Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jejak Samar Bapak Kos

Riwayat Sie Kok Liong masih gelap. Pemilik rumah untuk ikrar Sumpah Pemuda ini berempati pada para pemuda yang memperjuangkan kemerdekaan.

27 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA gerangan pemilik rumah di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat? Upaya pencariannya masih menemui jalan buntu. Padahal, ini bangunan bersejarah. Di sini pernah dikumandangkan ikrar 28 Oktober 1928, dan sebab itu kini disulap menjadi museum Sumpah Pemuda.

Eddie Kusuma, Ketua Umum Suara Kebangsaan Tionghoa Indonesia, meski sudah melahap banyak buku tentang Sumpah Pemuda, toh gagal menggali profil pemilik rumah ”keramat” itu. Hanya ada sedikit informasi: pemiliknya seorang Tionghoa penganut Khonghucu bernama Sie Kok Liong. ”Foto atau sketsa wajahnya sekalipun tidak ada,” ujarnya.

Enam tahun lalu, Eddie pernah mencoba menelusuri jejak Sie Kok Liong dengan mencari keturunannya. Waktu itu Eddie sedang menggali tokoh Tionghoa dalam Sumpah Pemuda. Dia menemui beberapa warga di seputaran Kramat Sentiong serta Kwitang, Jakarta Pusat. Sie Kok Liong diduga tinggal di Kramat Sentiong.

Hanya ada kabar selentingan. Menurut Eddie, dari sejumlah warga berusia lanjut di Kramat Sentiong dan Kwitang, dia mendapat informasi bahwa kabarnya Sie Kok Liong memeluk agama Islam dan namanya berubah menjadi Muhammad Cia pada 1960-an. Nama Cia itu bisa merujuk pada nama marga Sie.

Eddie juga mendapat cerita dari mulut ke mulut bahwa Kok Liong meninggal pada 1971. Di mana pemakaman dan keluarganya? Ia menggeleng. Eddie mengatakan akan meneruskan pencariannya. ”Rencananya, saya akan memasang iklan di koran untuk mencari ahli waris Sie Kok Liong,” katanya.

Tempo pun mencoba menelusuri jejak samar Sie Kok Liong. Kelurahan, kepala RT/RW, atau warga di sekitar Kramat Sentiong dan Kwitang sudah dikonfirmasi. Hasilnya nihil. ”Mungkin saja dulu ia atau keluarganya tinggal di sini. Tapi saya tidak tahu dan tidak pernah dengar,” kata M. Murni, Ketua RW 7 Kelurahan Kramat, pensiunan Direktorat Sejarah.

Penelusuran juga dilakukan melalui Internet. Tempo mencoba ”mengiklankan” pencarian Sie Kok Liong melalui mailing list seperti Tionghoa-Net, Budaya Tionghoa, serta komunitas lainnya. Peserta dalam mailing list memberikan tanggapan iklan itu. Tapi informasi mengenai Sie Kok Liong masih belum didapat.

Tempo memperoleh petunjuk menghubungi Friends of the Kong Koan Archives, yang bermarkas di Belanda. Yayasan ini mengumpulkan literatur dan meneliti budaya Tionghoa di Jakarta pada abad ke-18, 19, dan 20. Namun lembaga arsip ini juga tidak memiliki informasi tentang Sie Kok Liong. ”Sayangnya, kami tidak memiliki data mengenai individu,” ujar H.S. Liem, sekretaris Friends of the Kong Koan Archives.

l l l

SIE Kok Liong. Nama yang sangat asing dalam buku yang berkaitan dengan Sumpah Pemuda atau sejarah pergerakan Indonesia lainnya. Dialah ”bapak kos” sejumlah pemuda yang mencatatkan sejarah dalam perjuangan Indonesia.

Di gedung milik Sie Kok Liong itu pernah tinggal Muhammad Yamin, Aboe Hanifah, Amir Sjarifuddin, A.K. Gani, Mohammad Tamzil, atau Assaat dt Moeda. ”Perlu keberanian luar biasa menyediakan tempat buat kelompok pergerakan pada masa itu,” kata Eddie.

Rumah Kramat 106 adalah pemondokan buat pelajar dan mahasiswa di Jakarta. Waktu itu kos-kosan di wilayah Salemba dan sekitarnya bermunculan karena asrama tidak sanggup menampung mahasiswa dan pelajar dari luar kota. Pemilik kos biasa disebut kosthuis. Sedangkan anak kos laki-laki disebut kostjongen dan perempuannya kostmeisjes.

Dalam Buku Panduan Museum Sumpah Pemuda, gedung Kramat 106 menjadi tempat tinggal pelajar yang tergabung dalam Jong Java sejak 1925. Mereka kebanyakan pelajar Sekolah Pendidikan Dokter Hindia alias Stovia.

Para pelajar menyewa gedung itu dengan tarif 12,5 gulden per orang setiap bulan, atau setara dengan 40 liter beras waktu itu. Mereka memiliki pekerja yang mengurus rumah yang dikenal dengan nama Bang Salim. ”Tamu yang menginap tidak dikenai bayaran, tapi harus mengusahakan makanannya sendiri,” kata Dr Raden Soeharto, kostjongen dan peserta Sumpah Pemuda dalam buku Bunga Rampai, 50 Tahun Soempah Pemoeda.

Aktivis Jong Java menyewa bangunan 460 meter persegi ini karena kontrakan sebelumnya di Kwitang terlalu sempit untuk menampung kegiatan diskusi politik dan latihan kesenian Jawa. Anggota Jong Java dan mahasiswa lainnya menyebut gedung ini Langen Siswo.

Sejak 1926, penghuni gedung ini makin beragam. Mereka kebanyakan aktivis pemuda dari daerahnya masing-masing. Kegiatan penghuni gedung itu juga makin beragam. Selain kesenian, mahasiswa di gedung ini aktif dalam kepanduan dan olahraga.

Penghuni Kramat 106 juga sering mengadakan diskusi dengan konsep persatuan nasional. Gedung ini juga menjadi markas Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), yang berdiri pada September 1926, usai kongres pemuda pertama. Penghuni kontrakan, dengan payung PPPI, sering mengundang tokoh seperti Bung Karno untuk berdiskusi.

Mereka berdiskusi di ruang utama gedung. Tema perbincangan lebih terarah kepada soal politik, misalnya mencari bentuk negara ideal bagi Indonesia. Mereka berdebat tentang revolusi Amerika, Prancis, Cina, atau Rusia. Para pelajar juga membahas pemikiran Sun Yixian, Gandhi, Garibaldi, Plato, Aristoteles, Nicolo Machiavelli, Thomas Hobbes, Jean Jacques Rouseau, atau John Stuart Mill.

Di gedung ini juga muncul majalah Indonesia Raya, yang dikelola PPPI. Karena sering dipakai kegiatan pemuda yang sifatnya nasional, para penghuni menamakan gedung ini Indonesische Clubhuis, tempat resmi pertemuan pemuda nasional. Sejak 1927, mereka memasang papan nama gedung itu di depan. Padahal Gubernur Jenderal H.J. de Graff sedang menjalankan politik tangan besi.

Belanda selalu mengawasi dengan ketat kegiatan rapat pemuda. Mereka memang mengakui hak penduduk di atas 18 tahun mengadakan perkumpulan dan rapat. Namun mereka bisa sewaktu-waktu memberlakukan vergader-verbod atau larangan mengadakan rapat, karena dianggap menentang pemerintah.

Setiap pertemuan harus mendapat izin dari polisi. Setelah itu, rapat dalam pengawasan penuh Politieke Inlichtingen Dienst (PID), semacam dinas intelijen politik. Rumah 106 ini juga selalu dalam kuntitan dinas intelijen ini, termasuk rapat ketiga Kongres Pemuda II.

Kongres Pemuda II berlangsung pada 27-28 Oktober dalam tiga tahap rapat. Pertama berlangsung di gedung Katholieke Jongelingen Bond di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Lalu rapat kedua di Oost Java Bioscoop di Konigsplein Noord (sekarang Jalan Medan Merdeka Utara). Gedung Kramat 106 baru dipakai untuk rapat ketiga sekaligus penutupan rapat.

Rapat ketiga yang berlangsung pada malam Senin, 28 Oktober 1928, hampir saja bubar. Petugas PID menyela rapat dan mengancam akan mengeluarkan peserta rapat di bawah usia 18 tahun karena mendengar perkataan ”kemerdekaan”. Padahal peserta rapat, dari total 750 orang, banyak yang berusia di bawah 18 tahun.

Rapat tetap berjalan hingga ketua Soegondo Djojopoespito membacakan resolusi. Di rumah Jalan Kramat 106 ini tiga butir sumpah pemuda berkumandang. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku, bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Sie Kok Liong memang tidak memiliki peran langsung dalam perumusan Sumpah Pemuda. Tapi peristiwa itu tidak akan terjadi tanpa adanya pemilik gedung yang menyediakan bangunannya. ”Ia pantas dimasukkan sebagai orang yang berjasa dalam Sumpah Pemuda,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.

Kegiatan pemuda dialihkan ke Jalan Kramat 156 setelah para penghuni Kramat 106 tidak melanjutkan sewanya pada 1934. Gedung itu lalu disewakan kepada Pang Tjem Jam sebagai tempat tinggal pada 1937-1951. Setelah itu, gedung disewa lagi oleh Loh Jing Tjoe, yang menggunakannya sebagai toko bunga dan hotel.

Gedung Kramat 106 disewa Inspektorat Bea dan Cukai untuk perkantoran pada 1951-1970. Setelah itu pemerintah menetapkan bangunan ini sebagai cagar budaya, yang hingga kini dikenal sebagai Museum Sumpah Pemuda.

Pada 1973, Pemerintah DKI Jakarta memugar dan mengembalikan bentuk gedung itu seperti ketika Sumpah Pemuda berkumandang. Di sini ada replika berbagai barang yang digunakan para pemuda, misalnya meja, kursi, hingga replika tokoh kunci dalam Sumpah Pemuda. Tidak ada replika Sie Kok Liong. ”Ia memang bukan aktivis politik, tapi berempati pada perjuangan pemuda meraih kemerdekaan,” kata Eddie.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus