HAI, kaum pemulung, mau naik daun? Bersatulah. Itulah anjuran Drs. Susanto Bambang Hartono, 40 tahun, Camat Boyolali. Kini ia sedang memperhatikan nasib pemulung di kotanya itu. Awal Maret silam, di aula Kantor Kecamatan Kota Boyolali, Jawa Tengah, ia mengadakan tatap muka dengan lima belas pemulung. Lalu Susanto memberi pengarahan dan menandaskan betapa pentingnya dibentuk organisasi pemulung. Spontan, ajakan Pak Camat disambut. Bahkan, saat itu dibentuk organisasi pemulung bernama Persatuan Pemulung Boyolali Kota (PPKB). Susanto sendiri dipilih jadi ketua umum. Hingga akhir Maret lampau sudah 30 pemulung mendaftar sebagai anggota PPKB. Dengan organisasi ini, menurut Susanto, ia berusaha mengangkat citra para pengorek barang sampah dan bekas. Memang, selama ini sering ada kesan negatif, seolah kerja pemulung sambil mencuri. "Padahal, kan tak semua pemulung kerjanya mencuri," ujarnya. Selain itu, ia juga yakin, kaum pemulung kalau dibina berjasa melaksanakan kebersihan kota. "Mereka mengumpulkan barang yang dianggap tidak berguna menjadi barang yang bernilai ekonomis," tambah Susanto. Untuk menertibkan pemulung di kotanya, camat itu mengeluarkan peraturan. Misalnya, pemulung yang menjadi anggota PPKB diberi seragam gratis kaus oblong kuning, yang di bagian punggungnya ditulis "Persatuan Pemulung Boyolali Kota". Selain itu mereka diberi kartu tanda anggota yang diteken oleh Pak Camat sendiri. Maka, sejak itu para pemulung yang beroperasi di Kota Boyolali memakai kaus kuning bertuliskan PPKB. Dan pada saat mereka menjalankan tugasnya, tanda pemulung yang dilengkapi foto pemiliknya serta distempel camat harus ditempelkan di dada kiri. Hanya pemulung beridentitas PPKB yang boleh beroperasi. "Jika ada yang beroperasi tanpa tanda pengenal, saya minta masyarakat menegurnya dengan sopan dan manusiawi," kata Pak Camat. Kok pakai tanda pengenal? "Karena, ada juga kamuflase. Ia pura-pura sebagai pemulung, tapi melihat barang yang menarik kemudian barang itu dicuri. Pokoknya, jangan ada maling berkedok pemulung di kota ini. Dan jangan pula ada pemulung yang nyambi nyolong," kata Bambang lagi. Dan selaku pengayom, Pak Camat juga mendirikan kantor untuk mangkal pemulungnya. Kantor PPKB itu dibangun di Desa Winong, yang sebelumnya tempat pembuangan alat bekas. Bangunan separuh tembok, setengah tripleks, atap seng, dan ukurannya 3 X 4 meter itu merupakan bantuan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Boyolali. "Sebulan sekali kami kumpul bersilaturahmi di kantor PPKB, dan sekaligus arisan seribu rupiah per orang," kata Sukarman, 47 tahun. Sebagai pemulung, sehari ia beroleh hasil Rp 2.500. Kini Sukarman bekerja lebih tenang. Dulu, bapak empat anak yang bertubuh tinggi kurus ini selalu waswas karena banyak yang mencurigai kerjanya. Apalagi kalau di daerah operasinya ada yang kehilangan barang, ia takut bergerak ke sana. "Sebab, di situ saya sering dituduh mencuri. Padahal, saya benar-benar pemulung yang mengambil barang tidak dipakai lagi, yang sudah dibuang pemiliknya," tutur Sukarman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini