Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandar Udara Hussein Sastranegara, Bandung, Minggu pagi, 13 Oktober. Sekelompok wartawan mengerumuni Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, di ruang tunggu VIP. Masih memakai baju akhir pekannya—kemeja kotak-kotak sportif dengan jaket luar berwarna abu-abu terang—wajah Yudhoyono murung seperti langit di ambang hujan. Jumpa pers pada Minggu pukul setengah delapan pagi? Ini memang situasi darurat.
Selepas subuh hari itu, telepon sang Menteri berdering. Kabar dari seberang sana membuat Yudhoyono langsung mengucapkan istigfar: pada Sabtu malam, 12 Oktober, bom meledak di daerah hiburan yang penuh padat di kawasan Legian, Kuta. Jantung wisata Bali itu tiba-tiba mengalirkan darah dalam arti harfiah. Nyawa-nyawa melayang dalam hitungan detik, dan rumah sakit sesak oleh tubuh manusia yang berbau anyir. ”Saya menyatakan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada para korban dan keluarganya,” ujarnya dengan suara bergetar di hadapan para reporter Bandung.
Beberapa hari kemudian, dalam pertemuan dengan TEMPO di Jakarta, Yudhoyono sudah lebih menguasai diri saat mengatakan hal ini: ”Saya amat terpukul. Tolong Anda tulis ini tebal-tebal: cukup sudah. Enough is enough. Keselamatan kita sebagai bangsa tidak akan terjamin kalau kejahatan luar biasa ini terus kita biarkan tumbuh.”
Yudhoyono boleh dikata salah satu anggota kabinet yang paling sigap merespons tragedi bom Bali. Dia terbang ke Jakarta dari Bandung pada Minggu pagi lalu, beberapa menit setelah jumpa pers. Meluncur ke kediaman Presiden Megawati, dia ikut dalam ”rapat darurat”, untuk kemudian bersama beberapa koleganya terbang ke Bali bersama Presiden. Sepanjang pekan silam, dia tiga kali bolak-balik ke Denpasar. Bahkan info yang beredar di kalangan wartawan menyebut, adalah Yudhoyono—bersama rekannya Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla—yang justru jauh lebih aktif memandu jalannya pertemuan hari Minggu di kediaman Presiden, sebelum rombongan itu berangkat ke Bali. ”Itu tidak benar. Presiden yang memimpin dan kami aktif memberi kontribusi,” Menteri Yudhoyono membantah kabar tersebut.
Latar belakang militernya membuat Yudhoyono mahir mengatur kecepatan dalam keadaan darurat. Tapi kecepatan itu seolah berbanding terbalik dengan sikapnya menghadapi media massa: tak mudah dipikat dengan pancingan-pancingan pertanyaan, dan cenderung formal dalam menjawab pertanyaan. Toh peristiwa Bali dan tudingan bahwa pemerintah Indonesia terjebak oleh skenario Amerika yang mengaitkan terorisme dengan Islam agaknya sempat mencairkan emosi Yudhoyono. ”Sudah seratus kali lebih saya jelaskan bahwa terorisme tidak ada kaitannya dengan Islam. Percayalah, pemerintah tidak sebodoh itu langsung mencurigai Islam,” ujarnya kepada TEMPO.
Dalam sebuah jumpa pers di Jakarta pada Rabu pekan silam, Menteri Yudhoyono membenarkan bahwa memang ada warga Indonesia yang dulu lama menetap di Singapura dan Malaysia menjadi pemimpin dan pengurus organisasi Jamaah Islamiyah. Dia menyebut nama almarhum Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba’asyir, dan Hambali. ”Tapi apakah organisasi itu ada di Indonesia? Tidak ada,” ujarnya.
Yudhoyono memang diberondong wartawan dengan pertanyaan seputar perintah penangkapan Abu Bakar Ba’asyir. Selama ini pihak Barat menganggap pemerintah Indonesia tidak cukup serius memberantas terorisme internasional. Padahal mereka yakin bahwa organisasi Jamaah Islamiyah yang dipimpin Abu Bakar Ba’asyir sebagai bagian dari jaringan Al-Qaidah. Ba’asyir, yang dianggap bersalah oleh pemerintah AS dan sekutunya, tidak diusik oleh pemerintah Indonesia. Dan kini, pemerintah menyetujui perintah penangkapan Ba’asyir setelah Kuta bersimbah darah. ”Jangan semuanya dikaitkan dengan bom Bali,” kata Yudhoyono.
Bom Bali adalah ujian yang amat krusial bagi pemerintah Indonesia. Apakah pemerintah mampu menangani masalah di lapangan dengan baik? Seberapa hebat tekanan Barat kepada pemerintah? Sejauh mana penyelidikan ini telah berlangsung? Selama satu jam di kantornya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat pekan lalu, Yudhoyono menjawab semua pertanyaan itu kepada wartawan TEMPO Adi Prasetya, Bina Bektiati, dan Hermien Y. Kleden.
Berikut ini petikannya.
Kapan Anda pertama kali mendapat kabar peledakan bom Bali?
Hari Minggu setelah subuh. Saat itu saya berada di Bandung. Segera setelah mendengar kabar itu, saya langsung berkomunikasi dengan Panglima TNI (Jenderal Endriartono Sutarto), Kepala Kepolisian RI (Jenderal Da’i Bachtiar), Menteri Kesehatan (Achmad Suyudi), Gubernur Bali (Dewa Made Beratha), serta beberapa pihak lain.
Anda langsung membuat jumpa pers di Bandara Hussein Sastranegara pada hari itu. Mengapa tidak langsung terbang ke Bali setelah itu?
Saya ingin langsung ke Bali, tapi Presiden Megawati menginginkan kita berkumpul dulu. Maka pesawat yang menjemput saya di Bandung segera kembali ke Jakarta. Kami berkumpul untuk rapat. Presiden sendiri yang memimpin.
Sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, apakah Anda tidak bisa langsung mengambil langkah yang diperlukan, mengingat ini keadaan darurat?
Menteri koordinator tidak punya wewenang komando, hanya wewenang koordinatif. Juga, tidak punya otoritas untuk mengambil langkah-langkah operasional tanpa setahu presiden. Jalur koordinasi harus melalui presiden dan wakil presiden.
Sebagai jenderal militer, Anda pasti paham betul situasi darurat. Apa yang paling perlu dalam situasi genting seperti ini?
Kecepatan. Ketika semua orang mengalami disorientasi, tidak tahu apa yang harus dilakukan, seorang pemimpin harus segera tampil dan bertindak serta menetapkan agenda mana yang harus didahulukan dan mana yang bisa ditunda.
Kecepatan? Kami mendapat kabar, Presiden Megawati justru ingin menunda pengumuman itu hingga hari Senin.
Memang, waktu itu kami membahas kapan sebaiknya Presiden mengumumkan hal itu: sebelum berangkat atau setelah kembali dari Bali. Saya berpendapat Ibu Megawati harus segera mengumumkannya (dan Presiden mengumumkannya pada hari Minggu—Red.)
Publik mengkritik sikap Presiden Megawati saat mengumumkan peristiwa itu, seperti tanpa libatan emosi terhadap tragedi tersebut. Apa komentar Anda?
Kita harus memahami gaya Ibu Mega dalam berkomunikasi dengan publik. Kita tidak boleh punya prasangka bahwa dengan body language seperti itu, lantas Ibu Mega dianggap tidak concern. Saya kira itu tidak adil. Namun saya bisa mengerti jika masyarakat punya kritik seperti itu.
Bisa Anda ceritakan suasana rapat pada hari Minggu itu?
Ketika saya sampai di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat (kediaman resmi Presiden Megawati), sudah ada sejumlah menteri. Kerangka konferensi pers sudah disiapkan. Saya dimintai pendapat tentang beberapa hal menyangkut teks bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Saya katakan, substansinya sudah oke dan saya setuju untuk segera diumumkan.
Siapa saja anggota kabinet yang hadir dalam pertemuan itu?
Waktu itu ada Menteri Koordinator Perekonomian (Dorodjatun Kuntjoro-Jakti) Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Jusuf Kalla), Menteri Luar Negeri (Hassan Wirajuda), dan Panglima TNI. Kapolri tidak hadir karena sudah ada di lokasi. Tadinya saya berencana berangkat bersama Kapolri.
Kami mendengar soal begitu pasifnya Presiden dalam rapat itu sehingga Anda dan Menteri Jusuf Kalla yang jauh lebih berinisiatif untuk memandu jalannya sidang. Apa betul?
Tidak. Saya tidak suka memanipulasi suatu kejadian. Presiden memimpin sidang dan kami aktif memberi kontribusi. Bahwa saya aktif mengambil peran, itu karena portofolio saya. Tapi sudahlah. Itu dinamika dalam sebuah pengambilan keputusan pemerintah.
Banyak kalangan mengkritik pemerintah karena dianggap terlalu lamban. Di mana titik-titik yang lamban itu?
Sebenarnya sistem ini terus bekerja dengan efektif. Ada tugas yang ditangani pemerintah pusat, ada yang didistribusikan ke daerah. Seperti damage control adalah tugas satuan daerah: gubernur, dinas kesehatan daerah, atau kepolisian daerah. Pemerintah pusat mendukungnya. Saya harus angkat topi tinggi-tinggi kepada putra-putri Bali yang amat responsif, tulus, dan efektif, dalam melakukan langkah-langkah awal yang tepat.
Oke, itu pemerintah daerah. Bagaimana dengan pemerintah pusat?
Dengan sendirinya pemerintah pusat mengambil alih persoalan bom Bali, karena dampaknya yang amat luas, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, maupun keamanan.
Secepat apa sebetulnya pemerintah kita bekerja? Dibandingkan dengan kecepatan Amerika menangani tragedi 11 September, misalnya?
Situasinya berbeda. Media massa jauh lebih ketat mengikuti perkembangan situasi di AS karena yang menjadi korban adalah sebuah pusat dunia yang amat penting. Apa yang dilakukan bangsa Amerika dilihat secara langsung dari jam ke jam, menit ke menit. Di sini, apa yang kita lakukan tidak dilihat sedetail itu. Tapi langkah-langkah dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tidak terlambat.
Dalam sidang kabinet yang lain lagi, benarkah Anda bertengkar dengan Wakil Presiden Hamzah Haz karena Wakil Presiden menyebut intelijen kita lemah dan no action talk only?
Saya punya pemahaman tentang etika. Dalam sebuah sidang kabinet, amat mungkin terjadi perbedaan pendapat dan persepsi. Dalam konteks itu, hal ini menjadi wajar. Itulah yang terjadi pada waktu itu. Tapi lebih bagus masalah ini tidak diperpanjang. Tujuan kami semua kan sama: agar pemerintah efektif dalam memerangi terorisme.
Tapi soal bom Bali memang ada yang berpendapat begini: Badan Intelijen Negara (BIN) kita tidak mampu memasok informasi yang akurat.
Tidak benar jika dikatakan Badan Intelijen Negara tidak melakukan apa-apa. Tidak benar juga kalau lembaga intelijen kita disebut mandul. Selama ini mereka menginformasikan kepada pemerintah perihal ancaman terorisme, anatomi teroris di dalam dan luar negeri. Di sidang kabinet dan banyak forum lain saya katakan, jangan kita saling menyalahkan tapi harus bahu-membahu.
Apa saja yang diinformasikan oleh BIN kepada pemerintah soal terorisme?
Umar al-Faruq dan Sayamreda, misalnya. Informasi ini kita bahas di rapat tentang politik dan keamanan, kemudian kita sinkronkan dengan kepolisian, intel, dan imigrasi. Jadi, BIN memberikan kontribusi data-data intelijen kepada pemerintah dan pemerintah melakukan langkah-langkah koordinasi selanjutnya untuk mencegah dan menangkal terorisme.
Informasi apa yang disampaikan BIN dalam kasus bom Bali?
Khusus soal bom Bali, terus terang, BIN memang tidak memberikan data intelijen dini. Tapi saya tidak suka kalau BIN dianggap nol. Selama ini BIN telah mengangkat banyak hal mengenai ancaman terorisme. Dan tidak betul juga kalau BIN dianggap mengetahui semua permasalahan di negeri ini.
Apakah Duta Besar AS Ralph L. Boyce menelepon Anda sehari setelah peledakan Kuta, dan meminta agar Bali ditutup dulu?
Tidak pernah ada telepon ataupun pembicaraan seperti itu.
Inilah informasi yang kami terima: Anda mengatakan kepada Boyce bahwa menutup Bali adalah wewenang pemerintah daerah.
Clearly negative. Sama sekali tidak ada. Mengapa saya langsung ingin ke Bali sebelum dipanggil ke Jakarta? Mengapa Kapolri langsung ke lokasi, juga sebelum dipanggil ke Jakarta? Karena kita melihat magnitude persoalan ini sudah mencapai skala nasional.
Kapan terakhir Anda bertemu Duta Besar Boyce?
Saya bertemu Duta Besar Boyce sebelum tragedi Bali. Dan saya baru bertemu lagi dan berbicara dengan dia tadi malam (Kamis malam, 17 Oktober—Red.).
Boleh kami tahu apa inti pembicaraan Anda berdua?
Saya katakan kepada Duta Besar Boyce soal pengiriman tim investigasi Indonesia ke Pakistan untuk menginterogasi Umar al-Faruq. Saya juga mengatakan, ”... setelah mendapatkan hasil dari tim itu dan berdasarkan informasi intelijen yang kami miliki, kami akan melangkah ke depan.”
Maksudnya bagaimana?
Artinya, jika temuan itu menguatkan data intelijen yang telah kita miliki dan menunjukkan ada keterlibatan orang-orang Indonesia dalam aksi terorisme, (pemerintah) akan mengambil tindakan hukum.
Bukankah tim investigasi Indonesia ke Pakistan telah pulang?
Tim investigasi memang sudah kembali. Dan Kapolri telah melapor kepada saya bahwa data intelijen yang kita terima sebelumnya positif. Maka Indonesia akan melakukan langkah hukum terhadap WNI yang diduga terlibat dalam aksi terorisme.
Mengirim tim investigasi ke Pakistan itu apakah untuk menunjukkan bahwa pemerintah tidak mau ditekan oleh hasil intelijen pihak Amerika?
Tapi saya katakan berkali-kali bahwa kita memerlukan legalitas dan legitimasi dalam sistem kita. Ketika sistem kita mengatakan ya, diminta atau tidak kita akan menjalankannya.
Sejumlah media asing menulis, Badan Intelijen Amerika (CIA) telah menginformasikan kepada Perdana Menteri John Howard tentang bom Bali. Apakah pemerintah Indonesia mendapat informasi yang sama?
Saya mengerti bahwa ada pemberitaan mengenai lembaga intelijen kita yang gagal memberi tahu pemerintah. Atau bahwa pemerintah kita telah mendapat peringatan dari lembaga intelijen namun mengabaikannya. Tapi bisa saya pastikan bawa pemerintah kita tidak mendapat warning intelijen tentang serangan bom di Kuta.
Seberapa besar tekanan dunia luar, terutama AS, kepada kita dalam penanganan terorisme?
Tekanan tentu saja ada. Semua harus jujur mengakui. Bukan hanya dari Amerika, tapi juga dari Singapura, Malaysia, Filipina, PBB, dan negara-negara lain. Tapi Indonesia melaksanakan apa yang sudah menjadi resolusi PBB sesuai dengan sistem kita: Indonesia akan bertindak jika sudah memiliki informasi intelijen yang sahih dan memenuhi dasar hukum kita.
Apakah penahanan Abu Bakar Ba’asyir juga buah dari tekanan pihak Barat—AS, tepatnya—kepada pemerintah Indonesia?
Kalau pemerintah selemah itu, mengapa Indonesia harus mengirim tim investigasi ke Pakistan? Mengapa pemerintah kita harus memastikan apakah betul Faruq memberikan kesaksian seperti itu? Mengapa tidak kita terima saja masukan dari AS bahwa Ba’asyir adalah bagian dari teroris internasional? Jangan Anda pikir Amerika senang dengan apa yang kita lakukan kemarin. Barangkali Amerika menganggap kok Indonesia ini tidak percaya dengan hasil investigasi mereka.
Tapi Anda mengerti mengapa pertanyaan penahanan Ba’asyir ini muncul?
Mengerti. Saya amat mengerti. Banyak wartawan di Denpasar menanyakan hal itu. ”Pak, apa ini akan ditangkap semua: Abu Bakar Ba’asyir, Habib Rizieq. Lalu Ja’far Umar Thalib membubarkan Laskar Jihadnya, dan seterusnya.…” Saya jawab, tunggu dulu! Apa karena ada peledakan di Kuta itu terus semua kejadian harus dihubungkan dengan bom Bali? Saya katakan ini terpisah sama sekali. Habib Rizieq ditahan karena hubungannya dengan beberapa aksi kriminal. Ja’far Umar diduga kuat melakukan hasutan di Maluku. Bahwa kemudian dia membubarkan laskarnya, itu tidak ada urusannya dengan pemerintah dan bom Bali.
Oke. Tapi bagaimana dengan Ba’asyir? Apakah perintah penangkapannya adalah karena kaitan dengan kasus bom Bali?
Saya tidak ingin prematur dan mendahului hasil investigasi kepolisian mengenai Saudara Abu Bakar Ba’asyir. Kita serahkan saja kepada polisi biar nanti lebih gamblang.
Amerika dan Australia terkesan tidak sabar sehingga merasa perlu turun tangan sendiri dalam menangani aksi terorisme di Bali. Apa komentar Anda?
Saya senang dengan pertanyaan ini. Begini. Saat di Denpasar kemarin, saya mendapat laporan tentang kritik yang muncul di Australia, yang menyatakan kok lama sekali proses identifikasi korban bom Bali? Tapi, setelah dokter-dokter dan polisi Australia datang, mereka paham bahwa luka bakar total serta sejumlah kondisi lain yang menyebabkan identifikasi korban tidak bisa secepat yang dibayangkan. Ada aspek legalnya segala, yang kalau salah dampaknya amat besar.
Di Sydney, 14 Oktober lalu, Perdana Menteri John Howard mengatakan Australia meminta pemerintah Indonesia agar bekerja cepat dalam mengungkap kasus ini.
Dalam pertemuan dengan saya saat berkunjung ke Indonesia kemarin, Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer berkunjung ke kantor saya. Tidak ada permintaan atau tekanan apa pun.
Apakah Downer meminta ”jatah khusus” bagi Australia yang bergabung dalam tim penyelidik internasional yang menelisik kasus bom Bali?
Tidak satu kata pun. Dan tidak ada permintaan agar mereka lebih banyak mendapat otoritas atau agar tim mereka lebih banyak berperan. Terorisme itu kan jaringannya global. Jadi, masing-masing negara punya informasi tentang siapa yang paling mungkin terlibat dalam peledakan bom di Bali.
Ada arus besar yang mengaitkan terorisme dengan Islam—yang disebut sebagai skenario Amerika. Anda tidak khawatir kita terjebak dalam hal ini?
Barangkali sudah seratus kali saya jelaskan bahwa tidak ada kaitan antara terorisme dan Islam. Brigade Merah di Italia agamanya kan bukan Islam. Brigade yang melakukan kekerasan di Jepang agamanya bukan Islam. Percayalah, pemerintah tidak sebodoh itu langsung mencurigai Islam. Kalau begitu, sama saja dengan saya mencurigai diri sendiri dan sanak saudara saya.
Bagaimana langkah-langkah pemulihan pasca-teror di Bali?
Dalam jangka pendek, tentu saja akan berat. Tapi cepat tidaknya citra itu pulih, terpulang kepada kita sendiri. Kalau ke depan kita serius memerangi terorisme serta memulihkan keadaan di Bali dan semua pusat wisata kita, dunia akan melihat Indonesia telah melaksanakan langkah yang tepat dan serius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo