Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengapa Bursa Karbon Masih Sepi

Perdagangan di bursa karbon terhambat regulasi. Pelaku usaha mengeluhkan kewajiban masuk Sistem Registri Nasional.

21 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Transaksi di bursa karbon belum bertambah signifikan.

  • Calon emiten sulit mencatatkan unit karbon di bursa karbon.

  • Potensi ekonomi karbon yang sangat besar bisa jadi sia-sia.

INDONESIA Carbon Exchange atau IDX Carbon belum terlalu ramai. Hingga Jumat, 19 Januari 2024, bursa karbon di bawah naungan PT Bursa Efek Indonesia itu hanya dapat menggaet 48 pengguna jasa. Itu berarti hingga empat bulan setelah bursa karbon berdiri cuma ada penambahan 33 pengguna jasa baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Transaksi di bursa karbon juga belum naik signifikan. Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia Jeffrey Hendrik mengatakan jumlah Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE GRK) yang diperdagangkan di IDX Carbon tidak bertambah. “Masih dari dua proyek, sama dengan tahun lalu,” katanya kepada Tempo pada 17 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jeffrey mengakui laju transaksi di bursa karbon cenderung pelan. Ada sedikit kenaikan dari 29 Desember 2023, saat terdapat 46 transaksi dengan 47 pengguna. Transaksi di akhir tahun itu, menurut Jeffrey, mencapai 494.254 ton setara karbon dioksida dengan nilai Rp 30,91 miliar. “Awal tahun ini sudah tembus 500 ribu ton dengan 48 pengguna jasa,” ujarnya.

Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia Jeffrey Hendrik. Antara/HO-BEI

Pada hari pertama peresmian IDX Carbon, tercatat 459.953 ton unit karbon diperdagangkan dari 27 kali transaksi dengan 15 pengguna jasa bursa. Pertamina New and Renewable Energy (NRE) menjadi satu-satunya penyedia unit karbon di IDX Carbon. Subholding PT Pertamina (Persero) ini menjual unit karbon dari proyek Lahendong Unit 5 dan Unit 6 yang dikelola PT Pertamina Geothermal Energy Tbk atau PGE. Dua proyek ini sudah memiliki sertifikat Verified Carbon Standard.

Satu bulan kemudian, PT PLN Nusantara Power, subholding PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) di bidang pembangkit listrik, melantai di bursa karbon. PLN Nusantara Power menawarkan unit karbon dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Blok 3 Muara Karang dengan kapasitas 500 megawatt. Pada tahap pertama, PLN menawarkan unit karbon 500 ribu ton karbon dioksida. Penawaran tahap kedua sebanyak 400 ribu ton di pasar negosiasi, pasar reguler, dan pasar lelang.

Semenjak isu pendirian bursa karbon berembus, PGE disebut-sebut sebagai satu dari empat emiten yang bakal meraup untung. Tiga lainnya adalah PT Barito Pacific Tbk; PT Arkora Hydro Tbk, operator pembangkit listrik tenaga hidro yang terafiliasi dengan Grup Astra International; dan PT Kencana Energi Lestari Tbk, yang bergerak dalam bisnis energi baru dan terbarukan.

Tahun ini, rencananya PGE menyiapkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang dan PLTP Lumut Balai untuk masuk ke bursa karbon. Dua PLTP tersebut masih menjalani proses verifikasi unit karbon yang diperkirakan selesai pada pertengahan tahun ini.

IDX Carbon mencatatkan banyak calon emiten yang menyatakan minat berdagang karbon. Tapi rupanya jalan masuk ke bursa cukup melelahkan, terutama bagi pemain kecil.

Bursa karbon diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023. Dalam aturan tersebut, OJK menyatakan unit karbon yang dijual di bursa diperlakukan seperti efek atau surat berharga. Selain SPE GRK, unit karbon yang bisa diperdagangkan adalah surplus kuota emisi yang disebut Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha atau PTBAE-PU. 

Untuk bisa menjadi pengguna jasa bursa karbon, entitas yang hendak menyuplai kredit karbon harus terdaftar dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. IDX Carbon terhubung dengan SRN PPI untuk mempermudah administrasi perpindahan unit karbon dan menghindari terjadinya penghitungan ganda.

Sejumlah pelaku usaha mengeluhkan hambatan dalam proses validasi penerbitan sertifikat nilai ekonomi karbon. “Yang mendaftar banyak, tapi sampai sekarang belum ada yang mendapatkannya,” ucap Senior Advisor Infinite Earth Limited dan Presiden Direktur PT Enam Sembilan Bumi Konservasi Teknologi, Glory Harimas Sihombing, pada 18 Januari 2024. Infinite Earth Limited bermitra dengan Rimba Raya Conservation untuk merestorasi 36 ribu hektare lahan gambut di Kalimantan Tengah. 

Unit karbon milik Pertamina di bursa karbon, menurut Glory, merupakan proyek yang awalnya sudah mengantongi sertifikat dari lembaga sertifikasi Gold Standard yang dikonversi ke SRN PPI. Namun jejak itu tak bisa diikuti perusahaan lain yang sudah mengantongi sertifikat berstandar global seperti Verra dan Plan Vivo. “Kalau sudah masuk SRN PPI sudah pasti bisa masuk bursa,” kata Glory.  

Padahal, menurut Chief Executive Officer Landscape Indonesia Agus Sari, ongkos mengurus sertifikat SRN PPI memakan biaya miliaran rupiah. Menurut dia, sertifikat SRN PPI bukan penentu dalam proses perdagangan karbon dalam negeri. Dengan cara ini, Indonesia bisa dianggap menerapkan standar sendiri dan tak mau menyesuaikan diri dengan praktik global. “Seperti menyuruh anak yang baru lahir balapan dengan orang tua,” tuturnya.

Persoalan ini menjadi kontradiktif dengan upaya menarik nilai ekonomi dari perdagangan karbon. Sejumlah studi menyebutkan potensi ekonomi karbon Indonesia mencapai US$ 600 miliar dan bisa diraih dalam waktu lebih singkat daripada bursa saham yang memerlukan waktu tiga dekade. Dalam sejumlah pernyataan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan menaksir nilai aktivitas perdagangan karbon lewat bursa dapat mencapai US$ 15 miliar per tahun.

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti mengatakan Indonesia unggul dalam solusi berbasis alam atau nature-based solutions. Menurut dia, potensi ekonomi karbon paling besar berasal dari ekosistem mangrove yang mencapai Rp 2.333 triliun, hutan Rp 2.333 triliun, gambut Rp 1.134 triliun, dan tumbuhan lamun (seagrass) Rp 100 triliun.

Potensi ini bisa sia-sia jika perdagangan tak berjalan akibat hambatan regulasi. Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi, sampai akhir 2023 masih ada 71,95 persen unit karbon di IDX Carbon yang belum terjual. Sejauh ini, dia menambahkan, sebanyak 30,56 persen penjualan bursa karbon terjadi di pasar reguler atau senilai Rp 9,38 miliar. Sebanyak 9,24 persen berada di pasar negosiasi senilai Rp 2,84 miliar dan 60,20 persen di pasar lelang dengan nilai Rp 18,8 miliar. 

Inarno mengatakan permintaan unit karbon belum terdorong lantaran tidak ada kewajiban bagi korporasi untuk memiliki kredit karbon. Sepanjang transaksi di bursa karbon berlangsung secara sukarela, selama itu pula pengelola bursa hanya bisa berharap.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lambat Laju Bursa Karbon"

Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus