Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tukang Sayur, Lalu Wartawan

26 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sitor Situmorang muda bukanlah si pelukis kata-kata. Syair-syair belum tumpah dari kepalanya. Puisi pertamanya, Pasar Senen, baru dimuat di majalah Siasat pada Agustus 1948. Sebelum itu, terutama pada 1942, Sitor adalah anak sekolah dan si tukang sayur.

Tukang sayur? Syahdan, ketika Jepang mendu-duki Indonesia pada 1942, nasib ribuan anak sekolah dari luar Jawa yang menumpang sekolah di tanah Jawa tak menentu. Saat itu Sitor belum lagi setahun di Algemene Middlebare School (setingkat SMA), Jakarta.

Perekonomian kota pun lumpuh, pasar-pasar ko-song. Sitor dan teman-temannya yang berasal da-ri Sumatera kemudian memutuskan untuk ”men-jemput” bahan baku makanan ke kota-kota di luar Jakarta. Ia menumpang kereta api menuju Sukabumi membeli sayur-mayur dan telur dari petani. Ia kemudian menjajakannya ke rumah-rumah orang Belanda di wilayah Menteng, Jakarta.

Periode tukang sayur dijalani tak lama. Sitor pulang. Pada 1945, ia menjadi wartawan untuk harian Suara Nasional di Medan. Dua tahun kemudian ia pindah ke harian Waspada. Pada tahun inilah Sitor berhasil mewawancarai Sultan Hamid Al-kadrie II, pemimpin Kesultanan Kadriah Pontianak, di Bandung menjelang Konferensi Negeri Federal. Konferensi ini atas inisiatif pemerintah Belanda untuk memecah persatuan republik yang diprok-lamasikan Soekarno-Hatta.

Pada malam sebelum konferensi dibuka, Sitor men-datangi Sultan lulusan Breda—akademi mili-ter Belanda—itu di acara dansa di Hotel Savoy Homann. Sitor mengenakan tuksedo yang kedodor-an, pinjaman dari Rosihan Anwar, sementara Sultan Hamid mengenakan seragam militer.

Ia langsung mengajukan pertanyaan tentang mak-sud konferensi dan pendapatnya tentang republik. ”Republik sudah ada, kami rapat di sini tak ingin menandingi republik,” kata Sultan. Bangga betul Sitor ketika sepotong kalimat ini disambar wartawan lain dan mengisi halaman muka ber-bagai surat kabar dalam dan luar negeri.

Selama tiga tahun, 1947–1949, ia tinggal di Yogyakarta sebagai koresponden Waspada. Siang-malam ia mengikuti jejak Soekarno, Hatta, dan para pendiri republik lainnya. Di ibu kota republik yang pertama itu darah nasionalisme Sitor meng-alir. ”Saya murid Soekarno,” ucapnya.

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus