Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bunga Lili, Sitor, dan Sketsa

Mengaku punya banyak bakat, Sitor pernah rajin membuat sketsa. Tubuh wanita menjadi obyek utamanya.

26 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG perempuan dan bertangkai-tangkai bunga lili. Di taman bungakah perempuan itu? Percakapan indah apa yang terhidang di antara keduanya? Tentang si bunga yang bermimpi menjadi gadis cantik atau sebaliknya, tentang si gadis yang bermimpi menjadi seuntai bunga yang harumnya tak habis-habis?

Di tangan Sitor Situmorang, percakapan kedua-nya bisa menjelma menjadi sepotong sajak yang sedap. Tapi tidak, Sitor tak mengambil pena dan lalu menuliskannya. Ia justru mengambil pensil dan melukiskannya. Ia mengabadikannya dalam sebuah sketsa yang ia beri judul Bedolven onder de withe Lelies (Tertimbun Lili Putih).

Sketsa itu digambar di Bandungan, Jawa Tengah, pada 1980. Ia menyajikan ”percakapan” itu dalam gam-bar yang eksotis, juga erotis. Sang perempuan tam-pak bercengkerama mesra dengan sang bunga. Pe-rempuan itu bertubuh telanjang. Lalu di sekujur tu-buhnya, Sitor menabur bunga lili putih. Aduhai. ”E-rotik itu se-suatu yang nyata dan indah,” ucap Sitor.

Gambar itu, juga sekitar 40 sketsa lain, menunjukkan sisi lain kreativitas seorang Sitor. Ia tak cuma memaparkan semesta kata-kata kepada pembaca-nya lewat 605 puisi yang sudah terdokumentasi, tapi juga menghamparkan imajinasi pada penikmat sketsa-sketsanya.

Sebagian besar sketsanya mengambil obyek tubuh wanita. Ia, misalnya, menggambar punggung perempuan yang sedang bermalas-malasan di sebuah pantai. Tapi tak hanya itu, ia juga menggambar dirinya sendiri, atau obyek pemandangan, obyek bangunan—dari masjid hingga candi. Borobudur 1979 adalah salah satu sketsa yang ia bikin setelah ia keluar dari penjara.

Mengapa lebih banyak tubuh wanita? Sebagaim-ana sajak-sajaknya, kata Sitor, sketsanya semata-mata meng-ekspresikan kesan yang ia cerap dari hal-hal yang ada di sekelilingnya. Erotisme adalah sesuatu yang ia temui dan nyata baginya. ”Dan itu positif,” ucap-nya. Juga hal yang positif, kata Sitor, ”Jika saya menghayati kelelakian saya.”

Namun penyair kelahiran 1924 itu enggan mengungkapkan cerita di balik sketsa-sketsa itu. Apalagi me-nge-nai identitas wanita yang ia gambar. ”Itu mo-del yang tidak dibayar,” jawab Sitor, pen-dek.

Sitor tak ingat pasti sejak k-apan ia mulai menggambar sketsa—ia menyebutnya sebagai ”orat-oret”. Yang ia ingat adalah ketika ia ke-luar dari penjara pada Januari 1977, seorang wartawan bertanya kepadanya, apa yang ingin ia lakukan segera. Ia menjawab: mende-ngar musik, mandi di laut, dan bermain seks sepuas-puasnya. Setelah itu, ia pun pergi berkelana menge-lilingi Jawa dan singgah di Bali untuk beberapa minggu. Dalam pengembaraan itulah ia mulai mencoret-coret kertas dengan pensil. Jadilah puluhan sketsa.

J.J. Rizal, editor Komunitas Bambu yang menerbitkan sajak Sitor, mengatakan bahwa ia pernah melihat sekitar 40 karya sketsa Sitor. Tapi dari sketsa-sketsa itu, ia hanya memperoleh tujuh salinan. Sisanya tersimpan di kediaman Sitor di Belanda.

Menurut Rizal, sketsa-sketsa itu adalah bagian dari kreativitas Sitor yang seperti lepas dari kandang saat bebas dari penjara. Serupa dengan sajak, sketsa yang dihasilkan melukiskan kerinduannya untuk berke-lana dan berdekatan dengan alam, termasuk tubuh perempuan. Ekspresi di sketsa-sketsa itu, komentar Rizal, ”Lebih liar dari Sitor pada tahun 1950-an.”

Sayang, kebiasaan Sitor melukis sketsa hanya berlangsung sampai pertengahan 1980-an. Sitor meng-aku tak ingin meneruskan melukis, meski dengan bangga ia mengulang-ulang perihal multibakat yang ia miliki. ”Seandainya Sudjojono masih hidup lalu dia bilang, ’Sitor, kamu harus terus melukis ya,’ mungkin saya terdorong,” ia tertawa.

Sebenarnya kedekatan Sitor de-ngan seni rupa sudah lama terjadi. Sejak kecil ia senang menggambar, dan kabarnya, sebuah lukisannya hingga kini masih terpajang di bekas sekolahnya di Tarutung, tanah Batak. Tapi ia mengaku wawasan keseniannya kian ter-buka ketika ia tinggal di Yogyakarta pa-da 1947-1949. Saat itu ia me-ra-sa seperti mendapat pencerahan. ”Bayangkan saja, kita baru keluar dari pingitan di desa, lalu melihat ibu kota,” ucapnya.

Di kota inilah Sitor leluasa bertemu dengan para pendiri republik, juga dengan para seniman yang nama-nya sudah ia kenal sejak sekolah menengah, se-perti Sudjojono dan Affandi.

Siang hari, Sitor mondar-mandir untuk urusan liputan. Malam hari, ia menikmati pertunjukan kesenian yang teratur diadakan di Keraton Pakualaman atau di keraton Hamengku Buwono. Dia juga meng-ikuti kegiatan teater yang diadakan Usmar Ismail, yang juga sama-sama wartawan. Ia juga mampir ke sanggar Sudjojono, meski hanya untuk berkenalan, tidak belajar membuat sketsa.

Perkenalannya dengan pelukis besar Affandi adalah sa-lah satu yang membekas baginya. Saat itu Affandi lang-sung mengenalinya, ”Kau yang bernama Sitor, ya?” Affandi pula yang membuat sketsa dan lukisan wa-jah Sitor. Ketika melukis, kata Sitor mengenai Affandi, ”Saya diperlakukan sebagai anak, bukan penyair.” Sayang, lukisan Affandi itu terpaksa ia jual saat meng-alami kesulitan ekonomi setelah keluar dari penjara.

Yos Rizal S., Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus