Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Kerajaan Ikan di Kaimana

Hasil penelitian yang mengukuhkan Kepala Burung sebagai bentang ikan terkaya di bumi dirilis, pekan lalu.

25 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rekor itu pecah di Tanjung Papisol. Inilah sebuah jazirah di Kaimana, pantai berpasir putih di Papua yang pernah menjadi inspirasi lagu yang dipopulerkan oleh Alfian 40 tahun silam. Di situlah, di bawah laut yang biru bening, dunia bakal terbelalak menyaksikan 330 jenis ikan berbagi rumah di area seluas lapangan sepak bola ini.

Kabar lainnya tak kalah heboh: Kepala Burung di Papua menambah koleksi ikan menjadi sekitar 1.500 spesies, seratus jenis lebih banyak dari pesaing terdekatnya, Great Barrier Reef di Australia. Maka, genaplah alasan untuk memberi gelar perairan ini sebagai bentang terkaya di muka bumi.

Kekayaan di bentang laut Kepala Burung itu ditemukan sejumlah ahli dari Conservation International Indonesia, WWF Indonesia, Universitas Negeri Papua, dan pemerintah. Pekan lalu Tempo mendapat hasil penelitian mereka pada Februari, April, Mei 2006. Mengejutkan, sekaligus menerbitkan waswas.

Gerald R. Allen, anggota tim dari Western Australian Museum, yang menemukan ibu kota kerajaan ikan Tanjung Papisol. Tiga puluh tahun ia telah menyelam, menulis lebih dari 20 buku tentang ikan, dan menerbitkan ratusan tulisan ilmiah, tapi tetap saja ia terbelalak. Padahal, ia pula yang menemukan penyandang rekor sebelumnya. Yakni, ceruk Kepulauan Kayoa, Halmahera, yang setiap hektarenya dihuni 303 jenis ikan.

”Kami terjun ke pusat kerajaan ikan,” ujar Ketut Sarjana Putra, Direktur Kelautan Conservation International Indonesia, kepada Tempo.

Terletak di pantai selatan Kepala Burung, Tanjung Papisol cuma salah satu pusat kerajaan. Bentang laut Fakfak-Kaimana di selatan, Raja Ampat di barat, dan Teluk Cenderawasih di utara adalah tempat tinggal 75 persen makhluk karang dunia.

Di tengah kerusakan ekosistem laut di seluruh Indonesia, ini kabar menyenangkan. Mungkin bukan berita gembira terakhir. ”Rekor ini mungkin bisa pecah lagi, mengingat belum semua lokasi di bentang itu diselami,” ujar Ketut.

Kekayaan ikan di bentang itu sudah disisir sejak dua abad lalu. Tapi pekerjaan tersebut tidak habis-habisnya. Alkisah, di Raja Ampat dan Waigeo, beberapa kapal Prancis, termasuk L’Uranie (1818-1819), La Coquille (1823), dan L’Astrolabe (1826), membuang sauh. Saat itu, 70 spesies ikan dicatat dari wilayah ini. Tapi ekspedisi besar ke perairan itu memang baru pada 2001, bermula di Raja Ampat. Masalahnya—dan inilah yang membikin waswas—rekor ini bisa jadi tak pernah terpecahkan lagi.

Bentang laut itu telanjang tanpa perlindungan. Dari total 18 juta hektare, baru 11 persen yang menjadi wilayah konservasi. Ekspedisi membawa kabar gembira bahwa kerusakan akibat ulah manusia masih rendah, namun karya pengebom sudah dijumpai. ”Di masa yang akan datang, ancaman kelihatannya makin nyata,” ujar Ketut.

Uang punya kuasa. Sedangkan wilayah ini kaya luar biasa. Ancaman kepunahan tentu saja akan selalu ada.

Pertama, mari kita tengok kekayaannya di darat. Setiap tahun dari Papua diekspor 300 ribu meter kubik kayu merbau hasil pembalakan liar. Akan ada masanya tanah yang sudah telanjang itu terkikis hujan, masuk sungai dan terbawa ke muara. Jika saat itu datang, karang bisa sekarat karena sedimen yang tak tertanggungkan.

Kedua, lihatlah di laut. Pemerintah tengah mengkaji pemindahan sebagian nelayan dari wilayah lain di Indonesia ke wilayah ini. Bagi Ketut, itu kabar buruk karena ”wilayah ini belum terlindungi”.

Rencana itu juga membikin Bupati Kabupaten Raja Ampat prihatin. ”Sudah seharusnya kekayaan dimanfaatkan. Tapi, jika harus ada transmigrasi nelayan, kirimkan mereka yang menghargai pentingnya kelestarian,” ujar Markus Wanma kepada Tempo.

Mark V. Erdmann, pemimpin ekspedisi ini, menghitung risiko rencana transmigrasi itu. Menurut dia, banyak bukti mendukung hipotesis bahwa bentang Kepala Burung merupakan sumber bibit ikan untuk perairan lain. ”Ada indikasi bahwa ketika ikan memijah di wilayah ini, telur dan larvanya dibawa arus hingga ke Pasifik Barat,” ujar Erdmann.

Studi genetika juga menunjukkan, ikan besar komersial seperti cakalang, tenggiri, kakap, dan garopa dari wilayah ini bertalian darah dengan populasi ikan sejenis di Pasifik Barat maupun Laut Banda. Jadi, kalau Kepala Burung dihabisi oleh penangkapan ikan, masih menurut Erdmann, ”Habis semua, tidak ada lagi!”

Ketiga, pulau-pulaunya. Raja Ampat adalah kawasan yang terdiri dari 1.500 pulau hijau tanpa tanah secuil pun. Pohon-pohon itu berdiri di atas kapur. Jika ditebang, hilang selamanya. ”Pulau-pulau itu fragile. Sekali ditebang, habis sudah,” kata Ketut.

Bisa saja pohon itu tumbuh lagi. Namun tunggu jutaan tahun, sebab sejarah bumi di wilayah ini terbentang hingga 14 juta tahun silam.

Inilah cerita tentang bumi Papua yang terpelintir akibat gerakan kulit bumi, hingga dari satelit terlihat seperti pusaran air. Gara-gara terus dipuntir, selama belasan juta tahun, Teluk Cenderawasih tiga kali tertutup oleh pulau-pulau di mulut teluk. Kini sisa proses itu bernama Pulau Yapen, yang masih memblokir sekitar setengah mulut Teluk Cenderawasih.

Pada masa lalu, ada pulau yang lebih panjang menyumbat seluruh teluk, hingga hubungan dengan Samudra Pasifik terputus. Ketika itu teluk menjadi danau air garam, memaksa makhluk hidup di dalamnya berevolusi atau—yang tak sanggup—punah. Setelah 1 sampai 2 juta tahun terisolasi, ketika makhluk di dalamnya sudah berubah menjadi spesies baru, mulut teluk terbuka lagi. Ketika itu spesies anyar buatan Teluk Cenderawasih keluar dan menyebar hingga ke sudut-sudut Pasifik.

Tidak mengherankan, bentang ini menjadi tempat banyak spesies ikan dan karang yang tak ada di tempat lain. Beberapa makhluk tak sampai menjadi spesies baru, namun pola dan variasi warnanya sudah berbeda dibanding sepupunya di tempat lain. Bahkan beberapa karang yang di tempat lain hanya ada di laut dalam, di wilayah ini tumbuh di tempat dangkal.

Setiap penyelaman menjadi pelesiran ke ibu kota kerajaan ikan. Di Fakfak, satu dari setiap dua lokasi ekspedisi adalah pusat kota ikan, dengan rata-rata spesies per hektare 215,8. Di Teluk Cenderawasih lebih jarang, satu dari tiap tiga lokasi penyelaman, dengan rata-rata jenis ikan 173,8. Jumlah rata-rata jenis ikan per hektare di Raja Ampat masih lebih besar, 284, tapi inilah uniknya bentang ini: masing-masing tak berdiri sendiri. Raja Ampat-Teluk Cenderawasih-Fakfak-Kaimana berbagi spesies.

Menurut Mark, bentuk perlindungan yang terbaik untuk bentang laut Kepala Burung yang satu sama lain saling tergantung adalah membuat jejaring kawasan konservasi, dari Kaimana hingga ke Teluk Cenderawasih. Kawasan mana yang tepat, belumlah ditetapkan. ”Harus diteliti dulu, karena mesti dipastikan seperti apa konektivitas habitat di bentang Kepala Burung itu,” ujar Ketut.

Tanda-tanda baik sudah muncul. Departemen Kehutanan dan Departemen Kelautan telah berjanji menggelar kajian lanjutan tentang kawasan konservasi di bentang ini. Tapi wilayah ini menuntut lebih dari sekadar janji, karena terlalu cantik, dan terlalu kaya.

Naiklah ke puncak Pulau Wayog di kawasan Raja Ampat—tak jauh dari garis khatulistiwa. Jangan khawatir, tingginya cuma 37 meter. Lalu tebarkan pandang ke pantai. Tak perlu keberuntungan untuk melihat pari manta—pari terbesar di dunia—berenang bersama lumba-lumba, ikan paus sperma, dan penyu.

Di bawah pulau itu—dan 1.500 pulau lain di perairan Raja Ampat—logam nikel telah menunggu untuk ditambang.

Yosep Suprayogi

Teman Baru Nemo

Kawan-kawan Nemo—inilah jagoan kita, sang ikan karang dalam film Finding Nemo (2003)—kini bertambah. Dalam ekspedisi ke perairan di sekitar kepala burung, Papua, pada Februari, April, dan Mei lalu, para peneliti menemukan puluhan spesies baru. Ada setidaknya 10 jenis udang mantis, 22 jenis ikan, dan 42 jenis karang yang baru pertama kali terlihat. Berikut ini beberapa di antara penghuni eksotis itu:

Belum diberi nama

Spesies dari famili Astreopora. Diyakini sebagai mata rantai yang hilang antara genus Acropora (karang bercabang) dengan genus Astreopora (karang dengan polip berbentuk bintang).

Panjang: Koloni bisa mencapai 80 cm

Kedalaman: 2-5 m

Lokasi: Teluk Cendrawasih

Pomacentrus sp.

Badan abu-abu, beberapa strip kecil biru di kepala, dan satu bintik hitam dengan lingkaran biru di bagian belakang atas tubuh.

Panjang: 1-4 cm

Lokasi: Teluk Cendrawasih

Kedalaman: 30-50 m

Cirrhilabrus cenderawasih

Tubuh merah mudah dengan strip kuning di tengan badan, sirip biru dan beberapa ”noda hitam” di bawah sirip atas.

Panjang: 2,5-5 cm

Kedalaman: 20-50 m

Lokasi: Teluk Cendrawasih

Pseudochromis sp.

Badan warna ungu dengan strip kuning dari mulut ke sirip atas

Panjang: 1-2,5 cm

Lokasi: Teluk Cendrawasih

Kedalaman: 35-50 m

Paracheilinus walton

Sirip atas yang putih dengan 4 ”duri panjang”, badan orange, dan sirip bawah/ekor biru.

Panjang: 2,5-4 cm

Lokasi: Teluk Cendrawasih

Kedalaman: 40-50 m

Meiacanthus sp.

Badan putih, dengan dua strip hitam dari mulut sampai ekor, dan satu strip kuning/hitam di atas.

Panjang: 2-3 cm

Lokasi: Teluk Cenderawasih

Kedalaman: 10-20m

Pterocaesio sp.

Badannya tipis dengan strip kuning yang agak lebar di tengah badan, tapi strip tidak sampai ke kepala.

Panjang: 7-14 cm

Kedalaman: 5-30 m

Lokasi: Teluk Cenderawasih

Hiu yang berjalan kaki

Nama ilmiahnya Hemiscyillum freycineti. Hiu ini mencari makan dan berpindah tempat dengan "berjalan kaki" memakai sirip bawahnya.

Hanya jika takut ikan ini berenang. Belum jelas mengapa hiu berbadan ramping dan berbintik-bintik hitam ini berevolusi hingga akhirnya "berjalan kaki" ketimbang berenang.

Boleh jadi karena makanannya kepiting, kerang dan siput yang bergerak lambat. Tapi mungkin pula karena melimpahnya sumber pakan sehingga ia tak perlu mengejar-ngejar makanan.

Panjang: 80-120cm. Kedalaman 5-8 m. Lokasi Fak-fak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus