo, atau kromo inggil, sehingga dapat dipakai oleh semua orang, rendah atau tinggi. Dalam situasi pelik penentuan bahasa persatuan itu, menurut Abu Hanifah, Prof Dr Poerbotjaroko memberikan nasihat supaya dipakai saja bahasa Melayu-Riau yang masih dapat berkembang seperti dulunya bahasa Inggris.
Kontroversi ”Pengaruh” Ir Soekarno terhadap Kongres Pemuda II: Abu Hanifah vs Maskoen
Dalam rangkaian pembentukan PPPKI yang ”dibidani” Bung Karno itu, Maskoen bercerita kepada penulis tentang kehendak Bung Karno untuk juga membangun kekuatan persatuan di kalangan pemimpin pemuda pergerakan. Menurut Maskoen, Bung Karno menganggap penting persatuan di kalangan pemuda untuk masa depan dan pencapaian kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam kaitan itulah, Maskoen menyatakan bahwa ”pengaruh” Bung Karno dalam pelaksanaan Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928 itu ”memang sangat kuat”.
Keterangan lisan yang dikemukakan Maskoen di atas bertentangan dengan keterangan Abu Hanifah tentang adanya pengaruh kaum tua (dalam hal ini termasuk Bung Karno) terhadap aktivis pemuda Indonesia. ”Terang—demikian Abu Hanifah—kelompok kami dari PPPI tidak dipengaruhi oleh pemimpin seperti Soekarno atau Sartono. Betul ada tukar pikiran, tetapi waktu itu misalnya pimpinan PPPI telah senior-senior mahasiswa,... karena itu ide-ide kami sangat independen. Saya—demikian Abu Hanifah—sebagai salah satu kelompok IC (Indonesische Clubgebow) belum pernah terpengaruh oleh pemimpin-pemimpin partai ketika itu secara langsung.” Tetapi diakui Abu Hanifah bahwa ketika mendiskusikan soal-soal politik, kelompok IC sering disertai Bung Karno dan Bung Sartono, dan lain-lain.
Dari keterangan dua sumber—tertulis dan lisan—tersebut, menarik untuk memahami situasi pergerakan nasional saat itu. Khususnya kegiatan yang dilakukan pemimpin pemuda yang menjadi bagian dari ide pergerakan nasional dan tampilnya Bung Karno sebagai pemimpin politik dengan partainya PNI yang bersifat nonkooperasi dan menjadikan persatuan sebagai bagian dari slogan perjuangan dengan partainya itu.
Bung Karno—sebagaimana diakui Abu Hanifah—memang kerap datang ke asrama pemuda di IC (Kramat 106) dan terlibat dalam pelbagai topik diskusi yang sedang dibicarakan. Walaupun demikian, tidak dengan sendirinya Bung Karno dapat mempengaruhi para pemimpin pemuda yang berasal dari pelbagai daerah itu. Bahkan ketika akan membentuk PNI, banyak dari mereka diminta Bung Karno untuk menjadi anggota dan pengurus, tetapi mereka tidak bersedia; artinya ajakan Bung Karno ditolak!
Penutup
Dua keterangan yang berbeda tentang pengaruh Bung Karno dalam Kongres Pemuda II itu jelas melahirkan kontroversi. Keterangan mana yang benar? Untuk menjawab pertanyaan historis itu diperlukan keterangan pembanding lain yang berdasar atas sumber yang dapat dipercaya kebenarannya. Di situlah ”seni” dan ”asyiknya” belajar dan meneliti sejarah.
Kontroversi sejarah tidak perlu dianggap ”aneh” apalagi ”ditakuti”. Karena, di balik itu, ada nilai yang terkandung, yaitu mencari kebenaran sejarah untuk menjadi lebih dewasa, baik sebagai bangsa maupun sebagai manusia! Tentang Bung Karno: ”Beliau telah melakukan dan menyelesaikan tugas sejarah kebangsaan dan kemanusiaannya”. Bung Karno juga mendapat tempat yang amat terhormat dalam sejarah bangsanya. Dan tentang Sumpah Pemuda—terlepas dari ada-tidaknya pengaruh Bung Karno—Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928 menunjukkan bahwa pemuda-pemudi memang telah memberi arti bagi kebangkitan dan persatuan bangsanya menuju kemerdekaan!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo