Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pembesuk tiba di ruang rawat inap lantai lima Rumah Sakit Mayapada, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Selasa malam pekan lalu. Di situ, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, yang terserang virus, dirawat sejak sehari sebelumnya. Sejumlah tamu, pejabat kementerian yang ditinggalkan Anies pada Agustus lalu, baru saja meninggalkan ruang perawatan.
Mereka bukan pembesuk biasa. Ibunda Anies, yang setia menemani putranya di rumah sakit, pamit sebelum dua tamu itu datang. Tamu pertama adalah Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuziy, kawan lama Anies di Yogyakarta. Ia ditemani pengusaha Aksa Mahmud, adik ipar Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tiba sekitar pukul 20.30, mereka baru meninggalkan sang pasien menjelang tengah malam.
Senyampang menjenguk, tetamu rupanya menanyakan kesediaan mantan Rektor Universitas Paramadina itu menjadi calon Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Aksa menuturkan, Anies memiliki potensi yang seharusnya berguna untuk pembangunan Ibu Kota. "Menjenguk sekalian ngomongin pemilihan gubernur," ujar Aksa, Jumat pekan lalu.
Pertemuan itu kemudian diceritakan Romy—sapaan Romahurmuziy—kepada Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani. Nama Anies, kata Arsul, masuk ke Romy lewat jaringan perkawanan di Yogyakarta. Soal kesediaan menjadi calon gubernur, Anies mengatakan tidak pernah menawarkan diri. Kepada tamunya, ia menyatakan, "Kalau ada orang lain yang dicalonkan, go ahead. Tapi, kalau dianggap bisa menjadi solusi, saya siap."
Setelah mendengar kesediaan itu, Romy menyinggung kemampuan finansial Anies. "Kalau isi tas sampean piye?" ujar Arsul menirukan pertanyaan Romy. Anies menceritakan pengalamannya saat menjadi Rektor Universitas Paramadina. Ketika itu, dia berhasil mengumpulkan uang dari berbagai kalangan untuk universitas di awal jabatannya. Anies tertawa ketika dimintai konfirmasi soal dialog ini. "Saya ketika itu hanya bercerita bahwa suka mendapatkan sesuatu yang tidak direncanakan," kata Anies.
Romy tak mau banyak berkomentar tentang pencalonan Anies. "Nanti saja setelah ada keputusan," ucapnya. Soal kedatangannya menjenguk Anies, dia berujar, "Ah, itu kan maunya kalian." Aksa Mahmud tertawa ketika isi pembicaraan mereka bertiga diceritakan kembali. "Kau ada di sana, ya?" katanya.
Sinyal kesediaan Anies membuat pemilihan gubernur di Ibu Kota makin bergairah. Aksa mengatakan mendiskusikan pencalonan Anies dengan sejumlah partai. Awalnya, menurut Aksa, ia gelisah karena tak kunjung melihat ada lawan sepadan bagi gubernur bertahan, Basuki Tjahaja Purnama. Pada suatu pagi setelah subuh di Masjid Sunda Kelapa, tempat dia menjadi ketua dewan pengurus, Aksa teringat Anies Baswedan.
Setelah salat subuh, iseng-iseng dia bertanya kepada jemaah, siapa yang layak sebagai calon Gubernur Jakarta. Ternyata muncul nama Anies. Seketika itu juga Aksa menghubungi juniornya yang juga karib Anies sejak mahasiswa di Universitas Gadjah Mada. Dia minta dipertemukan dengan Anies. "Cuma ingin ngobrol. Bisa diatur?" ujar rekan Anies menirukan permintaan tersebut.
Pertemuan Aksa dan Anies terjadi pada Jumat terakhir Agustus lalu di Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Meskipun diantar sejumlah orang dekat, keduanya memilih berbincang empat mata. Aksa pun mengutarakan niatnya mendorong Anies sebagai calon gubernur. Ditodong dengan pertanyaan mendadak, Anies gelagapan. "Sebentar, sebentar, saya lagi santai setelah berhenti menjadi menteri," kata Anies seperti ditirukan orang dekatnya. Versi Aksa, pertemuan di Hyatt terjadi secara kebetulan. "Tiba-tiba saja, ya sudah, sekalian makan siang," ujarnya.
Anies meminta waktu selama sepekan untuk berbicara dengan keluarga. Saat Idul Adha, dia tumbang terserang virus sehingga mesti dirawat di Rumah Sakit Mayapada, tak jauh dari rumahnya. Keesokan harinya, terjadilah pertemuan antara Anies, Aksa, dan Romy. Sejak itu, nama Anies resmi dibawa untuk dibicarakan dalam persiapan pembentukan poros ketiga di DKI Jakarta antara Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Semangat anti-Ahok mulanya mempertemukan tujuh partai politik di DKI Jakarta dalam Koalisi Kekeluargaan. Ketujuh partai itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan. Solid di level pengurus wilayah, koalisi ini rapuh di pengurus pusat.
Koalisi ini tak berumur panjang, terutama sejak pelaksana tugas Ketua PDI Perjuangan DKI Jakarta, Bambang Dwi Hartono, dicopot dari jabatannya. Petinggi partai berlambang banteng tersebut menunjuk Ady Wijaya sebagai Ketua PDI Perjuangan DKI Jakarta. Nasib koalisi makin tak jelas ketika PDI Perjuangan mengirim sinyal mendukung Basuki Tjahaja Purnama.
Setelah rontok, partai tersisa bergerak mencari calon wakil gubernur pendamping Sandiaga Uno. Yang dibidik antara lain Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah dan Deputi Gubernur Bidang Kebudayaan dan Pariwisata Sylviana Murni. Keduanya pun telah diwawancarai Ketua Gerindra DKI Jakarta Muhammad Taufik, Ketua Partai Demokrat DKI Jakarta Nachrowi Ramli, dan Ketua Partai Kebangkitan Bangsa DKI Jakarta Hasbiallah Illyas.
Belum juga penyaringan beres, peta pendukung lawan Ahok kembali layu sebelum berkembang. Secara mendadak, Partai Keadilan Sejahtera menyodorkan kadernya, Mardani Ali Sera, sebagai pendamping Sandiaga. Ketua PKS DKI Jakarta Abdurrahman Suhaimi mengatakan partainya mengajukan calon wakil karena memiliki kursi lebih banyak dibanding PKB.
Di DKI Jakarta, Gerindra memiliki 15 kursi, sedangkan PKS mendudukkan sebelas anggotanya sebagai anggota Dewan. PKB hanya memiliki enam kursi DPRD. Dengan komposisi kursi tersebut, Suhaimi merasa partainya lebih berhak mengajukan calon wakil. Apalagi gabungan kursi Gerindra dan PKS memenuhi syarat pengajuan calon gubernur, yaitu minimal 22 kursi. "Kalau Gerindra dengan PKB, belum cukup," kata Suhaimi.
Perubahan tiba-tiba tanpa woro-woro membuat Demokrat, PPP, dan PKB merasa ditelikung. Padahal PKB telah mendeklarasikan dukungan untuk Sandiaga. Hasbiallah Illyas mengancam menarik dukungan yang telah diberikan. "Kami sama sekali tak diajak komunikasi," ujar Illyas, jengkel. Ketua Partai Demokrat DKI Jakarta Nachrowi Ramli juga kaget. "Kami sakit hati," kata Nachrowi.
Jumat dua pekan lalu, Nachrowi, Illyas, dan Ketua PPP DKI Jakarta Abdul Aziz bertemu merancang strategi lanjutan. Hasilnya, ketiganya bersepakat mendukung Yusril Ihza Mahendra. Sehari sebelum Idul Adha, ketiganya menemui Yusril di sebuah restoran di Menteng. "Kami harus menentukan sikap. Alternatifnya Pak Yusril," ujar Abdul Aziz.
Yusril mengiyakan dukungan ini, bahkan termasuk Partai Amanat Nasional. Menurut Yusril, poros ini bersepakat akan mengusungnya bersama Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah. Dia optimistis bakal memperoleh restu dari Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar. "Deklarasi dilakukan setelah partai-partai menandatangani berkas pencalonan," kata Yusril.
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono bertolak menuju Korea Selatan pada 5 September lalu untuk menghadiri acara Global Green Growth Institute. Sebelum berangkat, Yudhoyono memberikan tugas khusus kepada Wakil Ketua Umum Demokrat Sjarifuddin Hasan. Sjarifuddin diminta selalu melaporkan perkembangan mutakhir Ibu Kota. "Pak SBY memerintahkan saya berkomunikasi dengan partai lain," kata Sjarifuddin.
Belum juga sempat bergerak, Sjarifuddin dihadapkan pada deklarasi Sandiaga-Mardani. Momentum ini justru membuatnya makin tancap gas. Segera dia menghubungi Ketua Umum PPP Romahurmuziy dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Sjarifuddin menjajaki kemungkinan koalisi. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, yang sedang naik haji, pun dia hubungi via telepon. "Kami bersama-sama sejak 2004, jadi seperti nostalgia," ujar Sjarifuddin.
Ajakan membentuk koalisi bersambut. Karena itu, Sjarifuddin menghubungi Yusril memberitahukan kemungkinan munculnya opsi pembentukan poros baru bersama PPP, PKB, dan PAN. Selain menghubungi Yusril, Sjarifuddin menelepon Anies Baswedan untuk penjajakan sebagai calon gubernur. Pada 9 September lalu, Sjarifuddin terbang ke Korea Selatan menemui Yudhoyono melaporkan situasi politik di Jakarta.
Sjarifuddin menuturkan, mereka memang mencari calon gubernur antitesis Ahok. Misalnya tidak arogan, beretika sehingga bisa menjadi panutan, dan bertanggung jawab. Faktor lain, calon tersebut laku dijual di kalangan anak muda. Tak kalah penting, kata Sjarifuddin, mereka menghindari calon yang pernah menjadi menteri di era kabinet Yudhoyono. "Ini soal martabat partai," ujarnya.
Faktor terakhir itu menjadi nilai minus Yusril karena ia menjadi Menteri Sekretaris Negara serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia di era Yudhoyono. Persoalan Yusril bukan hanya itu. Hubungannya dengan PPP tak erat. Politikus PPP, Syaifullah Tamliha, mengatakan, saat partainya mengalami sengketa kepengurusan, Yusril berada di kubu Djan Faridz. "Beliau menjadi saksi ahli untuk Pak Djan di pengadilan," ujar Tamliha.
Meskipun pilihan makin mengerucut, Sjarifuddin tak menjamin Anies menjadi kandidat terkuat. Anies, kata dia, juga memiliki kelemahan, yakni tak pernah mengikuti proses pendaftaran. Padahal Yudhoyono adalah sosok yang tertib sistem. "Kalau dilanggar, nanti kader bertanya," ujarnya. Untuk memecahkan persoalan ini, seorang politikus Demokrat menemui Anies, yang masih terbaring di rumah sakit, Rabu pekan lalu. Pengurus Demokrat ini meminta Anies segera mengatur pertemuan dengan Yudhoyono. "Ya, nanti setelah saya keluar dari rumah sakit," kata Anies.
Nama Anies kembali masuk ke telinga Sjarifuddin pada Selasa pekan lalu. Ketika itu, dia ditelepon Aksa Mahmud, yang meminta Demokrat mempertimbangkan pencalonan Anies. Sjarifuddin tak langsung mengiyakan. Sebab, dia harus berkonsultasi dengan Yudhoyono. Kepada Aksa, Sjarifuddin berujar, "Ya, boleh-boleh saja." Aksa mengakui mengontak sejumlah ketua umum partai. "Kecuali Pak SBY karena sedang di Korea," ujarnya.
Aksa tak datang dengan cek kosong. Sebab, di belakang Aksa ada PPP, yang memiliki sepuluh kursi Dewan DKI Jakarta. Arsul Sani mengatakan kunci poros baru memang ada pada Demokrat dan PPP. "Tanpa salah satu dari kami, poros baru tak mungkin terjadi," ujarnya.
Syaifullah Tamliha mengakui ada peran Aksa dalam proses pencalonan Anies. Aksa memiliki sejarah panjang di partai berlambang Ka'bah tersebut. "Beliau banyak membantu kami saat konflik," kata Tamliha.
Sekembali dari Korea, Yudhoyono mengundang satu per satu calon mitra koalisi. PPP mendapat giliran pertama pada Rabu malam pekan lalu, disusul PAN sehari setelahnya dan PKB pada Jumat pekan lalu. Saat bertemu dengan Yudhoyono, PPP diwakili antara lain Romy dan Arsul. Menurut Arsul, Yudhoyono meminta nama-nama calon gubernur. "Kami yang mengeluarkan nama Anies," ujar Arsul.
Mereka juga mendiskusikan tiga calon lain, yakni Sandiaga, Yusril, dan Rizal Ramli. Mereka pun membuat matriks keunggulan dan kelebihan setiap calon. Matriks ini, kata Arsul, dipegang Yudhoyono. Menurut dia, rencananya Yudhoyono yang mengompilasi hasil pertemuan untuk dibicarakan dalam rapat bersama partai lain. "Mana yang paling tinggi tingkat serangannya," ujar Arsul.
Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno mengatakan pertemuan dengan Yudhoyono belum mengerucut pada nama tertentu. Menurut dia, Yudhoyono dan Zulkifli Hasan lebih banyak berbicara tentang kriteria pemimpin Ibu Kota. Soal adanya matriks kelebihan dan kelemahan calon, Eddy enggan berbicara detail. "Kami maunya melihat ke depan," ujar Eddy. Sjarifuddin menuturkan, pertemuan dengan tiga partai belum memutuskan apa pun. Dia menjelaskan, "Keputusannya Sabtu pagi (akhir pekan lalu). Sebab, kami mesti rapat majelis tinggi."
Wayan Agus Purnomo, Ananda Teresia, Devy Ernis, Larissa Huda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo