Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aku sudah tua, ubanan menuju renta, walau masih tetap mengembara Heran, akhirnya sampai juga di London Demi panggilan apa lagi?
Hujan Kota London. Sajak itu ditulis pada 1989. Malam itu gerimis, Sitor bersama seorang gadis melintas di Trafalgar Square. Gadis itu tiba-tiba menunjuk sebuah gereja. ”Sitor, aku dibaptis di sana.” Lalu Sitor menerawang jauh. Dia teringat dirinya yang dibaptis di sebuah gereja dusun, terpencil di pelosok Danau Toba, di kaki Gunung Pusuk Buhit..
Kita tak pernah tahu bagaimana kejadian itu sebenarnya. Kita juga tak tahu apakah betul, seperti dalam puisi, kemudian gadis itu sejenak menyanyi kecil: Sitor, whom the gods love die young! Tapi segera yang kita tangkap saat membaca sajak tersebut: sebersit perasaan romantis, ada suasana pathos, ada nada eros. Jiwa Sitor seperti selalu resah, tak bisa jenjam untuk tinggal di satu tempat. Dan angan-angannya melayang jauh, terombang-ambing antara dunia benua.
Tahun ini usia Sitor Situmorang 82 tahun. Tahun depan, ia diundang ke negeri Belanda untuk memperingati 100 tahun Sisingamangaraja. Sisingamangara-ja gugur 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran me-lawan Belanda. Sitor akan membuka perhelatan itu. Dia sendiri merupakan salah seorang narasum-ber.- Ayah Sitor, Ompu Babiat, dulu adalah kepala a-dat yang masih kerabat Sisingamangaraja. Bapak-nya- juga adalah bekas pengawal Sisingamangaraja XII.
Bahwa ia terbang ke Belanda untuk mengenang Si-singamangaraja seolah mencerminkan ”paradoks” petualangan dirinya. ”Hidup saya dimanjakan perjalanan.” Siang itu, di bilangan Kemang, ia bercerita. Di masa kecilnya, ia sering mengikuti perjalanan jauh ayahnya menembus hutan. Untuk mencapai sarkofagus yang berisi tengkorak nenek moyang keluarga, ia harus mengikuti perjalanan rombongan ayah-nya yang melelahkan. Melintasi padang, naik turun bukit, menyeberangi tebing curam yang di bawahnya sungai deras dengan hanya meniti jembatan berupa pohon berlumut yang rubuh.
”Saya mengalami seluruh ritual agama Batak purba, yang sekarang tak ada lagi,” katanya. Sitor terkenal dengan pembaruannya atas soneta dan pantun. Ia disebut sebagai penyair yang menggali bahan dari lingkungan lain, tapi mampu menciptakan pengucap-an lokal dengan irama yang khas. Pengalamannya ”diasuh alam” di masa kanak agaknya menjadikannya memiliki kepekaan ritme.
Meskipun kini ia tidak menghayati inti kepercaya-an- adat lama, pengalaman di masa kecil itu agaknya me-resap bawah sadar dan terlihat sewaktu-waktu bi-sa- meletup samar-samar bila ia menatap kota-kota E-ropa.
Itu bisa diamati pada dua buku baru terbitan Komunitas Bambu yang menghimpun sebanyak 605 sajak-sajaknya dari tahun 1948 sampai 2005. Penyusunnya, J.J. Rizal, alumnus Jurusan Sejarah UI yang dengan tekun selama ini mempelajari karya-karya Sitor. Ia mengudal-udal Pusat Dokumentasi H.B. Jassin, membongkar map-map lusuh itu, mencari koran-koran lama, majalah-majalah seperti Siasat dan Zenith, memburu dokumentasi sahabat-sahabat Sitor. Ia mengumpulkan sajak-sajak Sitor yang tercecer, baik yang sudah diterbitkan maupun belum pernah diterbitkan. Ia bahkan mampu mendapatkan puisipuisi yang pernah ditampik oleh majalah. Lalu ia menghidangkan kepada kita secara kronologis. Membuat kita mampu secara urut mengikuti tahap-tahap pengembaraan kreatif Sitor.
Menikmati dua buku yang bisa disebut buku terlengkap yang memuat puisi Sitor ini seolah menye-lenggarakan sebuah napak tilas perjalanan p-anjang penyair ini. Sitor seorang pencari. Sitor seorang avon-turir yang telah berjalan jauh dan pada kita di-saji-kannya kesan-kesan sekilas, impresi beragam peng-alaman melihat-merasa di berbagai sudut dunia yang kadang ”diam” kadang menggelegak gelisah. Membaca sajak-sajak terkuatnya bisa membuat kita ter-hanyut dalam kelananya.
”Dalam bahasa ada warna, ada nada dan irama,” si-ang itu ia menegaskan proses kreatifnya. Seorang kri-tikus pernah menjelaskan, yang disajikan Sitor bu-kan alam mentah, tapi segaris kuat, sekilas warna pe-ris-tiwa yang menyentuh kalbunya. Pernyataan Sitor di- atas menekankan bahwa yang utama baginya seki-las- kuat itu juga yang mampu menyentuh indra bunyi ba-hasanya. Sitor memang ”pengembara-bunyi”.
Burung-burung kembali meramaikan senja Setentang langit tenggara laut bersinar Tandanya musim sudah berkisar Benih menguak di sela daun gugur dan kata-kata
Pertama kali Sitor melanglang ke Eropa umurnya 26 tahun. Saat itu ia sudah ”jatuh-bangun” sebagai wartawan. Ia mendapat beasiswa dari Sticusa (Stichting Culturele Samenwarking) selama tiga tahun untuk mengenal budaya Eropa. Dari Tanjung Priok, ia naik kapal maskapai Belanda, Olden Barneveldt, selama tiga minggu melewati Kolombo, Port Said, sampai Rotterdam. Turun di Rotterdam, ia naik kereta api menuju Amsterdam.
”Waktu itu di Amsterdam saya ditampung war-tawan Harian Merdeka Rinto Alwi,” kenang Sitor. Hari-hari pertama, oleh Rinto ia diajak bertemu de-ngan orang-orang Indonesia yang di sana. Salah sa-tu-nya yang namanya sudah dikenal dari koran ada-lah penari Djojana. Raden Djojana adalah ningrat Jawa terke-nal. Sitor beberapa kali menonton per-tun-jukannya. Agaknya ia terkesan de-ngan pertemuan itu dan puisi di atas dipersembahkannya untuk D-jo-jana.
”Dua minggu datang, saya langsung seperti mandi uap kebuda-ya-an,” katanya. Ia seperti ingin me-reguk apa saja. Ia aktif menonton teater, musik, menyatroni museum-museum, p-ameran lukisan. Ia ingin merengkuh, menyelami rahasia batin Eropa.
Si laki itu sekali dilepas Dan ia jalan turuti bekas Sebelum tahu di mana Bumi sudah tua Kapal terapung sonder kompas
Ia tinggal di Belanda selama satu setengah tahun. Sisa waktu satu setengah tahunnya lagi ia ingin tinggal di Paris. Duta besar Indonesia di Prancis waktu itu adalah Nazir Datuk Pamoentjak. ”Ia mengerti keinginan saya,” katanya. Selama di Paris ia lalu mendapat pekerjaan sebagai staf lokal kedutaan. ”Saya mengurus buletin ruang kebudayaan.”
Pertunjukan-pertunjukan seni dan film di P-rancis, saat Sitor berdiam di sana, bernapaskan tema pemberontakan manusia terhadap batas-batasnya. Sensualitas, kegetiran, keboyakan hidup. ”Suasana in-telektual yang merasuki kesenian adalah eksisten-sialisme,” kenangnya. Sitor ingat, betapa setelah me-nonton, ia antusias mencari ulasan-ulasan pertunjukan. ”Besoknya selalu sudah ada kupasan di koran-koran.” Dari periode itu, lahirlah puisi-puisi terkenalnya seperti Silence et Solitude, The Tale of Two Continent, Orang Asing, Nocturne, Place St. Suplice, Pont Neuf, Paris, La Ronde, dan seri bulan-bulan di Paris: Paris-Janvier, Paris-Avril, Paris Juillet, Paris-Novembre.
Tiga tahun sudah. Kota-kota itu harus ditinggalkan. Tapi caranya menghayati dermaga, kafe, kapel tua, jembatan, lonceng, hotelnya seolah menjadi dasar dari petualangannya selanjutnya. Ketika Sitor bertahun-tahun kemudian mengunjungi ne-geri Federico Garcia Lorca, Spanyol, ia menulis:
Aku Zigana- di tempatku berbaring Di bayang pohon gabus Berkencan dengan birahi -namun aku diajaknya- ketika lonceng bergema
SAJAK-SAJAK Sitor saat ia melanglang ke Tiongkok dan Rusia. Sajak-sajak ini disebut kontras tajam dengan sajak-sajak periode Parisnya. Banyak peng-amat melihat kekuatan puitik dan perlambangnya menurun. Ketika Pamusuk Eneste pada 1989 membuat buku kumpulan puisi Sitor berjudul Bunga Di Atas Batu (Si Anak Hilang), seluruh puisi-puisi Sitor yang berbicara tentang pengalaman Tiongkok tidak diikutsertakan. Dalam kumpulan yang dibuat J.J. Rizal ini, semua sajak tersebut diikutsertakan.
Bahkan, misalnya, dimuat sajak Lumumba (dari Patrick Lumumba, nama pemimpin Kongo yang terbunuh). Sajak ini dulu pada 1961 ditolak H.B. Jassin untuk dimuat di majalah Sastra, tapi kemudian dikirim Sitor ke Harian Rakjat dan dimuat di situ
M. Balfas, yang menjadi penyun-ting pendamping (co-editor) Jassin, saat menolak puisi ini, suatu kali pernah menulis bahwa saat membaca-nya ulang beberapa tahun kemudian, ia merasa sesungguhnya tak ada yang perlu dikhawatirkan dari puisi itu. Sebuah sajak yang ditujukan Sitor kepada putrinya, Surat dari Tiongkok untuk Retni, memang memikat. Sitor menulis: Jika kamu dewasa Ret,/kenangkanlah Yenan!Sekarang musim bunga!Gadis gadis sebayamu kulihat gembira, dimana-mana.
Sajak ini diawali perjalanan yang mengingatkan Sitor akan masa ka-nak-kanaknya.
Dalam expres Kanton-Peking, teringat Tiga puluh tahun dulu, melihat alam Tiongkok Kuingat bapak berkata: -menatap dari bukit desa- ”Nak, lihatlah asap di lembah! Di sana kehidupan! Di sana perdamaian!
Ke Cina adalah periode saat Sitor aktif di kegiatan politik. Kunjungan itu dimungkinkan karena ada Konferensi penulis Asia-Afrika. ”Tahun 1962, saya memimpin delegasi pengarang ke konferensi Asia-Afrika di Tokyo,” kata Sitor. Dalam rombongan itu terdapat Rivai Apin, Utuy Tatang Sontani. Dari Tokyo mereka menuju Hong Kong. Lalu dari sana menuju Peking. ”Kami naik kereta api jauh 3 hari 3 malam.”
Selama dua minggu berada di Cina. Delegasi pengarang dari penjuru mana pun datang. ”Tahun 1962 itu m-asih tercium semua bekas perjuang-an me-lawan Chiang Kai Sek,” tutur Sitor. S-itor i-ngat di Lapangan Tiananmen d-iadakan pesta kembang api besar. Lalu setiap ketua delegasi naik ke gerbang istana untuk bertemu Deng Xiaoping. ”Saya sempat bersalaman dengan Deng.”
Setelah itu jamuan makan malam. ”Saya pernah baca tentang perjamu-an kaisar-kaisar, saya membayang-kan men-cicipi makanan itu,” katanya. Si-tor mengakui kagum pada sejarah Tiong-kok, lepas dari Komunis atau tidak. ”Saya melihat sejarah Cina dengan kacamata Soekarno,” kata Sitor yang di tahun-tahun itu menulis esai Marhaenisme adalah suatu humanisme.
Semua pertemuannya dengan delegasi seolah i-ngin dikabarkan. Ia, misalnya, menulis puisi tentang se-orang gadis cantik dari delegasi Kuba bernama Zoila, Pada Irene sepasang sumpit plastik/ Pada Liza anak manis Macao sebuah impian, gadis-gadis yang ditulisnya dalam sajak Impresi tembok Tiongkok.
Bila di Tiongkok perasaannya bergetar dahsyat, menurut Sitor tidak begitu saat ia mengunjungi wilayah Soviet. Pada 1968, Sitor diundang oleh Himpunan Pengarang Uzbekistan. Ia mengunjungi kota-kota Asia Tengah, salah satunya Fergana.
Terusan 270 km menembus gurun, Di perbatasan Eropah dan Asia, Kulihat Timurleng lewat berkuda, Tenteranya kagum di tepi air tertegun
”Pengetahuan saya tentang Asia Tengah tak ba-nyak,” katanya. Itu berbeda dengan wawasannya tentang Tiongkok. Maka dari itu saat datang di Samarkand, Sitor tersentak ada observatorium kuno di sana. ”Saya kaget.” Ia lalu menulis ”… Berdiri Ulukbek meneliti bintang di langit/ Meneropong zaman datang, di puncak bukit…”
Pada 1989, entah mengapa ia teringat kembali peng-alamannya di Asia Tengah itu. Ia terkenang saat dijamu di Tashkent. …Wodka, buah-buahan ditambah/Ditumpuk dalam bejana-bejana/Anggur dituang da-lam gelas-gelas/ kami pun menyannyi dengan sua-ra gemuruh/Seperti sisa pasukan Kubilai Khan…
SITOR menganggap kritikus yang mampu me-nyelaminya adalah almarhum Subagio Sastrowar-doyo. Pada 1976, Subagio menulis buku Manusia Terasing di Balik Simbolisme Sitor Situmorang. Ia menganggap adanya pengaruh gerakan simbolisme Prancis terhadap diri Sitor. Tapi ia menyimpulkan, sebenarnya, tanpa mengenal Prancis pun, Sitor akan sampai ke sana.
Kritikus lain yang ”dianggap” Sitor adalah Maria Heinschke, peneliti di Universitas Hamburg yang pernah menulis buku Sitor: Penyair Modern Mencari Persaudaraan Baru.. Maria menyimpulkan, Sitor pada 1950-an adalah penyair Indonesia yang paling sadar modern, paling menampilkan diri sebagai ahli waris kebudayaan dunia. Menurut Heinschke, penciptaan karya harus dikonfrontasi dengan masalah hidup. Keterbatasan hidup harus dijadikan titik tolak pencarian orientasi. Seorang seniman tidak boleh mundur ke tradisi, sinkretisme atau eklektisisme, sebab semua ini tidak mengenal ketegangan dramatik antara manusia dan sekelilingnya.
Sitor dipenjara pada 1967 selama de-lapan tahun. Selepas dari penjara, ba-nyak pengamat menganggapnya puisipuisinya kembali pada ”rindu arti” se-perti yang ditulisnya pada 1950-an. Pada 1982, ia menerbitkan kumpulan Angin Danau. Subagio Sastrowardoyo dalam resensinya di majalah ini, Oktober 1982, menilai, meski Sitor masih seorang pengembara yang tidak bisa berakar di satu tempat, sajak-sajak 1980-an tidak lagi mengandung drama batin yang mencekam seperti kesepian, kesia-siaan dan keputusasaan.
Toh, bagi Subagio, gairah bunyi itu masih belum surut, misalnya pada sajak berjudul Weimar. Baca-lah: Sejuta pohon pinus/menyebar harum bumi/di dadanya yang mulus/kucium sepuas hati…Goethe hanya kenangan/di abad luar jangkauan/Schiller sudah tiada/ tinggal musim bunga...
Yang menarik bila kita menyimak sajak-sajak Sitor yang bertema kristiani. Menurut Sitor, banyak yang menganggap puisi-puisinya yang bertema kristiani merupakan pertanda kembalinya Sitor ke gereja, sebab selama ini ia dikenal kritis terhadap Protestan karena dianggap melenyapkan agama leluhur. Dari buku J.J. Rizal kita dapat membandingkan secara lengkap sajak-sajak Sitor yang bertema itu. Dari 1980-an awal, misalnya, dimuat Kisah Kias K-ristus, Hukum Pilatus, Pesan Ruth Pada Tiap Perawan, Khotbah Baptisan Paskah.
Subagio Sastrowardoyo sendiri saat memban-ding-kan sajak-sajak Sitor antara periode 1950-an dan 1980-an yang bertema kristiani itu menganggap ba-nyak sajak Sitor 1980-an hanya menyuarakan tanggapan dari peristiwa di dunia kristiani yang sudah amat populer. Gagasan-gagasannya sekadar meng-ulang. Bahkan, menurut Subagio, Sitor cenderung moralistis dan membawa pepatah-petitih klise se-perti ”Ampunilah sesamamu”, ”Cintailah sesamamu”. Ada kesan agama didekati Sitor dari segi formal dan resmi.
”Itu hanya catatan ulang pengalaman di masa muda,” kata Sitor siang itu. Menurut Sitor, pengalam-an kristiani itu tidak ada yang dialami lagi. ”Salah bila mengaitkan bahwa itu seolah sebuah keyakinan saya,” ia menambahkan. Kita ingat pada 1950-an Sitor gundah terhadap seremoni agama dan pernah menulis demikian:
Akan bicarakah Ia di malam sepi Kala salju jatuh dan burung-burung putih Sekali-kali ingin menyerah hati Dalam lindungan sembayang bersih Ah Tuhan, tak bisa kita lagi bertemu Dalam doa bersama kumpulan umat Ini kubawa cinta di mata kekasih kelu Tiada terpisah hidup dari kiamat
Itulah sajak Cathedrale de Chatres yang terkenal. Pada 1995, Sitor mengunjungi katedral itu lagi dan menulis Chartres Revisited
Adakah cahaya mistik kaca berwarna jendelanya akan bersinar tercurah kembali dalam mata batin seperti dulu 45 tahun lalu?
Ketika bersama kekasihku berdua ziarah kemari? Ia telah lama tiada, mati, akupun udah uzur Menderita katarak mata rongrongan usia tua
”Sepuluh tahun terakhir ini saya menganut mistik alam,” katanya, tegas. Sitor siang itu lalu panjang lebar menjelaskan alam sebagai perlambang. Mendengar Sitor berbicara, kita teringat penuturannya di otobiografi Sitor Situmorang Penyair Danau Toba, saat di masa kecil ia tertinggal rombongan ayahnya di hutan: ”…Aku ”gaib” ke dalam dunia dongeng. Saya jadi seorang makhluk kecil yang jasadnya saya masuki melalui kuping pendengarannya….”
”Sajak-sajak saya tentang Merapi, Bromo, Parangtritis, Balige, Gunung Sibayak, Borobudur, Legian, Pegunungan Tanah Karo, adalah bagian mistik alam ini,” tuturnya. Sajak-sajak itu, menurut dia, pada dasarnya mempertanyakan apa di balik yang tampak semua ini. ”Maka dari itu sesungguhnya saya memahami Mbah Maridjan,” ia tertawa. ”Seandainya Suba-gio masih hidup, saya ingin tahu apa pendapatnya ten-tang sajak-sajak terbaru saya ini,” katanya.
Akankah Subagio menganggapnya ia mendekati agama secara formal dan resmi?
Di hari tuanya, Sitor masih aktif mengunjungi kem-ba-li kota-kota kenangannya, lembah asal-usulnya, juga sahabat-sahabatnya. Sajak terakhir dalam kum-pu-lan yang disusun J.J. Rizal ini, ditulisnya dari Be-lan-da pada 2005. Judulnya Amir Pasaribu 90 tahun.
Amir Pasaribu komponis Indonesia terkenal kelahir-an Siborong-borong. Ia adalah senior Sitor dalam ke-lom-pok diskusi kebudayaan Gelanggang yang dipe-lopori anggota redaksi majalah Siasat. Ini sajak ke-dua Si-tor untuk Amir. Pada Oktober 1961, ia menulis s-ajak pada komponis yang pernah mengajar di Suriname itu, berjudul Alkimiah Zaman. Apa yang memberi arti abadi? Sitor bertanya kali ini. Dan sajaknya se-olah mencerminkan dirinya sendiri yang memiliki daya tahan: gairah yang tak surut merawat kaki-kaki seni:
>Di atas gema gelak bahagia kehidupan Umur panjang dalam pengabdian dan Di atas cucuran air mata pengalaman Terimalah salamku….
Seno Joko Suyono, Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo