Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kegelisahan Dua Dunia Sitor

Keluar dari penjara, Sitor menjalani upacara pemulihan roh. Si Anak Hilang telah kembali.

26 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angin danau mengalir menelusuri Desa Ha-rianboho. Siang itu, dengan perasaan bergetar, Sitor Situmorang menatap kampung halamannya, sebuah lembah kecil di kaki G-unung Pusuk Buhit, sebelah barat Danau Toba. Sudah sekitar 13 tahun penyair kawakan itu berpisah dengan desa kelahirannya di wilayah Samosir, Sumatera Utara.

Kala itu penghujung 1976. Sitor yang baru bebas dari penjara Salemba, Jakarta, dipanggil pulang. Ia wajib hadir pada upacara adat di kampungnya. Abang tertuanya, berusia 80, akan menggelar saurmatua, sebuah ritus menyongsong tahapan kehidup-an uzur dalam masyarakat Batak. ”Seluruh keluarga Situmorang harus hadir, termasuk kau,” demikian permintaan kerabatnya di kampung.

Sitor tak kuasa menolak panggilan. Apalagi, kata-nya, ia sangat rindu kampungnya. Terakhir, ia pulang kampung sekitar 1963, beberapa bulan sebelum ayahnya meninggal. Ketika tiba di Harianboho, ia disambut seluruh klan Situmorang. ”Bagi mereka, telah jadi apa pun di Jakarta, saya tetap anggota suku,” ujarnya.

Atas rembukan para pinisepuh Situmorang, Sitor juga ”dipaksa” menjalani upacara rumatondi. Ini sejenis inisiasi, ritus pemulihan tondi (roh)-nya ke dalam alam marga. Menurut para tetua adat, se-be-lum mengikuti upacara abangnya, ia harus disucikan dulu. Itu lantaran Sitor telah dikotori oleh penjara Orde Baru. ”Sekali lagi, saya tak kuasa menolak,” S-itor mengenang.

Rumatondi dimulai dengan menghaturkan se-sa-jen di rumah tetua adat. Sitor melapor kepada De-ba-ta- (dewa) penghuni rumah itu, lalu mohon restu di be-kas kamar ayahnya yang dijadikan pemujaan bagi ke-lu-ar-ga. Setelah itu, ia dan para pengiringnya berjalan- me-nuju sarkofagus, makam tempat me-nyimpan -tulang-belulang leluhurnya, yang berada di te-ngah halaman.

Prosesi itu memasuki babak puncak. Pintu makam dibuka. Sitor ”bertemu dengan kakeknya”, Raja Lintong, yang demi kepentingan upacara tengkoraknya dikeluarkan dari dalam makam. Seorang perempuan berpakaian adat menyerahkan sebuah piring porse-len berisi kepala tengkorak leluhur dan jeruk kepada Sitor sebagai sarana penyucian.

Saat itulah terjadi insiden kecil. Seorang kerabat laki-laki Sitor—kebetulan dokter—melihat rahang ba-wah tengkorak leluhur itu tak pas dengan ra-hang atasnya. Tanpa ba-bi-bu lagi, dokter itu tergerak meng-ulurkan tangan untuk membetulkannya. ”Ketika itulah si shaman atau dukun pemimpin upacara marah,” kata Sitor mengisahkan. Dukun itu menghardik si dokter ”lancang”, karena menurut tra-di-si tengkorak itu pantang tersentuh tangan laki-laki.

Untunglah, insiden kecil itu bisa diredam sehingga tak mengurangi kekhidmatan ritus. Sitor, yang tak bersalah dengan kejadian drama itu, kemu-dian mendukung piring berisi tengkorak dan jeruk se-tinggi bahu. ”Bagi saya, upacara itu begitu indah dan menggetarkan,” katanya menerawang.

Sitor menuturkan, saat itu ia baru bebas setelah men-dekam delapan tahun dalam penjara. Seperti kita tahu, pria yang senantiasa meletup-letup itu melewati hari-hari sunyi di hotel prodeo di Jakarta sejak 1967 hingga awal 1975, dengan nomor tahanan 5051. Setelah itu, ia dikenai tahanan rumah dan kota ma-sing-masing sekitar setahun.

Lahir pada 2 Oktober 1924, Sitor adalah anak kelima (menurut urutan laki-laki) dari Ompu Babiat. Raja Usu alias Sitor Situmorang melewati masa kecilnya di Harianboho. Desa kelahirannya itu sangat terpencil, diliputi suasana adat lama dan kebudaya-an leluhur. Ayahnya seorang kepala adat berdasarkan sistem marga, marga Situmorang.

Selama 18 generasi, leluhur Sitor menguasai sebuah wilayah kecil di Sumatera Utara. Ini merupa-kan daerah bergunung-gunung dan berbatu karang. Kawasan suku yang diperintah sang ayah terdiri atas tiga lembah melandai dari perbukitan setinggi 2.000 meter menuju sebuah danau nan memukau. Daerah itu membentang dari barat Danau Toba hingga Aceh Selatan di utara dan Barus di barat.

Tugas kepala adat berarti harus bertindak seba-gai hakim dan pencatat sejarah. Ia juga memelihara dan membenahi silsilah serta menyelesaikan persoal-an tanah. Ayahnya berlaku sebagai mahkamah yang menyelesaikan macam-macam persoalan desa demi desa. Tak jarang sang ayah harus bermalam di satu desa sebelum melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke desa berikutnya. Saat itulah, Sitor kecil kerap ikut dengan ayahnya.

Sitor mencatat, sepanjang 1924-1930 adalah masa yang kental dengan tradisi leluhur. Ia mengalami ber-ba-gai ritus tradisi yang digelar leluhurnya. Menurut di-a, yang paling berkesan terjadi pada 1929. Saat itu mar-ganya menyelenggarakan upacara besar: menye-ma-yamkan tulang-belulang leluhur yang terserak di se-jumlah kuburan telantar akibat perang melawan Be-landa.

Upacara itu dilangsungkan di desa permukiman lama yang sudah ditinggalkan. Lokasinya di tengah hutan di sebuah pegunungan. Utusan-utusan marga berkumpul, berdatangan dari segala penjuru. Sitor ikut rombongan ayahnya. Ia mendaki gunung, menyeberangi padang dan hutan luas sebelum sampai di tujuan.

Boleh dibilang, masa kecilnya dimanjakan dengan serangkaian pengalaman ritus tradisi Batak yang menyertai kehidupannya di Harianboho. ”Saya ini kenyang dimanjakan oleh pengalaman,” katanya. ”Jadi, saya mengikuti segala tradisi itu bukan dipaksa mempelajarinya.”

Namun, ketika ia menginjak enam tahun, tradisi leluhur seakan kian menjauh darinya. Sitor kecil direnggut dari kampung halamannya dan dikirim ke sebuah sekolah asrama Belanda. Itu adalah sekolah Kristen, tapi ia tak diminta menjadi orang Kristen. Sekolah itu hanya memintanya bicara Belanda di kelas maupun di luar.

Sejak itu, ia bagai terputus dari masa lalunya. Ia telah ”dibersihkan” dari kepercayaan-kepercayaan leluhurnya. Sebagai wartawan, Sitor muda berkesempatan mengembara ke berbagai tempat, baik di dalam maupun luar negeri. Ia akhirnya memilih menetap di luar negeri, terutama kota Paris yang disebutnya se-bagai desa keduanya setelah Harianboho.

Sitor seperti anak hilang. Jiwanya terlalu resah untuk menjejak tinggal di tempat asal. Karena ia terkenang-kenang juga dunia lain itu di Eropa, yang pernah memberi rumah kepadanya. Hanya jasmaninya yang kembali ke tengah keluarga dan desanya, tapi jiwanya tetap tinggal di Eropa.

Dalam Si Anak Hilang, Sitor menulis tenang si anak pulang dari rantau di Eropa. Ia disambut oleh ibu-nya dengan hangat, oleh bapaknya dengan ketenangan menahan hati. Ia sendiri tak banyak bicara. Tapi ketika malam hari ia datang ke pantai danau tempatnya dibesarkan dulu, seperti desir gelombang itu tahu: j-iwanya tak hendak di kampung halaman lagi.

Pada akhir Juni 2001, Sitor sempat datang kembali- ke kampung halamannya. Saat itu, ia bersama istri- ke-duanya, Barbara Brouwer, menghadiri Mangohal- Ho-li, upacara menggali tulang-belulang leluhur untuk- di-makamkan kembali di pusara yang indah. Yang me-na-rik, Sitor melakukan ”improvisasi”, membacakan sa-jak di depan kerangka leluhurnya. Seusai upacara, ia masih membacakan sajak di sekitar Harianboho, di bu-kit-bukit, di tepi danau, dan di padang ilalang.

Jadi, benarkah Sitor telah terkikis dari tradisi leluhurnya? Menurut dia, saat ini ia sudah tak bisa lagi secara lengkap menjalankan tradisi leluhur seperti di desanya dulu. Wilayah spiritualnya kini juga telah ”bergeser”. ”Secara umum, sejak sepuluh tahun te-r-ak-hir, saya kembali ke mistik alam,” katanya.

Itu terpancar dari sajak-sajaknya yang muncul pada periode 1980–2005. Dalam sepotong sajak Mendaki Merapi Menatap Borobudur (Dialog Senja), misal-nya, Sitor menulis:

Di tebing lembah Kupandang senja Kawah Merapi

Bagian dari ziarah Sufi tanpa tarekat

Bebas rindu Dalam merindu

Bebas waktu Dan tempat Luruh dalam desah angin gunung

Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus