Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MINGGU, 28 Oktober 1928. Seorang pemuda langsing bergegas menghampiri ketua sidang Soegondo Djojopoespito. Menenteng sebuah biola, ia menyodorkan secarik kertas berisi syair lagu yang digubahnya.
Menangkap judul Indonesia Raya, mata Soegondo cepat melirik komisaris polisi Belanda yang begitu serius mengamati jalannya kongres. Ya, hari itu hari kedua Kongres Pemuda II, di gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. Di saat jeda siang itu, Soegondo mengangguk: ia mengizinkan pemuda itu membawakan karyanya, tapi tanpa syair. Aktivis perhimpunan pelajar Indonesia itu khawatir banyaknya kata "Indonesia" dan "merdeka" di dalam syair lagu bakal menimbulkan masalah.
Malam semakin larut, sidang segera ditutup. Pukul 22.00 lewat, pemuda bernama W.R. Soepratman maju ke depan. Ia membungkukkan badan, mulai memainkan biola layaknya. Musik itu berakhir dengan tepuk tangan panjang. "Bis, bis, bis, lagi, lagi...," teriak hadirin.
W.R. Soepratman dikenal sebagai wartawan yang suka bermain musik dan ngobrol dengan para pemuda di markas Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia di Kramat Raya 106 itu. Tentang tempat lahirnya, orang masih berbeda pendapat. Sebagian orang percaya, anak ketujuh dari delapan bersaudara ini lahir di Desa Somongari, Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah. Sebagian yakin ia lahir di Mester, Jatinegara, Jakarta Timur, pada 1903.
Ketika usianya 11 tahun, ia bersentuhan dengan dunia baru: musik Barat dan sekolah Belanda. Soepratman kecil yang ditinggal mati ibunya lantas diasuh oleh kakak sulungnya yang menikah dengan seorang sersan tentara Belanda di Jakarta. Pasangan Roekijem Soepratijah-Van Eldik menyaksikan bakat musik di dalam diri sang adik.
Tuan dan Nyonya Van Eldik pemain biola yang baik. Dari kakak iparnya, Soepratman memperoleh sebuah biola dan pelajaran bermain musik. Soepratman cepat menguasai instrumen itu. Saking piawainya memainkan alat musik gesek ini, Van Eldik lalu membawanya bergabung dengan kelompok musik yang dipimpinnya sendiri, Black and White Jazz Band.
Pada 1914, Van Eldik yang pindah tugas ke Makassar mendaftarkan Soepratman ke Europeesche Lagere School, sekolah khusus anak-anak Belanda dan pegawai tinggi pemerintah Hindia Belanda. Nama "Rudolf" ditambahkan oleh sang kakak ipar agar ia diterima di sekolah itu. Namun kemudahan ini cepat berakhir. Soepratman yang ketahuan bukan anak Van Eldik itu pun dikeluarkan. Ia terpaksa pindah ke Sekolah Dasar Angka Dua (2 Inlandsche School) lalu mendaftar ke Normaal School (sekolah guru) setelah lulus. Tiga tahun ia menjalani profesi guru, sampai akhirnya sang kakak menyuruhnya mengundurkan diri. Kakaknya berkeberatan ia ditugaskan ke Sengkang, daerah terpencil.
Entah mengapa, seolah ada tangan yang perlahan menggiring hidupnya ke satu titik: pergerakan nasional. Di Makassar ia bekerja di kantor seorang pengacara Indo-Belanda yang tertarik pada pergerakan kebangsaan Indonesia. Dari beberapa surat kabar langganan kantor itu, ia misalnya menangkap apa yang diperjuangkan tiga serangkai Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat, dan Dr Cipto Mangunkusumo.
Tahu bahwa pusat pergerakan ada di Jawa, ia pun memutuskan hijrah ke Jakarta pada 1924. Dari rumah ayahnya di Cimahi, ia melamar menjadi wartawan surat kabar Kaum Muda di Bandung, pimpinan Abdul Muis. Gajinya minim. Tak ada lagi kemapanan seperti di Makassar.
"Dunia pergerakan memang bukan tempat mencari uang," katanya dalam hati. Tapi ia tak berhenti di situ. Ia bergabung dengan Kantor Berita Alpena, kemudian dengan Kantor Berita Tionghoa-Melayu Sin Po, sebagai penulis berita pergerakan Indonesia. Inilah yang membuat pergaulannya di kalangan pemuda aktivis semakin luas.
Di gedung Indonesische Clubgebouw, Kramat, ia kerap berbincang dengan Muhammad Yamin dan Soegondo Djojopoespito. Ia juga berdiskusi dengan Mohammad Tabrani yang memberi info penting: rencana Kongres Pemuda I pada 30 April-2 Mei 1926. Tabrani memintanya tidak memberitakan info ini di Sin Po. Kata-katanya memang revolusioner. Pada hari pertama ia mendengar Tabrani berseru, "Rakyat Indonesia, bersatulah."
Hatinya semakin mantap untuk mewujudkan tekadnya dulu: menggubah lagu yang mewakili gelora itu. Sebelumnya, hatinya sudah terbakar oleh sebuah artikel di majalah Timboel, terbitan Solo, Jawa Tengah, yang menantang komponis pribumi menciptakan lagu kebangsaan. Maka terciptalah Indonesia Raya dengan birama 6/8 (waltz)-komposisi yang, atas permintaan Bung Karno, kemudian diubah menjadi 4/4. "Seperti lagu Wilhelmus untuk bangsa Belanda," tulisnya dalam surat kepada Van Eldik di Makassar.
Soepratman juga menggubah lagu-lagu nasional, seperti Bendera Kita, Pandu Indonesia, dan Ibu Kita Kartini. Ada juga lagu Di Timur Matahari yang diilhami oleh berdirinya perkumpulan Indonesia Muda, peleburan dari Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, dan lain-lain. Gubahan terakhirnya, Matahari Terbit, menyimpan satu cerita. Pada 7 Agustus 1938, Soepratman siap berangkat memimpin anggota Kepanduan Bangsa Indonesia menyanyikan lagu tersebut, yang akan disiarkan oleh Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij atawa NIROM-sekarang RRI. Tiba-tiba polisi datang menangkap dan memenjarakannya di Lembaga Pemasyarakatan Kalisosok. Ia dituduh membantu Jepang yang akan berekspansi ke Indonesia, menggusur Belanda. Ia akhirnya dibebaskan, tapi sejak itu Soepratman sakit-sakitan.
Dalam kondisi yang kian hari kian parah, ia ditemani Kasan Sengari, iparnya, dan Imam Supardi, Pemimpin Redaksi Panyebar Semangat. Kepada Imam, ia membuka hati bahwa ia tidak merasakan kebahagiaan hidup karena percintaan. Soepratman memang tidak menikah. Tapi Imam tak menanyakan atau membahas lebih lanjut, khawatir karibnya makin kecewa. Maka percintaan itu menjadi teka-teki hingga sekarang.
Dalam catatan tangan Kusbini, karib sesama komponis, Soepratman kerap datang ke warung Asih di Kapasari atau warung Djurasim di Bubutan, Surabaya, untuk menghibur diri. Paling-paling, ia melamun ditemani kue dan secangkir kopi. "W.R. Soepratman menutup rahasia hidupnya dalam Taman Asmara," tulis Kusbini. "Taman Asmara" adalah istilah Kusbini untuk patah hati sahabatnya.
Tengah malam, 17 Agustus 1938, sang komponis tutup usia. Jenazahnya dikebumikan secara Islam di Surabaya dan pada 31 Maret 1956 dipindahkan ke makam khusus di Tambaksegaran Wetan, Surabaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo