Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Burma, isolasi yang terkikis

Burma di bawah pemerintahan otoriter jenderal ne win menganut politik menutup diri dari dunia luar. berfalsafah sosialisme khas burma. penduduknya mayoritas miskin dan berada dalam pengawasan.(sel)

1 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG perempuan muda penjual nanas dengan tenang naik ke sebuah feri yang singgah di Mandalay. Tak peduli pada lalu lintas feri yang sibuk, ia menaruh barang dagangannya di geladak. Dengan gerak tak mencolok, diulurkannya tanannya ke dalam keranjang dan dikeluarkannya segenggam bunga yang masih kuncup. Ditiupnya setiap kuncup agar mekar, dan dipasangnya untuk menghias buah-buah nanas yang tersusun di lantai kapal. Kuntum yang terakhir, dengan spontan, dipasangnya di rambutnya yang hitam. Sejak dahulu kecantikan wanita Burma memang sudah terkenal. Dan ketika Barbara Crossette dari The New York Times mengunjungi negeri itu, daya pesona wanita Burma tampaknya belum berubah. "Bahkan wanita dari kalangan yang paling miskin pun mempunyai keistimewaan dalam merancang dan mengenakan busana mereka yang sederhana untuk penampilan mereka," kata R.G. Talbot Kelly, pelukis dan penulis perjalanan di awal abad ini. Kalimat yang dikutip Crossette itu juga mengemukakan pujian: "Rakyat negeri ini memiliki kecantikan yang begitu halus, sehingga alam sendiri tampak dipercantik oleh kehadiran mereka." Dan seorang wanita Burma yang memperoleh didikan Barat menjelaskan segi lain kepada Crossette. "Bagi orang Burma," katanya, "penampilan adalah upaya membuktikan cita rasanya, sekaligus martabatnya." Sejak memperoleh kemerdekaannya dari tangan Inggris pada 1948, rakyat Burma punya gambaran berbeda-beda tentang situasi politik negeri mereka. Sebagian terbesar setuju bahwa sesudah terlepas dari genggaman Inggris, secara psikologis, sosial, dan ekonomi mereka tak ingin lagi dominasi asing. Tepatnya, tak mau lagi Westernisasi. Mereka ingin mengembangkan seluruh sumber kekayaan yang melimpah di Burma dengan cara mereka sendiri. Sekarang, hampir 38 tahun setelah merdeka, mereka masih tetap menanti kesempatan membangun suatu bangsa menurut citra mereka sendiri. Di bawah pemerintahan Jenderal Ne Win yang otoriter dengan birokrasi militer yang xenophobic, yang mengurung rapat negara itu dari segala pengaruh luar, orang Burma merasa bahwa mereka sebetulnya dihantui dunia luar. Peristiwa-peristiwa kecil yang menyedihkan, sekaligus lucu, menjadi ilustrasi pada situasi mereka. Dua sarjana lulusan Universitas Rangoon yang menawarkan diri sebagai pemandu wisata, misalnya, ternyata tak tahu banyak tentang negerinya. Ketika Crossette menanyakan hari puasa orang Budha dan hari suci Waso, seorang dari mereka menjawab, "Maaf, kami tak tahu. Kalau hari-hari pesawat luar datang kemari, kami tahu." Syukurlah, meski mengisolir rakyatnya dari pengaruh luar, pemerintah Burma selama satu dasawarsa ini telah meningkatkan persahabatannya dengan sejumlah negara lain, termasuk Amerika Serikat, Jerman Barat, Australia, dan Jepang. Rangoon juga mengembangkan hubungannya dengan Cina, negara yang perubahan politik ekonominya terlihat dari jarak dekat oleh rakyat Burma. Pemerintah Burma menganggap komunisme internasional sebagai ancaman yang membahayakan, walaupun negeri itu menerapkan falsafah sosialisme dengan longgar. Anggapan itu, setidak-tidaknya, masih terdapat pada para pejabat angkatan tua. Pemberontakan terbesar dan paling lama mengacaukan Burma adalah pemberontakan komunis. Selama 15 tahun terakhir ini hubungan Burma dan Uni Soviet menjadi makin dingin. Di bawah falsafah negara "Jalan Sosialisme Burma", 36 juta rakyat ini merasa benar-benar bergantung pada para tetangganya di Asia -- yang telah memilih jalan industrialisasi dan perekonomian pasar bebas. Dengan kondisi miskin dan berada dalam pengawasan, mereka kini menjalani kehidupan sehari-hari yang menuntut akal daya yang panjang. Banyak di antara mereka mempunyai keahlian dan siap untuk bekerja, tetapi menganggur, kata wartawan ini. Seperti halnya penduduk negara miskin yang lain, rakyat Burma memberikan reaksi atas kemiskinan itu dengan memilih jalan-jalan yang tidak resmi. Mereka menciptakan suatu sistem menurut cara mereka sendiri, suatu metode penyelamatan simbiotis, yang, menurut Crossette, menarik untuk disimak. Wartawan itu menjumpai kebiasaan menyodorkan amplop kecil alias tindakan pungli kepada pegawai negeri untuk memperlancar urusan. Ngobyek di kalangan orang pemerintah, baik legal maupun ilegal, menyebabkan kehidupan birokrasi tetap berjalan lancar. Pasar gelap pun sudah menjadi gaya hidup. Di luar Pagoda Shwedagon, bagian paling suci Kota Rangoon, seorang laki-laki setengah baya mengunjukkan bungkusan kecil kepada para turis. Di dalamnya ada sejumlah batu jade dan rubi. "Supaya saya bisa pergi ke Muangthai untuk belanja kemeja dan suku cadang mobil saya," katanya terus terang. Pada hari yang lain, Crossette menjumpai seorang pria yang lebih tua berbaju katun dan mengenakan longyi, sarung Burma. "Semua yang di tubuh saya ini berasal dari perbatasan," katanya dengan nada memelas. "Dulu, kalau orang mengetuk pintu rumah dan menawarkan barang, saya usir. Saya pikir itu barang curian. Tapi sekarang saya membeli tanpa bertanya-tanya lagi -- saya tak tahu kapan lagi ada kesempatan seperti itu." Sekitar pukul 8.15 pagi di jalan raya kota. Sebuah mobil hitam mulus melaju, tanpa sirene. Semua jendelanya tertutup, menyembunyikan wajah penumpangnya di balik tirai putih. Seluruh kendaraan lain berhenti. "Presiden," kata sopir taksi yang ditumpangi si wartawati. "Kami harus berhenti. Kalau tidak, SIM saya bisa dicabut." Iring-iringan mobil presiden yang ditumpangi San Yu itu mungkin bisa memberi gambaran tentang masa depan Burma. San Yu, 67, saat ini mengambil alih tugas-tugas seremonial kepresidenan dari Ne Win dan itu dilakukannya sejak empat tahun yang lalu. Kendati demikian, San Yu tampaknya tak bisa memamerkan diri sebagai tokoh yang memegang peran penting. Ia sebetulnya tak memiliki banyak kekuasaan, sebab kekuasaan hanya ada di tangan Ne Win, Ketua BSPP (Burma Socialist Program Party), satu-satunya organisasi politik yang sah di Burma. Ne Winlah satu-satunya penentu keputusan. Nasib San Yu berubah sejak musim panas tahun lalu, ketika BSPP menyelenggarakan kongresnya yang ke-5. Dalam kongres itu Ne Win memilih San Yu untuk menduduki pos baru, Wakil Ketua Partai. Bagi para pengamat, tindakan Ne Win itu dianggap agak mengejutkan. Dari para diplomat di Rangoon, Crossette mendapatkan gambaran tentang San Yu. Pria ini diduga pernah kena pengaruh sosialisme ala Soviet, tetapi sekarang ini tak jelas kuantitas ideologinya. Ada yang menyebut pria ini sebagai seorang yang "loyal dan berkarakter tak jelas". Tetapi si pengamat juga menambahkan bahwa barangkali justru itu yang diinginkan Ne Win. Sang Ketua tak ingin terjadi perebutan kekuasaan bila ia kelak tiada. Nasib yang menimpa Brigjen Tin Oo, kepala sekuriti dan inteligen sampai tahun 1983 dan pernah dianggap sebagai calon pengganti Ne Win, kini sering diingat kembali oleh orang-orang Burma dan juga para pengamat asing. Tin Oo kini mendekam di penjara karena dituduh menyelewengkan uang negara. Tetapi seorang diplomat menduga, pria itu sebetulnya dianggap melakukan upaya memantapkan kedudukan politiknya, yang merupakan ancaman bagi Ne Win. Cerita ini merupakan ilustrasi saja. San Yu, seorang jenderal terkemuka dan kepala staf angkatan bersenjata, dikenal sebagai orang yang punya disiplin keras oleh orang-orang di dekatnya. Dalam kehidupan politik sehari-hari ia tampaknya tetap tak mengurangi gaya disiplin kaku yang biasa diterapkannya dalam dunia militer itu. Sikapnya yang otokrat dan jauh dari humor itu menjadi sumber frustrasi dan kejengkelan bagi sejumlah orang Burma, terutama mengingat adanya laporan-laporan yang layak dipercaya tentang peran istri San Yu dalam suatu skandal korupsi, yang melibatkan urusan real-estate dan penyalahgunaan material konstruksi milik Pemerintah. San Yu telah menjadi simbol semua hak-hak istimewa yang tak bisa dibenarkan bagi suatu kasta militer, yang menjijikkan bagi orang-orang yang memiliki kultur tradisional, terpelajar, dan antikekerasan. Dari rumah sakit militer yang eksklusif dengan alat-alat medis dari Barat yang melimpah, sampai mobil-mobil luar negeri dan toko-toko khusus yang menyediakan barang-barang mewah di wilayah yang merupakan satu bangsa termiskin di dunia. Di pihak lain, Ne Win, meskipun ditakuti di dunia internasional, adalah seorang putra bangsa yang baik dari generasi tokoh kemerdekaan, yang memperjuangkan kemerdekaan sejak 1930 sampai 40-an. Gambaran sebagai tokoh kemerdekaan inilah yang diangkatnya. Sejak Burma belum merdeka, Ne Win sudah mengambil alih pucuk pimpinan kekuatan bersenjata. Dan sejak itu pula ia menonjolkan diri sebagai ketua sementara pemerintah militer Burma, yang dipegangnya dari 1958 sampai 1960. Sesudah mengalami masa yang tak menentu dan berselisih dengan Perdana Menteri U Nu -- seorang tokoh yang dinilai terlalu banyak mengkhayal dan tidak tegas -- Ne Win berusaha mengatur kembali Burma yang terpecah belah dan menjadikannya negara yang strategis dan ekonomis. Ne Win menggeser kedudukan U Nu pada 1962 dan sejak itulah di Burma tak pernah ada lagi pemilihan secara demokratis. Seorang pengasingan Burma di Bangkok, yang bukan pendukung pemimpin Burma yang sekarang, berkomentar, "Yang harus Anda ketahui, Ne Win telah mengembalikan rasa bangga orang-orang Burma." Tetapi pendapat itu ditanggapi oleh seorang diplomat yang telah lama bertugas di Burma, dengan ucapan, "Saya tak tahu apakah ada yang setuju dengan penilaian itu. Yang jelas, Ne Winlah yang mengembalikan wilayah penting kepada orang-orang Burma. Karena itulah, barangkali, ia terpilih menjadi presiden, seandainya ada suatu pemilihan yang bebas." Sesudah Perang Dunia II, tentara Burma di bawah pimpinan Ne Win berhasil menumpas pemberontakan di pinggiran Rangoon, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok politis dan kelompok-kelompok etnis. Ketika itu, peperangan itu nyaris menghancurkan Burma. Meskipun huru-hara itu berlanjut, terjadi agak jauh dari Delta Irrawaddy, daerah pertanian yang subur di negeri itu. Orang-orang Burma yang menduduki pucuk pemerintahan merupakan kelompok etnis mayoritas. Kelompok etnis yang lain, Karen, Shan, Kachin, Arakanese, dan sebagainya, membentuk tentara mereka sendiri. Peperangan melawan tentara kelompok-kelompok etnis itulah yang kemudian secara tidak langsung -- mendorong terbentuknya golongan militer Burma, yang juga menghadapi pemberontak komunis. Setelah pemberontakan kelompok etnis teratasi, kini yang masih harus dihadapi adalah gerilyawan BCP (Burma Communist Party), yang kini sudah terdesak sampai ke perbatasan Cina di Timur Laut. Di masa lalu, BCP -- yang mendapat dukungan finansial dari Cina, menimbulkan problem besar bagi Ne Win. Lebih besar daripada problem dengan Uni Soviet. Tapi backing Cina terhadap BCP kini sudah tak ada lagi. Buktinya, sebuah stasiun radio BCP yang berkantor di Provinsi Yunan kini sudah tak mengudara lagi. Tampaknya hal itu ada hubungannya dengan kunjungan para pemimpin Burma ke Cina, termasuk Ne Win sendiri. Kunjungan Ne Win ke Cina dianggap langkah penting untuk mendapatkan legitimasi terhadap kedudukannya sebagai ketua partai. Secara tradisional Peking memang lebih menghargai ikatan antarpartai, dan sudah lama mereka membina hubungan dengan BCP, bukan dengan BSPP. Tampaknya sikap Peking berubah, terbukti dengan kunjungan Presiden Cina Li Xiannian ke Burma pada Maret tahun lalu. Menurut para pengamat, Rangoon sebetulnya sedang berusaha memetik keuntungan dari rencana Cina untuk melakukan serangan besar-besaran ke ladang candu di perbatasan. Konon, ladangladang candu itulah yang menjadi sumber dana bagi para gerilyawan di Timur Laut. Menurut laporan-laporan di Rangoon, para penerbang Burma sudah selesai menjalani latihan di Amerika Serikat untuk misi pemberantasan tanaman candu di negaranya. Sejumlah mahasiswa dalam dan luar negeri yang mempelajari politik dan pemberontakan di Burma, menyatakan pikiran mereka kepada Crossette. Mereka berspekulasi bahwa Vietnam -- dengan atau tanpa Uni Soviet mungkin akan menggantikan peran Cina dalam mendukung BCP. Kendati demikian, tak ada bukti-bukti yang mendukung teori ini. Orang-orang Vietnam sendiri sedang berjuang untuk meningkatkan ekonomi mereka dan kini telah melebarkan sayap militernya ke Kamboja. Para pemberontak suku Karen di perbatasan mengatakan kepada para reporter bahwa Hanoi sedang berusaha mempengaruhi Rangoon, bukan mendekati pemberontak BCP. Kunjungan pemimpin Burma ke Cina, bagaimanapun, mendapat perhatian istimewa dari para pengamat politik. Mereka menduga-duga, apakah Ne Win dipengaruhi Deng Xiaoping? Pemimpin Cina itu kini merupakan tokoh besar bagi sebagian pemimpin negara-negara di Asia Tenggara karena kemampuannya melakukan analisa yang pragmatis terhadap masalah-masalah ekonomi negaranya dan juga karena keputusan-keputusannya yang berani untuk membenahinya. Toh tak ada komentator Burma maupun diplomat berpengalaman di Burma yang mampu menebak apakah Ne Win sekarang ini mampu atau ingin mengikuti langkah Deng. "Laki-laki itu tak mempunyai inteligensia seperti Deng," ujar seorang diplomat kepada si wartawati. Dasar falsafah ekonomi Burma terbentuk selama gerakan anti-kolonial dilakukan oleh para pemimpin Burma generasi pertama, sekitar tahun 30-an. Karenanya, yang berbentuk adalah suatu falsafah ekonomi sosialis yang samar-samar, yang dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Marxist dan Fabian, yang sangat membutuhkan peraturan-peraturan baru. Bagi para pemimpin tersebut, teori-teori itu cocok dengan kenyataan di sekitar mereka. Dalam masa sebelum perang, kapitalisme di Burma berbentuk eksploitasi oleh bank-bank Eropa, pengusiran-pengusiran oleh tuan tanah asing dan utang-utang kepada para pedagang Cina serta rentenir-rentenir uang India. Ketika Ne Win berkuasa, gagasan-gagasan perekonomian tersebut dikodifikasikan! sering kali dengan cara yang penuh kontradiksi, ke dalam dua dokumen. Yang pertama, jalan Sosialisme Burma, dan yang kedua, Sistem Hubungan Manusia dan Lingkungannya. "Manusia berperanan paling besar" merupakan semboyan yang didengungkan BSPP. Tetapi prakteknya lain dengan semboyannya, tulis Crossette. Pejabat militer dengan pendidikan minim dan tanpa pengalaman menduduki pucuk pimpinan lembaga-lembaga penting. Campur tangan negara di setiap bidang perekonomian, termasuk nasionalisasi perdagangan besar, meminta korban. Men jelang akhir 60-an, perekonomian Burma mengalami keadaan yang -- menurut analisa para ahli -- sangat kacau-balau. Pada 70-an, Burma mulai membenahi perekonomiannya. Sejumlah perusahaan yang "ke kiri-kirian", yang berhaluan keras dan yang bertanggung jawab atas pengaturan yang kaku, disingkirkan. Pengaruh Soviet berakhir sudah. Meskipun Rusia tetap membuka kantor diplomatiknya di Rangoon, para pengamat berpendapat, hubungan kedua negara itu menjadi dingin karena Rusia tak mampu membantu mengembangkan perekonomian seperti yang diinginkan Ne Win. Mungkin juga, karena terbukti saran-saran Rusia hanya menimbulkan kerugian. Burma kemudian memalingkan mukanya kepada Jerman Barat, Jepang dan -- dalam skala kecil -- Amerika Serikat. Negara itu juga mulai meningkatkan hubungannya dengan lembaga-lembaga internasional, seperti bank-bank pembangunan dan peminjaman. Ekonomi Burma tumbuh, tetapi negara ini toh tidak lepas dari luka-luka yang ditimbulkan oleh resesi dunia. Dan pada bulan Agustus yang lalu, dalam kongres kelima BSPP, pemerintah Burma menyatakan kepada rakyatnya bahwa dalam membangun negara mereka akan lebih banyak melakukan kerja sama dengan negara lain. Proses kerja sama itu, menurut para diplomat, berlangsung sangat lamban. Keberhasilan dalam proyek-proyek industri, pertanian dan jasa serta pembangunan prasarana, bergantung pada kontak-kontak pribadi dengan para pejabat kementerian. Padahal, mereka ini tidak semuanya profesional dan cenderung bercuriga. Proses pengambilan keputusan untuk proyek-proyek kerja sama itu juga kebanyakan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Di sebuah restoran di Strand Hotel, Rangoon, Crossette sempat menguping pembicaraan antara seorang pengusaha Inggris dan seorang pria Burma. "Karena Anda tidak memberi tahu saya sebelumnya!" teriak si pengusaha yang berpakaian perlente itu dengan marah, memecahkan suasana tenang saat makan siang di hotel itu. "Kami sudah melangkah jauh dan baru sekarang saya tahu tentang yang tiga persen itu!" * * * Pengangguran tampaknya jadi masalah pula di Burma. Contohnya U Hla Soe, 28, seorang dokter muda, yang tercatat sebagai satu di antara sejumlah kaum muda Bunna yang kehilangan kesempatan untuk berkembang karena sistem dalam negara itu tak dapat menyerap tenaganya. Setelah menghabiskan waktu delapan tahun untuk menempuh pendidikan tinggi, ia bekerja di sebuah fakultas Universitas Rangoon selama setahun, dengan jabatan akademis terendah. Gajinya hanya 50 dolar per bulan dan itu tidak cukup untuk menunjang hidupnya. Akhirnya Hla Soe meminjam uang 6.250 dolar kepada seorang temannya, seorang mahasiswa teknologi komputer di negara yang tak mempunyai komputer. Uang itu dibelikan sebuah mobil bekas buatan Amerika. Dengan mobil itu Hla Soe setiap hari mencari penumpang dan sebagai sopir taksi ia bisa mengharapkan uang 90 sampai 120 dolar per bulan. Uang itu sebagian dipakainya untuk menyokong orangtuanya. Ayahnya seorang pensiunan dan dalam masa ketika harga-harga membubung, sumbangan Hla Soe akan membuat mereka "hidup dengan cara seperti yang selama ini selalu kami lakukan," katanya. Tetapi Soe tetap berniat untuk kembali ke universitas, rumah bagi kaum intelektual, jika ada kesempatan. Barang-barang buatan luar negeri menjadi pusat perekonomian tak resmi Burma, yang diimpor secara legal maupun ilegal. Burma memang kekurangan dalam hampir semua komoditi. Negeri itu sebenarnya tidak memproduksi barang-barang mewah. Barang-barang impor masuk dengan dua cara. Yang biasa ditempuh adalah rute penyelundupan. Atau bisa juga dengan cara menjadi distributor dalam perdagangan besar. Batuan berharga, logam, kayu jati, tembaga, dan bahkan ternak, keluar dari Burma melalui perbatasan yang kurang pengawasan dan dikuasai para koruptor atau pemberontak. Di beberapa tempat, pemberontak melakukan usaha penyelundupan pula serta memungut pajak dari penyelundup lainnya. Opium dan heroin mengalir keluar melalui jalur yang sama. Benda-benda itu ditukar dengan mata uang asing yang mempunyai nilai tetap dan barang-barang lain. Ada juga yang menukarnya dengan jasa pelayanan gigi dari Muangthai. Jalur ekspor gelap ke Muangthai ini sampai sekarang terus berlangsung dengan aman, menurut cerita para pedagang kepada Crossette. Dan jalur ke Muangthai ini pula yang menjadi sumber barang-barang di pasar gelap. "Mula-mula kami naik perahu ke Moulmein," kata seorang wanita bertubuh ramping yang tak punya pengalaman berjuang. "Kemudian kami ke sebuah desa yang takberapa jauh. Disana ada sejumlah gajah yang bisa membawa kami melintasi gunung. Perjalanan menyeberang itu makan waktu sekitar 17 jam. Kami membawa bekal 4.000 kyat, yang nilainya sekitar 500 dolar. Separuh dari jumlah itu untuk orang-orang Karen yang menjaga perbatasan, separuhnya lagi untuk orang Thai. O, ya, beberapa menit sebelum melintasi perbatasan, kami harus mengganti pakaian kami dengan pakaian Muangthai, yaitu celana jeans dan T-shirt serta kaca mata hitam. Dari sana kami naik bis ke Bangkok. Kami pulang dengan cara yang sama, tapi tak perlu membayar lagi, tak ada masalah. Mereka yang tak ingin kembali lagi -- ada yang melakukan itu, tetapi tak banyak -- bisa membeli sebuah paspor Thai dan pergi ke mana dia suka." Tentara Burma kini dengan aktif berusaha menutup jalur penyelundup yang melewati desa-desa yang dikuasai orang-orang Karen. Tetapi selalu saja ada jalur baru dan semakin banyak pula barang-barang yang masuk ke Burma, dari Singapura atau Kepulauan Penang yang masuk wilayah Malaysia, menggantikan produk-produk buatan Muangthai. Sekarang ini, jarang sekali warga Burma yang minta izin bepergian ke luar negeri. Dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu, seorang warga bisa kembali ke negerinya dengan membawa barang-barang luar secara sah, meskipun terbatas jumlahnya. Tak heran bila seorang pelaut mendapat tempat terhormat dalam masyarakat Burma. "Biasanya wanita-wanita muda bercita-cita menikah dengan dokter atau pria profesional, tetapi gadis sekarang kebanyakan berharap bisa menikah dengan pelaut," gurau seorang ibu di suatu pesta. Para pelaut pula yang mengubah wajah Kota Rangoon, yang lalu lintasnya dikuasai mobil-mobil Amerika buatan tahun 50-an. Setelah ada peraturan, yang mengizinkan seorang pelaut membawa satu mobil per tahun dari luar negeri, keadaan pun berubah. Mereka kini senang membawa pickup atau truk besar dari pelabuhan Kobe, untuk diubah menjadi bis-bis pribadi. Sebuah bis mini di Kota Rangoon bertuliskan "Kobe Irrawaddy Trading Co. Ltd". Pemerintah Burma berusaha membatasi jumlah mobil sedan dan kendaraan bermotor roda dua. "Silakan duduk di tempat yang teduh," kata seorang pendeta kepada tamu yang datang ke biara di Sagaing. "Apakah Anda membawa buku?" Biarawan itu seorang sarjana, juga guru, yang telah tinggal hampir 20 tahun dalam biara dan pagoda-pagoda di kota itu. Biara itu berhadapan dengan Sungai Irrawaddy, di barat daya Mandalay. Di Sagaing kini bermukim lebih dari 5.000 orang biarawan dan biarawati. Para biarawan mengenakan jubah merah atau kuning tua, biarawati berjubah oranye atau warna buah persik yang pucat. Budhisme memang telah merasuk dalam kehidupan sehari-hari di pusat wilayah Burma itu. Biarawan itu dengan cepat menerima sebuah map dari tangan seorang wanita. Ia membuat isyarat-isyarat kecil yang sebetulnya terlarang. Di biara Muangthai, sikap seperti itu dianggap pelanggaran berat. Tetapi biarawan itu mengatakan kepada Crossette bahwa peraturan di biara Burma herbeda dengan di Muangthai. Di negara-negara Asia Tenggara yang lain, Sri Lanka dan Muangthai, yang menganut aliran Budha Theravada, kegiatan dalam biara sudah diwarnai dengan politik dan praktek keagamaan dilakukan bagi suatu kelas yang lebih tinggi derajatnya. Di Burma, Budhisme diajarkan di satu dari dua sekolah dasar dan tampak lebih akrab dan bersahaja. Sejumlah sarjana menganggap keadaan ini sebagai tanda kelemahan atau kemunduran agama di bawah pemerintahan militer. Yang lain berpendapat, merupakan cerminan egalitarianisme dan peri kemanusiaan, yang membedakan orang Burma dari bangsa-bangsa lain. Biarawan yang dijumpai Crossette senang sekali membicarakan kesulitan yang dihadapinya agar intelektualitasnya tetap terjaga. Toko-toko buku tak punya persediaan yang cukup, katanya. Buku-buku yang diinginkannya, kalau ada, harganya sangat mahal. Beberapa orang Barat yang pernah mengunjungi Sagaing ada juga yang mengirimkan bahan bacaan untuknya, tetapi hanya sedikit yang sampai ke tangannya. "Para pegawai pos mencuri buku-buku itu untuk dijual lagi," katanya. Seperti kebanyakan orang Burma yang lain, biarawan itu juga bebas berbicara tentang kediktatoran pemimpin militer di negerinya. "Pemerintah tahu, mereka tak bisa menegur kami. Biarawan akan melawan. Tetapi pemerintah mengawasi kebebasan para biarawan seperti mereka mengawasi kebebasan warga yang lain. Sulit bagi kami untuk bepergian. Saya pernah diundang ke Sri Lanka untuk belajar bahasa Singhalese, agar saya bisa mempelajari buku-buku Budha mereka. Tapi permohonan saya ditolak. Saya juga tak bisa ke India, tempat ziarah yang diimpikan oleh setiap penganut Budha." "Sekolah kami kehilangan murid," katanya menambahkan, "sebab para orangtua takut kalau-kalau anak mereka tidak bisa diterima di sekolah negeri dan mereka tidak akan mendapatkan pekerjaan." Pagoda dan biara tetap menjadi tempat penghibur bagi anak-anak miskin, yang tak mampu membayar 15 sampai 20 dolar setahun di sekolah-sekolah umum. Perbandingan-perbandingan yang menyakitkan hati timbul bila orang membicarakan Muangthai. Hal itu bermula sejak zaman dahulu, ketika raja Burma menjarah Ayutthaya pada abad ke-18. Ibu kota Kerajaan Siam itu terpaksa dipindahkan ke Bangkok, yang dianggap aman dari serangan orang Burma. Kini Muangthai maju pesat. Bagi orang Burma, hal itu dirasakan menyakitkan hati, sebab mereka merasa lebih beradab dan menguasai diri. "Kami mungkin membutuhkan pengawasan pemerintah di sini," kata seorang wartawan. "Tapi kami tak butuh teman mesum dari Muangthai itu." Yang dimaksud oleh si wartawan tentunya sejumlah WTS Thai, yang muncul dengan pakaian mereka yang minim. Orang Burma merasa malu atas kehadiran mereka. Konon, wanita-wanita penghibur itu didatangkan oleh orang-orang Jerman Barat atau kontraktor asing lain yang bekerja di proyek-proyek pemerintah. Beberapa wanita Thai itu dapat dijumpai berkeliaran di lobi Inya Lake Hotel, sebuah bangunan Rusia yang sebetulnya tidak cocok untuk udara tropis. Bangunan itu didirikan pada abad ke-19 oleh pemerintah kolonial Inggris. "WTS-WTS itu mengejutkan penjaga hotel," kata seorang pemandu wisata. "Kalau turis yang muncul tanpa busana, keamanan hotel bisa menyuruh mereka masuk ke ruangan lain dan minta agar mereka menutup tubuhnya. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa terhadap WTS-WTS. Orang-orang Jerman itu 'kan di sini hadir sebagai penasihat pemerintah." Pemerintah Ne Win sendiri sebetulnya tidak menganjurkan orang-orangnya untuk bersahabat dengan orang-orang asing. Turis, misalnya, hanya mendapat izin mengunjungi Burma 7 hari. Semula izin itu malah hanya 24 jam dan kemudian diperpanjang sampai 3 hari, sekarang boleh 7 hari. Orang-orang Burma umumnya senang berbicara tentang kenyataan-kenyataan, seperti politik ekonomi Cina, terorisme di dunia, dan kualitas kehidupan di tempat lain. Mereka keranjingan bacaan. Meskipun ada empat harian berbahasa Burma dan dua berbahasa Inggris, yang tidak hanya memuat berita dalam negeri, tetapi orang-orang Burma melahap juga artikel-artikel tentang peristiwa-peristiwa luar negeri yang diterbitkan secara lengkap oleh kantor berita internasional. Pemuatan berita luar negeri umurnnya seimbang. Baik dari Tass maupun dari The Associated Press, keduanya mendapat tempat yang sama di halaman depan. Menurut Corssette, dunia internasional telah bersikap tidak adil terhadap pemerintah Ne Win dengan menariknya dari kelompok Gerakan Nonblok negara-negara berkembang, pada 1979. Alasannya, kelompok itu, di bawah kepemimpinan Kuba, dianggap cenderung berkiblat ke Uni Soviet. Tetapi Israel dan Mesir keduanya mempunyai kedutaan di Rangoon. Bahasa Inggris masih dipakai secara luas di Burma. Bahasa yang didapat dari pemerintah kolonial Inggris ini pernah tersingkir selama tahun-tahun isolasi, tetapi kini kembali digemari, bahkan secara resmi. Sejak tahun lalu, di setiap kelas sembilan (di Burma ada 10 tingkat kelas praperguruan tinggi), bahasa Inggris diperkenalkan sebagai bahasa pengantar. Setiap tahun program itu akan diperluas hingga sampai ke tingkat taman kanak-kanak. Kelak semua mata pelajaran diajarkan dengan bahasa pengantar bahasa Inggris, kecuali mata pelajaran sastra dan bahasa Burma. Kebangkitan kembali penggunaan bahasa Inggris ini rupanya mendapat perhatian dari kalangan diplomatik. Di antara mereka muncul cerita burung yang mengatakan, keputusan Ne Win untuk menggalakkan lagi pemakaian bahasa Inggris muncul setelah anak perempuannya pergi ke Inggris untuk mencari gelar sarjana. Putri sang kepala negara ternyata gagal dalam ujian untuk memenuhi syarat bahasa. "Cerita-cerita semacam itu banyak beredar," ujar seorang diplomat kepada Crossette. "Mungkin cerita-cerita itu tak selalu benar. Tetapi hal itu memberi gambaran kepada kita, betapa Burma maju pesat berkat tingkat seorang pria." Dalam sejarah Burma modern memang tercatat sejumlah peristiwa berdarah, tetapi kekerasan bukan cap bagi kehidupan politiknya. "Kami adalah bangsa yang suka memaafkan dan mudah melupakan," kata seorang pria 60-an kepada tamunya, "Setiap pemerintah, siapa pun dia, mudah memerintah di sini." Kadang-kadang ada juga protes-protes, terutama dari mahasiswa, tetapi selalu bisa diredakan dengan cepat. Tak seorang pun pernah berbicara tentang penganiayaan. Tak terlihat seorang polisi yang meraba-raba pelaku kejahatan di jalanan Kota Rangoon. Juga tak ada yang memeriksa jalur pejalan kaki, yang berlubang-lubang menganga, memperlihatkan selokan di bawahnya. Namun, sebetulnya ada suatu perasaan pasrah yang murung. Di sebuah kafe kecil di Mandalay Crossette menjumpai seorang pria setengah baya yang mengatakan betapa kecil hasil yang bisa diberikannya untuk keluarganya, dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. "Kami tak peduli siapa yang duduk di pemerintahan," katanya. "Kami hanya menginginkan suatu tindakan untuk memperbaiki ekonomi. Kami orang Burma, bekerja begitu keras, tapi tak punya apa-apa."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus