Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sel Nirbaya Terbuka Lagi?

Peraturan pemerintah tentang antiterorisme ditetapkan. Kenapa begitu buru-buru?

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sel Nirbaya Terbuka Lagi? Peraturan pemerintah tentang antiterorisme ditetapkan. Kenapa begitu buru-buru? -------------------------------------------------------------------------------- KONFERENSI pers itu sangat tak biasa. Berlangsung di Istana Negara, Jakarta, acara itu digelar pukul 00.30 Sabtu kemarin, saat orang sedang tidur nyenyak di akhir pekan. Di tengah malam buta itulah, setelah diadakan pembahasan selama delapan setengah jam dalam rapat kabinet terbatas, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya mengumumkan sebuah beleid yang waswas dinanti banyak kalangan. Itulah: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) Anti-Terorisme. Lebih tak biasa lagi, peraturan baru ini ternyata diterbitkan dalam dua bentuk. Yang satu bernomor 1/2002, bertajuk "Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme". Satunya lagi, Perpu 2/2002, benar-benar "luar biasa" karena ternyata khusus diterbitkan untuk memberlakukan mundur Perpu 1/2002 dalam penyidikan dan penuntutan bom Bali yang meledak sepekan sebelumnya—satu hal yang berada di luar kelaziman hukum. Menurut sumber TEMPO di Istana, kesibukan di tengah malam buta itu berkait langsung dengan pembicaraan telepon Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, sehari sebelumnya. Kamis pekan lalu, melalui sambungan internasional berdurasi 20 menit, Mega meyakinkan Tuan Bush bahwa peraturan antiterorisme sudah disusun dan akan ditetapkan segera. Karena itulah, kata sumber itu lagi, sidang kabinet pada hari Jumat itu dikebut untuk mengejar target yang telah dijanjikan. Tanda-tandanya sudah tampak sejak awal minggu. Ketika itu, usai bertemu Duta Besar Amerika Ralph L. Boyce, adalah Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil yang pertama kali melansir niat pemerintah mengesahkan peraturan pengganti undang-undang ini. Percepatan itu jelas dipicu bom Bali. Sebelum ratusan turis terkapar di Kuta, draf Rancangan Undang Undang (RUU) Anti Terorisme sebenarnya sudah akan dikirim ke Istana, untuk kemudian disorongkan ke parlemen. Namun, dalam kondisi begini, perdebatan panjang dan berliku di Senayan terang dinilai kelewat lama. Sedangkan Presiden Bush telah secara terbuka menyatakan "ketidaksabarannya menunggu langkah Mega menindak teroris". Karena itulah jalan pintas diambil: menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Untuk memuluskannya, Ketua DPR Akbar Tandjung dan tiga wakilnya, A.M. Fatwa, Soetardjo Soerjogoeritno, dan Tosari Widjaja, dilibatkan dalam pembahasan. Sejatinya, peraturan pengganti undang-undang ini bukan barang baru. Isinya adalah adonan lama yang diambil dari draf keenam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. "Kami hanya mengadakan penyesuaian," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Peraturan Perundang-undangan Kehakiman, Abdul Gani Abdullah. Naskah RUU, kata Menteri Yusril, sudah dipersiapkan instansinya sejak awal 1999. Namun, karena ditentang banyak kalangan, pembahasan sempat tertunda. Draf itu baru kembali dibolak-balik setelah tragedi WTC meledak dan tuntutan melahirkan UU Antiterorisme kian kuat. Apalagi, senyampang dengan itu, muncullah Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 1373 Tahun 2001 tentang kerja sama internasional yang luas untuk mengawasi perkembangan terorisme dan membuka akses finansial jaringan teroris. Dalam pembahasannya, berbagai kelompok juga telah dimintai masukan. Salah satunya adalah Ketua Umum Front Pembela Islam, Muhammad Rizieq Shihab, yang kini ditahan polisi. Rizieq pernah serius membubuhkan berbagai koreksi. "Isinya perlu diperbaiki. Terorisme jangan hanya dibatasi pada tindakan perseorangan atau korporasi, tanpa menyentuh terorisme dari aparatur negara dan pemerintah," kata Rizieq. Ini memang dilema. Di satu sisi, tragedi Bali, bom Natal, dan banyak peledakan lainnya, menunjukkan fakta tak terbantahkan bahwa teror memang nyata-nyata telah melanda negeri ini. Dan karenanya, aparat mesti diberi kewenangan yang lebih untuk memeranginya. Simaklah kesulitan di lapangan yang digambarkan seorang perwira antiteror. Tanpa peraturan baru ini, katanya, data intelijen yang didapat dari penyadapan, misalnya, tak mungkin diterima pengadilan. Selain digolongkan ilegal, kaset rekaman tak bisa diterima sebagai bukti. "Jadinya, meskipun data sudah di tangan, kami cuma bisa jadi penonton," ujarnya. Di sisi lain, banyak kalangan waswas beleid ini bakal kembali membuka pintu buat kesewenang-wenangan aparat, khususnya militer. Menurut Ketua Perhimpunan Bantuan Hak Asasi Manusia, Hendardi, para pengambil kebijakan terlalu terburu-buru menetapkannya, padahal mental aparat belum siap. "Kebijakan jalan pintas seperti ini berpotensi mengancam hak asasi manusia dan demokrasi," katanya. Guru besar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Profesor Sri Soemantri, juga menyuarakan hal serupa, "Saya khawatir Perpu ini dijadikan dasar untuk melakukan represi. Ini kontraproduktif." Tak berlebihan, memang, jika orang lantas teringat mimpi buruk UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversif. Diadopsi dari Penetapan Presiden (PNPS) Sukarno, beleid yang membolehkan penahanan selama satu tahun tanpa proses pengadilan ini lalu dipakai Soeharto untuk membungkam lawan-lawan politiknya. Korban bertebaran. Dari ustad, kaum komunis, hingga Sukarnois. Mulai dari politisi, peneliti, mahasiswa, sampai jenderal. Dua di antaranya bahkan kini merupakan tokoh penting Republik: Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan suami Presiden Megawati sendiri, Taufiq Kiemas. Penetapan presiden itu juga bahkan telah menjadi senjata makan tuan. Penghuni pertama Nirbaya, penjara yang khusus dibangun Bung Karno untuk menampung tahanan politik yang dijerat melalui beleid itu, adalah Sutardhiyo, yang dituding merupakan antek komunis. Ironisnya, Sutardhiyo adalah Jaksa Agung di era Sukarno dan arsitek pasal-pasal karet itu. Dalam peraturan antiterorisme tersebut, elastisitas ala PNPS itu pun bertebaran. Salah satu yang paling disorot adalah Pasal 26 ayat 1, yang memungkinkan laporan intelijen dijadikan bukti awal untuk melakukan penangkapan. "Apakah laporan intelijen bisa dipercaya? Saya khawatir bakal terjadi penyalahgunaan wewenang lagi," kata Munarman, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Masa penahanan juga dimolorkan dari biasanya. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menetapkan di tingkat penyidikan tersangka hanya boleh ditahan paling lama 110 hari, atau tak lebih dari 200 hari sampai perkara diputus pengadilan negeri. Sedangkan peraturan baru ini membolehkan penyidik menahan orang yang dicurigai hingga enam bulan—sama dengan ketentuan USA PATRIOT Act (Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism), undang-undang antiterorisme Amerika yang disahkan tahun 2001 lalu. Janganlah dulu khawatir, kata Dirjen Abdul Gani. Menurut dia, setiap penahanan yang didasarkan laporan intelijen harus mendapat penetapan pengadilan negeri terlebih dahulu. "Jadi, tidak sembarangan seperti zaman Orde Baru dulu," kata guru besar hukum Islam ini. Tapi justru di sinilah muncul komplikasi lain. Penetapan hakim model itu berlandaskan pada sistem hukum Anglo Saxon, seperti di Amerika Serikat. Di negeri ini, yang berkiblat ke sistem Eropa Kontinental, metode itu bukan hanya tak dikenal, tapi juga tak memiliki basis hukum. Anehnya, buat pemerintah ini bukan soal benar. "Kita ambil yang bermanfaatnya saja, deh," kata Abdul lagi. Menurut dia, itu merupakan akumulasi masa penahanan yang diperlukan supaya penyidik tak perlu bolak-balik minta izin hakim. Menteri Yusril juga buru-buru menepis berbagai suara miring itu. Ia menjamin pemerintah akan sekeras-kerasnya berupaya agar penerapan peraturan pengganti undang-undang ini tak memunculkan berbagai ekses pelanggaran hak asasi. Ia juga membantah tudingan sementara pihak bahwa peraturan ini buru-buru dikeluarkan supaya aparat bisa segera menangkapi tokoh berhaluan keras semacam Abu Bakar Ba'asyir, Rizieq Shihab, atau Ja'far Umar Thalib. "Keliru," kata Yusril menegaskan, "perpu ini tak dimaksudkan pada orang per orang atau kelompok tertentu, tapi ditujukan kepada siapa saja pelaku terorisme." Ahmad Taufik, Nezar Patria, Dede Ariwibowo -------------------------------------------------------------------------------- Klausul Elastis Pasal 25 ayat 2 Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama enam bulan. Pasal 26 Ayat 1 Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen. Ayat 2 Proses pemeriksaan dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama tiga hari. Pasal 30 Boleh menabrak peraturan kerahasiaan bank dan transaksi keuangan lainnya. Pasal 31 Boleh membuka surat, memeriksa, menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya. Penyidik berhak menyadap pembicaraan telepon atau alat komunikasi lainnya. Sumber: Perpu Anti-Terorisme

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus