Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Asal Muasal Tuduhan Korupsi Karen Agustiawan

Mantan Direktur Utama PT Pertamina, Karen Agustiawan, menggugat audit PricewaterhouseCoopers. Tak mengubah penyidikan KPK.

21 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTEMUAN mantan Direktur Utama PT Pertamina, Karen Agustiawan, dengan perwakilan firma PricewaterhouseCoopers (PwC) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 9 Januari 2024 gagal menghasilkan kesepakatan. PwC hanya mengirimkan penasihat hukum. “Mereka tak bisa menghadirkan perwakilan selaku pihak prinsipal,” ujar pengacara Karen, Humisar Sahala Panjaitan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada hari itu, majelis hakim mengagendakan mediasi antara Karen dan lembaga audit partikelir itu. Karen menggugat audit laporan audit kontrak pembelian gas cair PT Pertamina yang diterbitkan PwC pada 23 Desember 2020. Nilai gugatan Karen mencapai Rp 1,2 triliun. Karen menganggap audit itu yang membuatnya menjadi tersangka korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akibat tak ada perwakilan pegawai PwC, Ahmad Samuar, yang ditunjuk pengadilan menjadi hakim mediator, menjadwalkan ulang sidang. Proses mediasi ini akan menjadi yang ketiga karena dua sidang sebelumnya gagal terlaksana. Penyebabnya, lagi-lagi, perwakilan PwC tak datang.

Ketika dimintai konfirmasi perihal ini, kuasa hukum PwC, Lutfi, tak banyak berkomentar. Ia tak menjelaskan alasan ketidakhadiran wakil PwC dalam sidang mediasi. “Bakal kami pertimbangkan dulu dan akan saya informasikan kemudian,” tuturnya.

Head Strategic Communications PwC Cika Andy juga enggan berkomentar panjang. Menurut dia, PwC tidak akan mengomentari proses hukum yang tengah berjalan. “Kami tidak dapat berkomentar karena kasus ini sudah masuk tahap persidangan,” ujarnya.

Karen menjabat Direktur Utama PT Pertamina pada 2009-2014. Ia menjadi tersangka pada September 2023 dan ditahan pada bulan yang sama. KPK menuduhnya merugikan negara Rp 2,1 triliun dalam kontrak pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) yang dibeli Pertamina dari Corpus Christi Liquefaction pada periode 2011-2021. Ada pula dugaan gratifikasi yang melibatkan anak kandungnya dalam proyek pembelian gas dari anak Cheniere Energy Inc itu.



Mantan pejabat PT Pertamina, Hari Karyuliarto dan Djohardi Angga Kusumah, juga menggugat PwC. Hari adalah Direktur Gas Pertamina pada 2012-2014. Sementara itu, Djohardi menjabat Vice President Business Development and Commercial Gas pada 2011-2012. “Ketiga klien kami menilai laporan audit tersebut tak akurat, mengaburkan fakta, jauh dari obyektif, gegabah, dan menyesatkan,” ucap Humisar Sahala.

Dalam materi gugatan, ketiganya menyorot masalah teknis dan substansi laporan. Dari sisi teknis, laporan itu mereka anggap bermasalah karena PwC tak pernah meminta konfirmasi dan klarifikasi secara langsung kepada Karen ataupun Djohardi. Proses inventarisasi dan telaah data juga mereka anggap hanya mengandalkan sumber yang terbatas.

Karen bahkan menilai beberapa bagian audit menyalin laporan audit internal Pertamina. “Substansi laporan itu juga sama dengan alasan hukum yang dipakai KPK untuk menjerat klien saya,” tutur Sahala.

Juru bicara KPK, Ali Fikri, membantah anggapan tersebut. Menurut dia, laporan audit PwC hanya salah satu petunjuk penyidikan. KPK mengantongi bukti kuat lain berupa analisis kerugian Pertamina oleh Badan Pemeriksa Keuangan pada 2019.

Dalam audit BPK terungkap kontrak pembelian LNG dengan Corpus mengakibatkan kerugian negara sebesar US$ 113 juta. “Kami sudah melimpahkan berkas penyidikan dan sidangnya akan digelar dalam waktu dekat,” ujar Ali.

KPK menilai kontrak LNG dengan Corpus Christi pada 2012 melanggar aturan internal Pertamina lantaran tak pernah dibahas dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan 2013, 2014, dan 2015. Kerja sama itu juga belum mendapatkan persetujuan dewan komisaris selaku perpanjangan tangan pemerintah.

Dalam kesimpulan KPK, keputusan pembelian gas itu dibuat secara sepihak tanpa kajian analisis supply and demand yang memadai. Akibatnya, Pertamina merugi karena terpaksa melepas LNG yang dibeli ke pasar dengan harga murah.

Nilai kerugian muncul karena pasokan gas dalam negeri sudah memenuhi kebutuhan pasar. Pasokan gas Corpus yang mulai disalurkan pada 2019 terpaksa dilepas Pertamina di lantai bursa lewat anak perusahaannya, PPT Energy Trading Tokyo dan PPT Energy Trading Singapura.

PPT Energy melepas LNG seharga US$ 5 per million British thermal unit (MBTU). Padahal harga beli dari Corpus US$ 8 per MBTU. Keputusan itu diambil, kata seorang narasumber yang mengetahui transaksi tersebut, karena harga gas internasional sedang anjlok.

KPK juga menilai kontrak Corpus Christi senilai US$ 12,2 miliar berisiko karena disepakati hingga 2040. Artinya, Pertamina harus menyerap 1,52 juta ton gas alam cair per tahun menggunakan skema free on board tanpa peninjauan harga. Harga pembelian mengacu pada indeks bulanan Henry Hub ditambah komponen tetap.

Dokumen audit PwC menyebutkan kontrak itu bermasalah karena tidak memperhitungkan potensi penyerapan pasar. Masalahnya, PT Pertamina harus membayar setiap produksi gas alam cair yang disepakati melalui skema ambil atau bayar (take or pay).

Indikasi kerugian berasal dari selisih pembelian gas alam cair Corpus Christi dengan penjualan kepada PPT Energy Trading Singapura sekitar US$ 5,1 juta. Adapun kerugian akibat penjualan ke perusahaan energi asal Swiss, Vitol, sebesar US$ 23,4 juta. Jadi total kerugian transaksi pada 2019 tersebut sekitar Rp 427 miliar.

Sebelum ditahan KPK, Karen Agustiawan membantah tuduhan merugikan negara dalam proses jual-beli LNG tersebut. Menurut dia, PT Pertamina seharusnya mendapat untung jika cekatan meladeni permintaan LNG dari British Petroleum dan Trafigura, perusahaan minyak asal Inggris dan Swiss, pada 2018. “Keuntungannya saat itu 71 sen per MBTU, kenapa tidak dilepas saja?” tuturnya.

Menurut Humisar Sahala Panjaitan, pengacara Karen, terlalu prematur jika menilai kerugian hanya berdasarkan transaksi jual-beli gas pada 2019. Ia menunjuk kesaksian Aris Mulya Azof, Senior Vice President Downstream, Power, Gas, & NRE Pertamina, dalam sidang gugatan praperadilan. Aris mengatakan keuntungan akumulatif kontrak Pertamina dengan Corpus Christi hingga 28 Juli 2023 sudah mencapai tren positif dengan keuntungan sebesar US$ 88,87 juta. “Dalam bisnis ada untung dan rugi, jangan melihat masalah dari sisi kerugian semata,” ujar Sahala. Gugatan praperadilan ini ditolak hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada November 2023.

Pengacara Karen yang lain, Luhut Pangaribuan, menambahkan, kontrak pembelian LNG dari Corpus belum berakhir alias voltooide. Jadi, dia melanjutkan, kontrak pada 2012 tak bisa menjadi dasar pemidanaan terhadap kliennya karena telah diamendemen pada 2015 ketika Pertamina dipimpin Dwi Soetjipto. Artinya, pembaruan kerja sama itu dengan sendirinya menganulir poin perjanjian sebelumnya. “Jadi ini akibat perbuatan dan perjanjian yang mana?” ucap Luhut.

Vice President Corporate Communication PT Pertamina Fadjar Djoko Santoso enggan menanggapi gugatan dan pernyataan tim Karen. Dia menerangkan, manajemen Pertamina sudah menerapkan tata kelola bisnis yang baik sesuai dengan aturan. Kasus yang sedang menjerat Karen dan sejumlah mantan anggota direksi Pertamina, dia melanjutkan, sudah direspons dengan memfasilitasi layanan pendampingan hukum. “Kami menghormati proses hukum yang sedang berjalan,” tuturnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Adu Kuat Audit Gas"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus