Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada yang tahu gundukan tanah berumput itu makam. Tak ada nisan, katakanlah hanya sebatang kayu bertatahkan nama. Namun di situlah terkubur jasad Amir Sjarifuddin, Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Republik Indonesia era 1945-1947.
”Pada 2002 kami hendak memberi nisan di kuburan Papi,” kata Helena Luis Syarifuddin Harahap, putri bungsu Amir, kepada Tempo. Sayang, sesepuh Desa Ngalihan, Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah, tempat makam itu ”bermukim”, tak memberi izin. Menurut sang sesepuh, yang berhak memberi izin hanyalah Departemen Pertahanan. ”Kami pun tak berani berbuat apa-apa.”
AMIR Sjarifuddin Harahap lahir di Medan, pada 27 April 1907, sebagai putra sulung dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripa-da, keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas, Tapanuli Selatan, bekerja sebagai jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar, berasal dari keluarga saudagar muslim kaya di Deli.
Amir menikmati pendidikan di ELS, atau sekolah dasar Belanda, di Medan pada 1914 hingga 1921. Atas undangan saudara sepupunya, Tuanku Sunan Gunung Mulia, ia berangkat ke Leiden, Belanda, untuk melanjutkan sekolah. Pada 1926-1927, Amir menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, Belanda.
Selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok Kristen, seperti CSV, cikal bakal Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Meskipun teman-teman dekatnya meminta Amir menyelesaikan kuliah di Belanda, pada September 1927 ia pulang ke kampung halaman karena ayahnya sakit keras.
Kemudian ia masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang pada Gunung Mulia yang telah menjabat direktur pendidikan sekolah guru di Jatinegara. Setelah itu, Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106. Ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Muhammad Yamin. Rupanya mereka memiliki kesamaan minat, terutama pada musik, sastra, dan agama.
Pada Kongres Pemuda II 1928, Amir mewakili Jong Bataks Bond dan menjabat bendahara panitia. Ia juga aktif memimpin sidang. Ketika Yamin menulis rumusan Sumpah Pemuda, persetujuan Soegono Djojopuspito dan Amir sangat dibutuhkan. ”Perannya cukup menentukan, meski hanya menyetujui rumusan tersebut,” kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan In-donesia, Asvi Warman Adam. Amir kemudian masih terlibat dalam Kongres Bahasa pada 1938.
Pada sekitar 1931, Amir berpindah keyakinan, dari muslim menjadi Kristen. Empat tahun kemudian ia menikah dengan Djaenah Harahap, putri orang kaya di Batavia. ”Pernikahan mereka saat itu memang masih ditabukan, karena satu marga,” kata Damaris, putri keempat Amir.
Pasangan ini dikaruniai enam anak: Andrea, Lidya Ida Lumongga, Kesas Taromar, Damaris, Tito Batari, dan Helena Luisa. Kini yang masih hidup hanya tiga: Andrea, 67 tahun; Damaris, 60 tahun; dan Helena, 59 tahun.
Ketika Jepang datang, Amir memilih beroposisi. Karena memimpin gerakan bawah tanah yang dibiayai Van der Plass, ia ditangkap Jepang pada Januari 1943 dan dijatuhi hukuman mati. Namun, berkat campur tangan Soekarno dan Hatta, hukuman itu tak pernah dilaksanakan.
Setelah kemerdekaan, Amir diangkat sebagai Menteri Penerangan Indonesia pertama dalam Kabinet Soekarno. Salah satu buah karyanya adalah Maklumat Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin tentang kebebasan pers.
Tugas Amir sesuai dengan minatnya pada dunia jurnalistik. Ia pernah aktif sebagai editor dalam buletin Indonesia Raja milik Perhimpunan Pelajar Indonesia di negeri Belanda. Ia juga pernah menjadi editor pada buletin Banteng milik Partai Indonesia cabang Batavia.
Dalam Kabinet Sjahrir, Amir menjabat Menteri Pertahanan. Pada 3 Juli 1937, ia diangkat sebagai perdana menteri, menggantikan Sjahrir. Sebagai perdana menteri, Amir menandatangani Perjanjian Renville, 17 Januari 1948.
Sayang, akibat perjanjian itu, Amir ditinggalkan oleh partai-partai pendukungnya, Masyumi dan Partai Nasional Indonesia. ”Ayah pernah berkata kepada Ibu: saya ditinggalkan sendirian,” tutur Damaris. Ia pun mengembalikan mandat, dan kabinetnya bubar. Sejak itu Amir, melalui partainya, Partai Sosialis, menjadi oposan.
Bersama beberapa partai garis kiri, mereka membentuk Front Demokrasi Rakyat. Pecahlah Peristiwa Madiun pada 18 September 1948. Amir, yang dianggap ikut bertanggung jawab, ditangkap di persembunyiannya di Desa Klambu, Purwodadi, Jawa Tengah, pada 18 November 1948. Atas perintah Gubernur Militer Surakarta Gatot Subroto, dia dikirim ke Solo.
Pada 19 Desember 1948, Amir dan sepuluh tawanan lain dibawa ke Desa Ngalihan. Rupanya, Gatot Subroto memerintahkan eksekusi mati terhadap mereka. Sebelas orang itu kemudian menyanyikan Indonesia Raya dan Internasionale. Ia yang pertama kali ditembak, dengan menggenggam sebuah Alkitab.
KETIKA Amir tewas, Djaenah sedang mengandung anak bungsunya. Saat melahirkan di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, Djaenah hanya ditemani seorang tetangga Belanda. Djaenah dan keenam anaknya kemudian pindah ke Jakarta. Hidup sangat sulit baginya. Berkat bantuan (Perdana Menteri) Ir Djuanda, ia kemudian mendirikan usaha untuk menyambung hidup.
”Saya tak terlalu mengenal Ayah,” kata Andrea, yang ketika Amir wafat, baru berusia enam tahun. Trauma atas nasib Amir, Djaenah melarang anak-anaknya terlibat organisasi apa pun. Bahkan untuk mengakui saudara-saudara ayah dan ibunya di depan umum pun mereka tak berani. Padahal adik Amir, yakni Arifin Harahap, pernah menjabat Menteri Perdagangan pada 1959-1962.
”Kami hanya tak ingin kehidupan mereka terganjal karena menjadi saudara Papi,” kata Damaris. Sejak Orde Baru, kehidupan pun semakin sulit bagi anak-anak Amir. Helena sempat merasakan hanya makan satu bungkus nasi bertiga, dibagi dengan suami dan anak sulung-nya. ”Screening komunis menyebabkan kami sulit memperoleh pekerjaan,” kata guru kecantikan di Sekolah Johny Andrean itu.
Begitu pula dengan Damaris. Setelah menikah dengan tentara, pada 1974, sang suami memutuskan mundur dari Angkatan Bersenjata. Orang mulai mencium siapa ayah mertuanya. Setelah menyelesaikan notariat, ia meminta pensiun dini. ”Banyak yang bilang, kenapa harus mundur,” kata Damaris. ”Bagaimana, ya, kan kami yang mengalami.”
PADA 1950, dua kali Djaenah bertemu dengan Bung Karno. Pertemuan pertama gagal. ”Menurut Ibu, Bung Karno tak kuasa menahan haru bertemu dengannya,” kata Damaris. Pada pertemuan kedua, Djaenah meminta jenazah suaminya dipindahkan ke Jakarta. Permintaan itu ditolak. Namun Bung Karno mengizinkan sebelas jenazah Peristiwa Madiun dimakamkan ulang.
Sayang, setelah 1965, bangunan makam kesebelas kuburan itu raib tak berbekas. Anak-anak Amir pun tak berani sesering dulu berziarah. Barulah pada 2008, tepat 60 tahun kematian Amir, ”mukjizat” itu datang.
Berkat bantuan lembaga swadaya masyarakat Ut Omnes Unum Sint Institut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membantu perizinan pembangunan makam Amir. Rencananya, pada 14 November makam Amir tak lagi hanya berhiaskan rumput. ”Bila Tuhan hendak mencabut nyawa saya setelah makam Papi selesai, saya rela,” kata Helena.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo