Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kuasa sang hakim

Di indonesia kekuasaan hakim baru sebatas ruang pengadilan. hakim dan pengadilan berkewajiban meyakinkan masyarakat akan kebenaran dan keabsahan posisinya.

27 April 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kuasa Sang Hakim SATJIPTO RAHARDJO SAYA kurang tahu persis bagaimana orang Indonesia menimbang-nimbang para hakimnya. Setahu saya, suatu penelitian tentang urutan penghargaan terhadap profesi dan jabatan di negeri ini belum ada dilakukan. Jadi, apakah hakim itu oleh orang Indonesia mau ditempatkan di puncak sedikit di bawah puncak, di tengah, di bawah, atau tidak masuk hitungan sama sekali, belum bisa diketahui juga. Dalam daftar favorit pembaca Monitor yang menjadi biang keladi terjerembabnya Arswendo, posisi hakim di Indonesia juga belum bisa diketahui. Beberapa waktu lalu, Arswendo diadili oleh sang hakim, dan itu tentunya tidak ada hubungannya dengan rasa iri hati para hakim karena mereka tak kebagian kursi di deretan 50 orang top versi tabloid yang sudah almarhum itu. Sang hakim mengadili Arswendo cuma karena itu memang sudah menjadi tugasnya. Majalah-majalah di negeri ini juga banyak laris, bukan karena mengekspos para hakim, melainkan karena iseng menghitung-hitung siapa termasuk 100 konglomerat kelas kakap, atau siapa manajer yang berharga jutaan rupiah. Maka, orang pun berebutlah ingin mengetahui tampang mereka itu. Kendati tak ditemukan bukti-bukti tertulis, sedikit banyak kita bisa mengintip posisi sosial para hakim, yaitu melalui suatu metode penelitian observasi, sekalipun cuma berkualitas murahan. Itu terjadi pada saat kita mengamati bagaimana orang Indonesia memberikan penghormatan kepada orang-orang yang dianggapnya penting dalam suatu acara publik, seperti rapat, seminar, atau simposium. Jika ada menteri atau dirjen masuk, bergegaslah hadirin berdiri. Tapi tak demikian jika yang masuk itu seorang hakim. Apakah itu berarti bahwa orang Indonesia lebih menghormati kekuasaan, tidak berani saya menyimpulkannya. Suatu orde-ningrat masih bisa memberikan penghargaan kepada para hakim dalam posisi yang terhormat. Seperti para hakim agung Inggris yang mendapat julukan lord itu. Mungkin juga nasib para hakim dalam orde-keraton lebih baik. Mungkin mereka di situ akan bergelar kanjeng raden tumenggung, saya juga kurang tahu persis. Para hakim memang berkuasa. Tapi itu baru sebatas ruang pengadilan saja. Di dalam ruang ini sang hakim memang benar-benar raja, karena kalau mengganggu jalannya sidang, seorang menteri pun bisa disuruhnya keluar. Duduk bertumpang kaki pun, kalau itu tak berkenan di hati sang pengadil, bisa diperintahkan keluar. Memang, dalam persidangan pengadilan di Inggris orang tak berani duduk bertumpang kaki. Begitulah mereka meghormati hakimnya. Terpikir bahwa penghayatan terhadap negara Indonesia yang berdasarkan hukum ini juga dicerminkan dalam penghormatan kita terhadap para hakim kita. Penghormatan terhadap kedudukan yang ada kaitannya dengan kekuasaan saja tentulah kurang tepat. Apalagi dalam Penjelasan UUD dikatakan, "ini adalah negara yang berdasarkan hukum, bukan kekuasaan semata". Dengan memberikan penghormatan yang semestinya kepada para hakim, mudah-mudahan hal itu akan bisa merupakan lambang bagi komitmen kita kepada nilai-nilai keadilan. Lalu apakah jika kita sudah berusaha memberikan tempat yang cukup terhormat kepada para hakim, lantas mereka bisa melenggang seenaknya atau tak perlu meyakinkan kepada masyarakat bahwa mereka itu memang pantas diberi kehormatan? Sebagai suatu institusi sosial, hakim dan pengadilan juga tak terbebas dari kewajiban untuk senantiasa meyakinkan publiknya akan kebenaran dan keabsahan posisinya. Karena itu, grafik penghormatan terhadap hakim juga bisa naik turun, kendati kepada mereka secara normatif sudah diberikan kedudukan yang terhormat dalam masyarakat. Satu hal yang perlu dicatat adalah tradisi kita yang gemar dibuai oleh pernyataan-pernyataan yang bersifat ideal dan kemudian menerima dan memperlakukannya sebagai suatu kenyataan. Idealisasi adalah bagian lumrah dari kehidupan sehari-hari, asal kita tetap sadar bahwa itu adalah idealisasi, bukan keadaan yang sebenarnya. Orang Indonesia suka memberikan atribut kepada hakimnya dengan sebutan muluk-muluk, yang mengesankan bahwa hakim itu sudah bukan "manusia biasa". Barangkali hal itu diperlukan karena masyarakat mengharapkan agar hakimnya bisa membuat prestasi yang baik dan besar sehingga perlu juga diciptakan mitos tentang hakim yang kualitasnya sudah jauh di atas manusia biasa itu. Mitos adalah mitos. Kita tak perlu kaget apabila ada hakim yang bertindak begini atau begitu yang sudah tak sesuai dengan gambarannya sebagai seorang besar yang memegang pusat keadilan. Kesadaran dan pemahaman sosiologis, bahwa hakim adalah manusia biasa yang tentunya juga berafiliasi dengan berbagai faktor seperti layaknya manusia biasa, seyogianya dimiliki masyarakat. Dengan demikian, apabila ada sekian hakim, akan ada sekian macam hakim pula, seperti ditentukan oleh latar belakang sosialnya, pendidikannya, religiositasnya bahkan juga afiliasinya dengan keluarganya. Tak ada keputusan hakim yang persis sama, kecuali hakim digantikan oleh mesin atau komputer. Keputusan hakim adalah keputusan manusia dengan sekalian kompleksitas psikologis dan sosialnya. Keadaan kompleks tersebut menjadi bertambah, sejak pengadilan menjadi suatu institusi dalam masyarakat, dan dengan demikian senantiasa berada dalam proses pertukaran dengan lingkungannya. Karena itu, sang hakim juga tak bisa menghindari keterlibatannya dalam suatu pertukaran dengan berbagai kekuatan yang terdapat di dalam masyarakat. Dalam hubungan ini, saya kira saya tak berdiri sendiri apabila mengharapkan agar kekuasaan kehakiman kita semakin menjadi kekuasaan yang bebas, kuat, dan berwibawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus