Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perusahaan berlomba masuk ke bisnis perdagangan karbon sektor kehutanan.
Pembeli unit karbon dari luar negeri antre.
Unit karbon laris sebagai pencuci dosa masa lalu.
MESKI pemerintah memberlakukan moratorium perdagangan karbon di sektor kehutanan, niat Arfan Arlanda berbisnis kredit karbon tak surut. Dalam setahun terakhir, Chief Executive Officer Jejakin ini berjibaku mendaftarkan proyek perdagangan karbon yang ia kerjakan di Kalimantan agar bisa masuk Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arfan juga menyiapkan penerbitan sertifikat penjualan karbon yang diakui pemerintah, yaitu Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca, agar dapat melakukan transaksi. “Tahun ini akan kami luncurkan,” katanya kepada Tempo pada 18 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arfan tak merinci luas lahan yang sedang ia garap. Namun ia mengakui Jejakin tak memiliki konsesi hutan mandiri. Perusahaan ini menjalin kerja sama dengan lembaga pengelola hutan desa dengan model perhutanan sosial.
Proyek Jejakin di Kalimantan adalah satu dari 9.441 proyek yang terdaftar di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hingga 20 Januari 2024, Kementerian Lingkungan mencatat 241 proyek serupa yang telah teregistrasi dan 183 sudah terverifikasi. Selain di Kalimantan, Jejakin menyiapkan proyek serupa di Sumatera dan Papua.
Jejakin awalnya bukan perusahaan penjual karbon. Berdiri pada 2018, entitas bisnis yang berkantor di kompleks Sudirman Central Business District, Jakarta Selatan, itu beroperasi sebagai konsultan. Jejakin membantu sejumlah klien memenuhi kewajiban pengurangan emisi. Salah satunya lewat jasa menghitung potensi kredit karbon di area hutan.
Jejakin juga menghubungkan entitas yang akan membeli unit karbon. Dalam situs web Jejakin tercatat beberapa klien, antara lain PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Danone, PT Telekomunikasi Selular, PT Bank Central Asia Tbk, dan Grup Plataran. “Ada peluang besar, pasar kredit karbon domestik akan tumbuh,” tutur Arfan.
PT Enam Sembilan Bumi Konservasi Teknologi juga berancang-ancang berdagang karbon. Presiden Direktur Enam Sembilan Bumi Konservasi Teknologi Glory Harimas Sihombing mengatakan sudah dua tahun membuka kerja sama dengan berbagai perusahaan untuk merambah bisnis karbon melalui akuisisi lahan, kolaborasi pengelolaan area konsesi, dan perhutanan sosial. “Kami menargetkan memegang 1 juta hektare lahan sampai 2030,” ucap Glory di Jakarta Selatan pada 18 Januari 2024.
Enam Sembilan Bumi Konservasi Teknologi membidik lahan di Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Papua Selatan, dan Papua Tengah. Di Kalimantan Selatan, misalnya, Enam Sembilan bermitra dengan salah satu perusahaan pertambangan mineral untuk mengelola area konsesi bersama. Jika perusahaannya bisa mengelola 1 juta hektare lahan pada 2030, Glory menaksir kredit karbon yang bisa diperoleh mencapai 1 miliar ton ekuivalen karbon dioksida.
Enam Sembilan Bumi Konservasi memilih hutan gambut lantaran bisa menghasilkan kredit karbon yang lebih besar. “Hutan gambut mengandung karbon puluhan kali lipat lebih besar dari hutan sekunder atau primer,” kata Glory.
Sebelum memulai proyek perdagangan karbon melalui Enam Sembilan Bumi Konservasi, Glory membantu PT Rimba Makmur Utama (RMU) sejak 2008. RMU adalah perusahaan yang mendirikan Katingan Mentanya Project (KMP), pengelola proyek restorasi dan konservasi lahan gambut di Kalimantan Tengah. KMP berhasil menggaet perusahaan multinasional sebagai pembeli karbon seperti Shell, Zilch, Volkswagen, dan Seek ANZ.
Belajar dari pengalaman KMP, Glory melihat kredit karbon sebagai bisnis jangka panjang. Enam Sembilan Bumi Konservasi, yang sedang mengelola 157,8 hektare lahan gambut, memegang masa konsesi sampai 60 tahun. Nilai investasinya pun terus meningkat. “Pemain baru perdagangan kredit karbon seperti pemegang izin usaha pertambangan yang sudah mengkaveling lahan dulu,” ucapnya.
Laporan Studi Reformasi Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan Center of Economic and Law Studies menunjukkan sektor hutan dan lahan adalah penyumbang likuiditas kredit karbon terbesar. Indonesia bisa menyerap pendapatan US$ 566 miliar dari 125 juta hektare lahan tropis dan 22 juta lahan gambut. Imbal hasil investasi yang akan diterima mencapai US$ 10-15 miliar per tahun.
Praktisi perdagangan karbon, Eka Ginting, mengatakan pembeli kredit karbon di pasar internasional sudah antre. Mereka adalah perusahaan minyak dan gas bumi, energi, operator pesawat, asuransi, telekomunikasi, hingga penyedia layanan pusat data yang juga wajib menurunkan emisi karbon dari operasinya. “Semua perlu offset karbon. Misalnya maskapai penerbangan, setelah pandemi Covid-19, emisi karbonnya mencapai 20 juta ton setahun,” tutur Eka pada 17 Januari 2024.
Begitu pula perusahaan teknologi seperti Google dan Microsoft. Menurut Eka, untuk mengoperasikan pusat data, perusahaan-perusahaan itu meninggalkan jejak karbon yang cukup besar. Karena itu, mereka juga bertanggung jawab mengurangi emisi dengan cara bertransisi ke sumber listrik energi terbarukan sampai offset karbon. “Tidak hanya mengurus karbon yang mereka hasilkan saat ini, tapi juga menyelesaikan dosa masa lalu."
Perdagangan karbon sektor kehutanan bukan barang baru. Inisiatif mengurangi emisi dari deforestasi dengan mekanisme kredit dan offset karbon marak sejak 2007 atau seusai Conference of the Parties ke-13 di Bali. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan empat proyek kredit karbon besar di Tanah Air, yakni KMP, Sumatra Merang Peatland Project, Rimba Raya Biodiversity Project, dan Restorasi Ekosistem Riau.
Eka Ginting, yang juga menjabat komisaris Rimba Raya Conservation, mengatakan pembeli pertama kredit karbon Rimba Raya pada 2009 adalah perusahaan keuangan Allianz dan perusahaan minyak Rusia, Gazprom. Ketika belum ada aturan penjualan karbon, dia mengungkapkan, transaksi berlangsung antarperusahaan dengan landasan izin restorasi ekosistem.
Kendati sudah ada regulasi, jual-beli kredit karbon sektor kehutanan masih tak mulus. Setelah pemerintah memoratorium perdagangan karbon pada 2021, terbit Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022. Regulasi tentang tata laksana nilai ekonomi karbon ini dianggap mempersulit penjualan karbon ke luar negeri. Padahal selama ini pendorong terbesar pasar karbon adalah perusahaan multinasional.
Aturan itu mewajibkan perdagangan karbon berlangsung jika target nationally determined contribution Indonesia tercapai. Selain itu, ada syarat perdagangan karbon harus terdaftar dalam Sistem Registri Nasional, mendapat otorisasi pemerintah, dan tidak dihubungkan dengan penurunan emisi negara pembeli.
Seorang konsultan pemerintah untuk perdagangan karbon di sektor kehutanan bercerita, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih limbung dalam mengatur mekanisme penjualan karbon ke luar negeri. Menurut sumber tersebut, ada kecemasan Indonesia akan menjual terlalu banyak emisi ke luar negeri. Selain itu, pemerintah masih maju-mundur dalam mengatur harga. Kepada Tempo, 12 Desember 2023, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan harga karbon harus dihitung dengan metodologi yang tepat.
Agus Sari, Chief Executive Officer Landscape Indonesia, lembaga yang menggeluti isu lingkungan dan pengendalian emisi karbon di Indonesia, mengatakan peraturan pemerintah yang berlapis-lapis dan terlalu membatasi perdagangan akan menghambat likuiditas pasar karbon. “Regulasi ini seperti Pak Ogah. Setiap level ada perizinannya,” ucapnya.
Toh, gurihnya bisnis karbon hutan akan memunculkan pemain baru berwajah lama, misalnya perusahaan pertambangan dan kelapa sawit. Pengkampanye hutan dan kebun Walhi, Uli Arta Siagian, mengatakan korporasi tambang dan sawit mulai beralih ke bisnis energi baru setelah dunia menetapkan batas emisi pada industri penghasil karbon. "Yang punya modal dan mampu menjadi penyelenggara perdagangan karbon adalah pengusaha besar itu,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Wangi Dolar Karbon Rimba"