Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Haris Azhar
Lewat Pemilihan Umum 2014, kita berharap Indonesia bisa menemukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang bersih dan cerdas untuk melanjutkan gagasan Indonesia. Indonesia adalah sebuah ruang kebersamaan yang kaya tapi penuh tantangan. Tantangan ini tak main-main: transisi politik dari masa lalu belum tuntas, kita masih mewarisi kekerasan yang masih kerap terjadi, korupsi masih merajalela, bencana ekologis meluas, hutan dan masyarakat adat dilenyapkan secara perlahan tapi pasti, kelompok rentan dan minoritas banyak yang hidup dengan waswas.
Peran DPR dipertanyakan, pengawasan tidak berjalan. Forum rapat dengar pendapat umum sering dijadikan satu-satunya cara pengawasan. Kerja legislasi sangat minim dan sering tak berkualitas, mudah dipatahkan di Mahkamah Konstitusi. Anggota DPR sedikit demi sedikit terpaksa pindah kantor ke balik jeruji kamar tahanan korupsi. Tugas penganggaran berujung mobil mewah di parkiran gedung DPR Senayan. Meski tak terjadi pada semua anggota DPR, fakta ini sudah kadung hidup di kepala masyarakat.
Problemnya, hari ini sebagian dari mereka yang menjadi anggota DPR maju kembali dalam Pemilu 2014. Berpolitik di parlemen sudah dianggap seperti warisan, bukan amanah. Evaluasi terhadap mereka pun tidak jelas. Akibatnya, tak ada pembelajaran yang genuine. Partai hanya melihat "siapa yang bisa dicalonkan untuk mendulang suara". Segala cara se-olah-olah dibenarkan oleh siapa pun yang maju menjadi calon anggota legislatif (caleg). Cara berkampanye pun tidak mendidik. Cara-cara ini ditiru oleh para calon baru.
Situasi ini harus didobrak. Masyarakat tak boleh diam dan harus mampu mencari wakil rakyat yang luar biasa, yang bersih, untuk mengatasi masalah. Banyak yang pesimistis, tapi ini syarat demokrasi.
Calon yang bersih atau berani bisa muncul dari tiga karakter pemilu yang ideal. Pertama, kecukupan informasi bagi para pemilih atas calon berikut cara mendukung dan cara memilih. Informasi tentang calon bukan semata-mata memajang foto dan nama di pohon atau tiang listrik, melainkan memberi informasi integritas setiap calon: sejauh mana ia taat pada hukum, bagaimana ia bekerja untuk menyejahterakan masyarakat, bagaimana komitmen mereka dalam menerima laporan masyarakat, terbuka atas harta dan kekayaan, hingga keterampilan yang mereka miliki. Informasi tersebut termasuk agenda ke depan yang akan dikerjakan jika ia masuk ke sistem kekuasaan. Apakah mereka memiliki pengalaman mengurus persoalan tersebut? Adakah pemantauan dan evaluasi yang bisa dilakukan masyarakat terhadap mereka?
Patut disayangkan, Komisi Pemilihan Umum dan institusi lain sangat minim menyediakan informasi tersebut. Mereka tak menyediakan alat komunikasi yang mudah bagi masyarakat untuk menguji calonnya. KPU dan institusi (yang dibiayai) negara lainnya, seperti TVRI dan RRI, membiarkan setiap calon berhubungan di pasar komunikasi politik yang bebas, tanpa kekayaan informasi. Curriculum vitae memang bisa dilihat di situs web KPU, tapi isinya hanya mencantumkan informasi jenis pekerjaan dan latar belakang pendidikan.
Hal kedua yang dibutuhkan adalah tindakan personal setiap warga negara dalam menentukan pilihan. Kata kunci dari tahap ini adalah "keyakinan dan pertanggungjawaban" atas pilihan untuk lima tahun ke depan. Banyak faktor yang bisa mempengaruhi keyakinan, dari kondisi ekonomi, tingkat pendidikan dan ideologi ataupun utang budi personal, sampai faktor intimidasi. Seharusnya ada jaminan kesetaraan dan partisipasi dalam menentukan pilihan. Pemilu adalah ejawantah kesamaan hak setiap orang dalam berpartisipasi di kegiatan politik. Setiap orang-dengan syarat umur tertentu-berhak memperoleh hak memilih wakilnya di lembaga publik. Saat ini secara administratif syarat memilih tidak sesulit syarat dipilih: asalkan memiliki kartu tanda penduduk dan tercatat di daftar pemilih tetap.
Namun, di Indonesia, satu-satunya yang luar biasa pada pemilih adalah jumlahnya yang besar. Para pemilih dijadikan target bertubi-tubi dari partai politik dan calon-calonnya, baik calon presiden maupun calon legislator. Para pemilih dibela jika belum terdaftar. Mendadak kampung-kampung kumuh didatangi bantuan kesehatan berbendera partai. Pertandingan futsal digelar di mana-mana untuk meraih piala dari si calon. Sampai-sampai ada acara makan bakso bareng caleg. Para peserta kompetisi politik ini hanya berpikir mendulang suara dari masyarakat. Mereka tidak mendidik masyarakat atas apa makna dari pemilu. Banyak calon yang tidak menunjukkan kelayakan dan kemampuan berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan yang luar biasa.
Cara berkampanye yang buruk, kontraktual pada materi, dan minim informasi ini pada akhirnya hanya memperpanjang rantai keterpurukan negeri ini. Sistem koreksi tidak berjalan, masyarakat akan semakin apatis pada politik. Politik yang seharusnya menjadi alat mencapai kebajikan bersama pun menjadi tidak berarti.
Karena itu, dua karakter pemilu di atas perlu dilengkapi dengan bagian ketiga, yaitu fasilitas ekspresi politik. Negara adalah penyedia fasilitas dan penyelenggara alat ekspresi, tujuannya adalah kenyamanan dan keamanan bagi setiap warga negara untuk menyatakan pilihannya, termasuk tidak memilih alias golput.
Caleg yang bersih hanya bisa lahir dari situasi ketika para pemilih memiliki cukup informasi tentang calon dan memiliki keyakinan serta kebebasan dalam menentukan pilihan. Karena itu, di tengah keterbatasan dan kekurangan penyelenggaraan pemilu dalam memberikan informasi, Indonesia diuntungkan oleh berbagai gerakan masyarakat sipil yang membantu menyebarluaskan informasi mengenai calon, cara memilih, serta cara memantau proses pemilu yang curang. Dengan gerakan ini, Indonesia bisa sedikit optimistis menemukan model baru dalam berpolitik. Gerakan ini memperlihatkan bahwa kemuakan publik terhadap cara berpolitik yang hipokrit telah bermunculan.
Pemilu 2014 jelas tak akan memunculkan seratus persen anggota DPR yang bersih. Namun setidaknya kita bisa berharap ada sekumpulan anggota parlemen yang bersih, baik di Senayan maupun DPRD tingkat I atau II. Bangsa ini bisa berharap pada mereka agar menjadi motor yang sanggup memulai budaya politik yang transparan, bekerja menyelesaikan masalah kemanusiaan dan ekologi yang semakin buruk, berdiri di depan untuk mendukung penegakan hukum terhadap siapa pun, membela kelompok minoritas dan rentan. Ke depan, dari mereka yang bersih, meskipun hanya sedikit, kita berharap bisa melihat kesederhanaan anggota DPR(D). Bangsa ini tak boleh lagi mendapati anggota DPR ditangkap karena terlibat suap dan korupsi.
Peran legislasi ke depan seharusnya dipakai untuk mengevaluasi berbagai aturan perundangan yang bertentangan dengan hak asasi manusia, melemahkan penegakan hukum, termasuk pencegahan korupsi. Peran pengawasan seharusnya signifikan bagi penataan lingkungan hidup yang hancur dan rusak. Mereka juga harus berani melakukan pengawasan yang berkelanjutan atas keterlibatan para pejabat tinggi di republik ini. Bukan hanya pengawasan dalam rapat dengar pendapat, yang kerap menguap begitu saja setelah mendapat uang jajan. Pengawasan yang rutin dan profesional jelas dibutuhkan untuk mendapatkan bukti yang cukup. Dengan bukti yang cukup, DPR bisa membuat rekomendasi yang tepat kepada pemerintah.
Dan, yang paling penting, tentu saja sektor anggaran, isu primadona di DPR dan partai-partai. Dari sinilah disinyalir banyak kekayaan anggota Dewan bertambah secara haram. Banyak kasus penyalahgunaan anggaran terungkap. Banyak pula anggota parlemen yang melenggang tak tersentuh hukum. Pundi-pundi kekayaan mereka kian gemuk, sementara rakyat tetap miskin dan tak terlayani. Sektor inilah yang harus dibersihkan oleh para legislator baru yang juga bersih.
Mari kita bersih-bersih.
Koordinator Kontras, Inisiator Gerakan Bersih 2014.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo