Ini sebuah dongeng penuh seloroh. Dan juga sindiran. Tentang narapidana yang melarikan diri dan kemudian menjadi pastor palsu. WE'RE NO ANGELS Sutradara: Neil Jordan Produksi: Paramount Pictures Pemain: Robert de Niro, Sean Penn, Demi Moore ADA sebuah lelucon yang sesungguhnya muram. Orang Amerika sering mengatakan, jika ingin tahu bentuk penjara Amerika periode tahun 1950 ke bawah, tengoklah penjara-penjara negara berkembang. Tentu lelucon ini tak membuat kita tersenyum. Apalagi jika melihat model penjara tahun 1930 yang digambarkan di dalam film We're No Angels arahan Neil Jordan, seorang novelis Irlandia yang kondang yang belakangan lebih dikenal sebagai sutradara film-film Inggris. Awal pembukaan komedi ini sungguh kelabu bak warna baju yang dikenakan para narapidana. Barisan-barisan panjang narapidana tak putus-putusnya menjalani kerja paksa sementara gedung penjara berlangit tinggi seolah melambangkan kungkungan bagi narapidana itu, yang tak pernah selesai. Di pucuk menara sang sipir penjara berkumis tebal mirip binatang yang haus darah. Tiba tiba ia menunjuk seorang narapidana yang botak, Tom (James Russo). Atas dosanya yang berani membangkang, sipir seenaknya mengeluarkan titah: Torr harus dihukum mati di atas kursi listrik. Dua kawan sependeritaannya, yakni Jimmy (Sean Penn) dan Ned (Robert de Niro) dipaksa menonton eksekusi itu. Ketika Tom sudah diseret ke kursi listrik, tiba-tiba lampu padam. Entah dari mana, Tom berdar-der-dor dan mengajak kedua kawannya kabur. Keajaiban pun terjadi. Ketiga narapidana itu berhasil menyeberangi padang salju yang terletak di perbatasan AS-Kanada itu meski akhirnya Tom terpisah dari kedua kawannya. Karena adegan-adegan kekejaman penjara Amerika ala 1930 sejak awal cerita, tentu saja kaburnya narapidana ini mendapat sokongan penonton. Artinya, rombongan polisi yang mengendus kedua pelarian itu dengan menggunakan anjing-anjing yang galak justru kelihatan jadi orang jahat. Bahkan ketika Jimmy mencuri baju jemuran milik penduduk desa (dan tidak menyadari bahwa gantungannya masih terjepit di kerah kemejanya) kita tersenyum geli. Layar putih yang semula kelabu mulai terasa berwarna. Komedi mulai mengalir. Bagaimana caranya agar polisi tak menangkap mereka? Menyamarlah mereka jadi pastor. Dan Neil Jordan berhasil mengemas petualangan Ned dan Jimmy dengan apik. Di dalam baju pastor itu, Ned menjelma menjadi Pastor Riley dan Jimmy menyamar menjadi Pastor Brown. Kebetulan, sudah lama Pastor Riley dan Brown yang asli menghilang dari kumpulan pastor di tempat suci New England. Kedua nama ini telah dikenal karena buku yang ditulis tentang pemikiran-pemikiran mereka. Maka, kedatangan kedua pastor palsu ini tentu saja disambut dengan hangat, bahkan Pastor Brown palsu sempat menjadi idola sebagian pastor yang mengagumi tulisannya. Di sinilah terasa sentilan halus khas sutradara Irlandia. Jordan mengaku sebagai orang yang cukup religius yang berasal dari tanah yang sangat religius, yakni Irlandia. "Namun, saya hanya memperlihatkan ironi tentang orang yang mengaku religius dengan hanya mengikuti ritual tanpa memahami maknanya," katanya. Dan sentilan itu terasa ketika "penggemar" Pastor Brown palsu dengan gilanya mengikuti semua tingkah laku idolanya. Mereka ikut-ikutan mengenakan jepitan jemuran di kerah bajunya. Ketika Pastor Brown palsu mencopot sepatunya karena takut sepatunya yang masih bercap penjara itu akan tercium anjing polisi, sertamerta penggemarnya ikut bertelanjang kaki. Selebihnya adalah anekdot yang menyembur di sana-sini. Misalnya perkenalan Pastor Riley palsu (Robert de Niro) dengan lelaki yang mengaku dosa karena baru tidur dengan perempuan temperamental yang bukan istrinya, Molly (Demi Moore). Belakangan justru Pastor Riley palsu itu yang "naksir" Molly. Lalu kepopuleran Pastor Brown yang menjadi-jadi dan didaulat berpidato di muka khalayak ramai. Semua kumpulan anekdot ini tak hentinya menggelitik sambil tetap mengingatkan penonton bahwa ini hanyalah dongeng yang penuh seloroh. Kerapian skenario film -termasuk dialog bahasa Inggris ala tahun 1930-an yang hampir tak ada cacat - tak lain berkat tangan seorang empu seperti David Mamet, penulis drama yang sudah menggondol penghargaan Pulitzer. Dari segi pengungkapan ide, Jordan adalah sutradara yang sangat menjanjikan. Seperti dalam novel-novelnya Dream of the Beast dan The Past serta film sebelumnya Mona Lisa, Jordan selalu ingin menunjukkan kebinatangan dan kemalaikatan dalam setiap individu. Kedua unsur itu, di mata Jordan, tidak hanya dimiliki narapidana macam Ned atau Jimmy, tapi juga dimiliki para polisi. Dan Jordan mencoba bersikap adil. Para narapidana yang mengenakan baju orang suci itu dengan risi berkata, "Kami bukan malaikat." Namun, tidak berarti narapidana itu tak punya keinginan menjadi orang baik. Sekali lagi ini sebuah dongeng penuh seloroh. Jordan mengakui bahwa We're No Angels adalah karyanya yang pertama kali diproduksi Hollywood (sebelumnya Danny Boy, The Company of Wolves, Mona Lisa adalah film produksi Inggris yang serius). Dan itulah sebabnya ia lebih mirip dongeng "ringan" yang berakhir dengan kebahagiaan. Pastor Riley palsu berhasil menyeberang ke Kanada dan hidup berbahagia bersama Molly untuk jadi orang baik-baik, sementara Pastor Brown palsu merasa terpanggil untuk betul-betul mengabdikan dirinya menjadi orang suci. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini