Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bunga, Lilin, dan Doa Kami

Has the Clash Civilizations begun in Bali?

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seseorang di harian Houston menulis dengan nada khawatir membayangkan kita berada di batas tesis Samuel Huntington setelah tragedi Kuta, Bali. Tentu saja kita menolak tesis itu. Setumpuk bunga, lilin-lilin, tanda tangan duka cita di depan reruntuhan, di gerbang-gerbang konsulat yang dihaturkan berbagai gabungan kelompok agama di Denpasar, Jakarta, Surabaya, menunjukkan satu hal: peradaban dan nurani itu bagian dari manusia Indonesia. Tapi kenapa ini semua bisa terjadi? Tak terelakkan, bahwa bom di Bali dipandang sebagai The 9/11 Part Two. Tak terelakkan pula jika masyarakat dunia semakin cemas akan fase ketiga, keempat, dan seterusnya. Setiap abad memiliki tragedinya masing-masing. Rasa pedih, takut, dan trauma akibat hollocaust bom atom Hiroshima di abad lalu masih belum terhapus. Kini, apakah ciri kecemasan abad ini? Seseorang menulis di harian The Wall Street Journal: Civilization and Slaughter (peradaban dan pembantaian). Memasuki abad ke-21, tiba-tiba kita menyadari bahwa pembunuhan massal bisa dilakukan dengan cara yang semakin mudah. Kemudian, muncul kata yang menampilkan rasa yang tak nyaman: fundamentalisme? Apa arti fundamentalisme di abad ini? Apakah fundamentalisme atau fanatisme identik dengan semua peristiwa keji ini? Bagaimanapun, matahari selalu menjadi contoh soal: masih ada kebaikan. Masih ada harapan. Masih ada kebajikan. Bahu-membahu yang dilakukan dengan spontan dari berbagai kalangan agama dan masyarakat awam di Bali menunjukkan bahwa manusia yang hidup di bumi ini secara mayoritas tak ada yang berpikiran irasional semacam itu. Banyak cerita di balik evakuasi ratusan mayat. Mereka yang tadinya tak pernah melihat mayat tiba-tiba memiliki keberanian. Seolah terpanggil, mayat bukan hal yang ditakuti. Bersama-sama mereka melawan bau amis, menarik jenazah yang terjepit puing-puing, bahkan ada yang tanpa sarung tangan memungut kepala yang terpisah. Menggendong tubuh-tubuh gosong yang gampang copot. Memasukkan satu per satu ke kantong-kantong plastik. Membawa ke ambulans dan kemudian rumah sakit. Belum lagi ratusan relawan yang tak henti-hentinya mengalir ke semua rumah sakit untuk membantu; hingga pihak rumah sakit bingung mengorganisasi lautan bantuan saking terlalu penuh sesaknya relawan yang begitu semangat membantu. Itu semua tak akan dilakukan bila mereka tak geram pada terorisme. Seorang relawan menitikkan air mata ketika ada seorang ayah di Australia mengirim sampel DNA, untuk bisa mengidentifikasi dari bagian tubuh yang tercecer. Barangkali DNA itu bisa "mengenali" tubuh putrinya yang berusia 15 tahun. Seorang relawan lain dengan cekatan di rumah sakit membolak-balikkan tubuh mayat untuk diisi dengan es di pembaringan mayat. Menjajarkan kepala, lengan, kaki, atau potongan tubuh lain untuk diisi dengan es; menabur bubuk kimia bantuan pemerintah Australia agar tak busuk. Lalu tubuh-tubuh itu diberi nama, agar para keluarga mudah mengenalinya. Ini, sekali lagi, adalah petunjuk bahwa nurani masih ada di sini. Ribuan masyarakat Bali yang hanyut dalam keterharuan menghadiri upacara Pemlebeh Pemrayasita Durmanggala di lokasi kejadian. Ini contoh kebersamaan yang syahdu. Kidung duka menyayat. Berbagai penduduk dan pendatang dari berbagai agama ikut bergabung dalam upacara yang dimaksudkan untuk pembersihan secara niskala atma para korban. Mereka ingin para arwah tenang. Pada tanggal 15 November kelak, sebuah upacara yang lebih besar akan dilakukan. Dan kita, dari mana saja, dari agama apa saja, bila mampu, silakan datang ke Bali untuk bersama-sama menghikmati. Hari-hari ini, Bali—yang selama ini disebut surga di dunia—dan kita semua di belahan lain di Indonesia, berusaha kuat untuk menegakkan kepercayaan diri. Jalan-jalan dan isi Kuta beringsut-ingsut akan pulih jika kita mendorongnya untuk hidup. Mungkin kehidupan malam itu, turis-turis yang bermandikan matahari di pasir pantai Kuta itu, papan selancar itu, raungan deru motor besar itu, goyang dansa, dan bau anggur yang membelah malam itu, masih merupakan "kemarin" yang mendadak terhenti. Mungkin. Untuk meniupkan napas kehidupan itu, kita bukan hanya butuh uang, investasi, dan sarung Bali, tetapi sebuah kepercayaan dan kekuatan hati yang tetap. Kita tahu terorisme bukan hanya berdiri di ambang pintu, tetapi dia sudah melangkah masuk ke pekarangan rumah, merangsek ke beranda dan melakukan tindakan absurd apa pun yang tak bisa diterima oleh nurani dan akal sehat. Kita bersama harus mencegah agar ia tidak berkeliaran lebih jauh ke kamar-kamar, mengudal-udal isinya. Karangan bunga itu, upacara itu, kidung itu, lilin-lilin itu, adalah tanda simpati sekaligus ikrar kita bersama. Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus