Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amerika Serikat, musim panas 2005. Para juragan News International yang bernaung di bawah bendera News Corporation (News Corp) milik Rupert Murdoch tengah bertemu. Ada perihal serius yang mesti mereka bahas: bisnis media tengah suram, dan perolehan iklan anjlok melulu. Hal itu tak hanya dialami News Corp saja, tapi juga nyaris semua pemain media di sana.
Tiba-tiba Murdoch melontarkan gagasan yang membikin kening semua peserta rapat berkerut. "Sudah saatnya kita kembali terlibat dalam bisnis internet," katanya. Ini mengejutkan karena mereka pernah gagal di bisnis internet.
Sepuluh tahun lalu, atas inisiatif Murdoch, News Corp membangun dotcom khusus investasi, bernama ePartners. Baru setahun berjalan, portal itu harus ditutup karena prospeknya tak menjanjikan. Untungnya, hasil bisnis koran yang saat itu tengah bersinar dapat menutup kerugian ratusan juta dolar yang digunakan untuk membangun portal tersebut.
Kini, setelah kegagalan itu Murdoch tiba-tiba ingin kembali ke internet. Wajar jika sebagian besar peserta rapat langsung menolak. "Kita tidak mungkin melakukan itu," kata seseorang. Sang Baron tak sudi gagasannya ditolak. "Apa maksudnya kita tidak bisa? Tentu saja kita bisa," kata Murdoch.
Memang tak ada yang bisa menghentikannya. Sebulan kemudian News Corp mengakuisisi MySpace.com, sebuah situs jaringan yang tengah naik daun. Harganya sungguh edan, US$ 580 juta (Rp 5,2 triliun). Dia lalu juga membeli Scout.com, situs yang berisi kegiatan olahraga universitas.
Cakarnya terus bekerja. Murdoch juga mencengkeram IGN Entertainment-situs hiburan dan video games-dengan kompensasi US$ 650 juta (Rp 5,85 triliun) pada September 2005. Dan kabarnya, News Corp masih mencadangkan dana hingga US$ satu miliar untuk terus membeli situs-situs lain sampai lima tahun ke depan.
Agresivitas Murdoch melecutkan kritik. Sir Martin Sorrell, Chief Eksekutif WPP Grup, perusahaan jasa komunikasi terbesar di dunia berbasis di London, menjuluki Murdoch "willy nilly"-asal beli, tanpa pertimbangan. Tetapi Murdoch membantah. "Saya tidak membeli MySpace terlalu mahal," ujarnya.
Yang membuat Murdoch tegar adalah keyakinannya bahwa dunia media tengah berubah. Orang muda sekarang jarang membaca koran. Pemilik broadband-jumlahnya 35 persen dari warga Amerika- menurutnya, lebih suka nongkrong di depan komputer: menonton televisi on-line, mengunduh DVD baik legal maupun ilegal, chatting, atau membuat blog.
"Saya tidak yakin ada pembaca di bawah 30 tahun yang peduli pada iklan di koran sekarang," ujar Murdoch dalam wawancara khusus dengan Press Gazette, tahun lalu. "Dengan broadband mereka melakukan hampir semua transaksi on-line."
Dia tak asal bicara. Tanda-tandanya sudah terlihat. Media on-line di AS kian perkasa setelah mampu menyerobot jatah iklan koran dan TV. Menurut Marlin & Associates, perusahaan penasihat media, pada 2004 iklan on-line mencapai US$ 9,6 miliar (Rp 87,4 triliun). Jumlah tersebut melonjak menjadi US$ 13 miliar (Rp118 triliun) tahun lalu dan diperkirakan terus naik. (baca: Jaya di Jagat Maya).
Dan tangan midas Murdoch mulai menunjukkan hasilnya. MySpace yang dulu "hanya" menghasilkan sekitar US$ 20 juta (Rp 182 miliar) per tahun, sukses mengeruk US$ 200 juta (Rp 1,8 triliun) tahun lalu. Tentu ini belum sebanding dengan ongkos benah-benah yang dikeluarkan News Corp untuk mempercantik MySpace. Tapi perolehan 10 kali lipat dari angka sebelumnya adalah permulaan yang bagus.
Kini, dengan pengakses yang terus meningkat-bulan lalu mencapai 100 juta orang-MySpace menjadi salah satu situs terpopuler di AS bersama Yahoo!, Google, MSN, dan Ebay. The Observer memperkirakan nilai MySpace kini sudah US$ 3 miliar (Rp 27 triliun), naik lima kali lipat dibandingkan ketika dibeli setahun lalu.
Primadona baru di jagat maya itu terus bersolek. Bau dolar pun kian menyengat di sekitar MySpace. Beberapa produsen besar seperti Coke, Pepsi, Procer & Gamble, melamar jadi klien-nya. Dan masih banyak lagi yang antre. Selain dari iklan, Murdoch berharap harumnya dolar dari kegiatan menjajakan produk-produk News Corp secara on-line, dari musik hingga hingga film, melalui MySpace.
Murdoch kini bisa sedikit jumawa. Dalam sebuah konferensi pers di Arizona, Januari lalu, dia memproyeksikan pendapatan News Corp dalam bisnis on-line akan mencapai US$ 350-400 juta pada 2007!
Tentu saja US$ 400 juta untuk situs yang baru dibisniskan seperti MySpace dan kawan-kawannya itu, adalah target yang ambisius. Banyak yang bertanya bagaimana cara mencapainya? Belum terjawab pertanyaan itu, News Corp kembali membuat orang ter-nganga. Bulan lalu, mereka mengumumkan Google setuju membayar MySpace US$ 900 juta (Rp 8,1 triliun) untuk mengelola jasa pencarian di MySpace pada 2007-2010.
Tetapi tidak berarti segala sesuatunya sudah beres. Masih banyak yang harus dilakukan oleh Murdoch dan News Corp. Misalnya, menaikkan nilai jual iklan di home page MySpace. Saat ini pengiklan seperti Honda, Unilever, dan Wendy's, hanya membayar sekitar US$ 100 ribu per hari. Padahal di Yahoo, iklan yang sama bernilai US$ 600 ribu.
Tetapi itu tak membuat Murdoch khawatir. Baginya MySpace adalah unggulan baru yang sangat menjanjikan. Tugasnya sekarang adalah membesarkan "si bungsu" itu agar kian menarik. "Kami akan terus bekerja keras agar segala sesuatu berjalan sesuai rencana," ujarnya.
Philipus Parera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo