Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah orang berhenti menggunakan paylater setelah menyadari terjebak dalam lingkaran cicilan.
Paylater menjadi andalan anak muda karena mudah diakses dan bisa memenuhi hasrat konsumsi.
Perlu ada pengendalian diri dan tahu batasan mengenai kebutuhan ketika belanja.
Iming-iming belanja tanpa membayar ongkos kirim (ongkir) menggerakkan jempol Katrina Inandia untuk mengaktifkan paylater di salah satu marketplace favoritnya. Perempuan berusia 31 tahun ini terlena dengan promo voucher gratis ongkir yang bisa didapatkan bila mengaktifkan layanan menunda pembayaran itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekitar dua tahun lamanya Katrina menggunakan layanan tersebut untuk belanja kebutuhan rumah tangga hingga elektronik. Seiring dengan penggunaan yang rutin, saldo atau limit paylater-nya pun kian meningkat. Dari Rp 10 juta, saldo paylater-nya mencapai Rp 25 juta. "Tanpa gua sadari gua terjebak di lingkaran setan. Gua merasa untung, tapi ngeri-ngeri juga," kata Katrina kepada Tempo, Selasa, 6 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan limit besar, ibu anak satu ini merasa punya kesempatan untuk membeli lebih banyak barang. Ia bisa membeli ponsel hingga tablet baru. Saat itu, kata Katrina, harga yang dibayarkan bisa lebih murah ketimbang beli langsung di toko. Apalagi tiap habis melakukan transaksi produk digital, ia mendapat banyak koin yang dapat dimanfaatkan untuk belanja kebutuhan rumah tangga.
Katrina menyadari bahwa dirinya semakin konsumtif setelah melihat catatan pengeluaran bulanan yang membengkak. "Meskipun gua bayar langsung, lama-lama, kok, jadi banyak pengeluaran karena mencoba dapat keuntungan itu," ujar perempuan yang bekerja di salah satu perusahaan layanan keuangan ini.
Katrina Inandia. Dok pribadi
Katrina mulai tersadar bahwa dirinya terkena jebakan paylater saat berbincang dengan salah satu perencana keuangan di radio. Saat itu, ia iseng bertanya tentang keamanan penggunaan paylater dalam jangka panjang. "Terus dijawab, 'Berarti kamu berhasil dapat keuntungan, tapi ini enggak aman dan enggak sustainable.'"
Perencana keuangan itu menyadarkan Katrina bahwa, semakin rutin menggunakan paylater, limit akan terus bertambah dan membuat penggunanya tergugah belanja terus. "Jadi kayak kebawa mindset-nya berasa duitnya ada terus. Padahal itu bukan duit kita."
Sejak awal tahun ini, Katrina berhenti menggunakan paylater. Tagihan terakhirnya pada Desember 2022 sebesar Rp 15,8 juta telah ia lunasi. Warga Kabupaten Tangerang ini pun berusaha mengurangi pengeluaran bulanannya. Uang yang biasa ia gunakan untuk belanja pun dialihkan untuk investasi, seperti membeli obligasi.
Menurut Katrina, kesadaran untuk berhenti menggunakan paylater tidak hanya dari sisi keuangan. Ia sadar setelah melihat banyak barang di rumahnya menumpuk dan tidak terlalu dibutuhkan. Salah satunya tablet yang dia beli lewat metode paylater malah tak sering terpakai dan akhirnya dijual lagi.
Selain itu, biaya tambahan paylater di beberapa platform juga cukup tinggi. Katrina pernah sekali menggunakan paylater di platform lain untuk membeli makanan. Tapi setelah itu ia kapok karena total tagihannya melonjak hingga 25 persen dari jumlah dana yang dipakainya.
Besarnya biaya tambahan ini juga menjadi alasan Iiena Hidayati berhenti memakai paylater. Di salah satu marketplace, Iiena dikenai biaya tambahan sekitar 3,8-3,9 persen. Ia mengungkapkan, saat checkout barang dengan paylater, ada komponen total belanja dan biaya penanganan sebesar 1 persen. Namun saat muncul tagihan satu bulan pemakaian, perempuan berusi 32 tahun itu terkejut karena nominalnya lebih dari biaya saat checkout barang. "Ternyata ada kena charge lagi sekitar 2,8-2,9 persen karena dia ikutin suku bunga," ucapnya.
Kendati punya kartu kredit, Iiena mengaktifkan paylater karena tergiur promo gratis ongkir. Ia juga menggunakan layanan menunda pembayaran itu agar mudah melacak pengeluaran bulanannya. Namun, setelah pemakaian selama 7-8 bulan dengan limit Rp 6,5 juta, Iiena pun memutuskan berhenti. Ia kini hanya mengandalkan kartu kreditnya untuk belanja. Dibanding paylater, kata Iiena, tagihan kartu kredit tidak dikenakan biaya tambahan. "Bulanan pun enggak ada. Billing itu cuma bayar meterai Rp 10 ribu," kata dia.
Ilustrasi pengguna Pay Later. TEMPO/Ijar Karim
Meski paylater-nya tak lagi digunakan, pihak penyedia kerap menaikkan limitnya. Iiena menuturkan bahwa saldo paylater-nya kini sudah Rp 11,7 juta. Tapi ia tak tergoda untuk menggunakannya lagi. "Karena limit kartu kredit aku lebih gede," tuturnya.
Kisah Budi—bukan nama sebenarnya—lain lagi. Pria berusia 32 tahun yang enggan disebutkan namanya ini menggunakan lebih dari dua paylater sejak fenomena layanan ini muncul. Limitnya pun sudah di atas Rp 500 ribu.
Pria yang menetap di Depok ini mengaktifkan paylater di sejumlah platform karena penggunaannya yang tersegmentasi. Misalnya untuk travel, ada Traveloka Paylater. Sedangkan untuk mencicil barang, ia biasa menggunakan Kredivo atau Akulaku.
Budi menilai, paylater menjadi solusi untuk membeli barang-barang yang diinginkan. Ia mengaku tak tergiur oleh promo-promo yang diberikan penyedia. Sebab, penggunaannya pun lebih banyak untuk kebutuhan produktif, seperti membeli barang-barang elektronik untuk bekerja. "Misalnya mau smartphone merek X dengan harga Rp 5 juta. Cari saja yang cicilannya berapa kali dan DP yang sesuai dengan kantong. Kalau tidak, ya tunggu sampai sesuai target," ujar dia.
Memiliki banyak paylater, diakui Budi, kerap membuat bujet pengeluarannya berlebih. Ia juga pernah mengalami keterlambatan bayar hingga menundanya, bahkan sampai diperingatkan penagih utang untuk segera membayarnya.
Budi mengatakan, tagihannya di dua paylater kini sudah lunas dan masih ada dua lainnya yang aktif. Agar tak terjerat lingkaran utang, ia mengerem belanja dan hanya membeli barang sesuai dengan kebutuhan. "Berhitung cermat pengeluaran dan dalam membayar tagihan."
Paylater Digandrungi Anak Muda
Sistem pembayaran jangka pendek seperti paylater memang tengah digandrungi kawula muda. Dilansir dari The Conversation edisi 1 Juni 2023, paylater menjadi metode pembayaran andalan bagi generasi muda, seperti milenial dan Gen Z, karena mudah diakses.
Fakta ini juga seiring sejalan dengan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa Gen Z dan milenial adalah kelompok usia yang paling banyak berutang pada 2021, dengan nilai pinjaman online mencapai Rp 14,74 triliun. Survei perilaku keuangan generasi milenial dan Z oleh Katadata Insight Center (KIC) pada 2021 juga menemukan sebesar 13,8 persen anak muda menggunakan jasa paylater. Angka ini lebih besar ketimbang penggunaan kartu kredit yang hanya 7,6 persen.
Sebagai gambaran, survei juga menunjukkan 33,1 persen dari total 5.204 responden mengaku kondisi keuangannya memburuk selama masa pandemi. Lebih dari 60 persen menyebutkan bahwa situasi ini akibat pemutusan hubungan kerja dan pemasukan usaha yang menurun. Selain itu, sebesar 53,5 persen responden memiliki pengeluaran bulanan lebih besar daripada pendapatan mereka.
Hal ini menjadi gambaran mengapa banyak anak muda mengandalkan utang, khususnya jasa paylater yang mudah diakses secara digital, sebagai cara menyambung hidup.
Ilustrasi Pay Later. TEMPO/Ijar Karim
Perencana keuangan dan Head of Advisory Finansialku, Shierly, mengungkapkan bahwa penggunaan paylater menjadi tren salah satunya karena masyarakat Indonesia yang konsumtif. Di sisi lain, pandemi Covid-19 ditengarai menjadi pemicu layanan ini semakin populer. Bahkan, setelah pagebluk mereda, penggunaan paylater kian meningkat. "Kita bisa lihat Lebaran kemarin ada surveinya: tren penggunaan paylater mengalami peningkatan," tutur dia.
Alasan lainnya, mekanisme pembayaran paylater memberikan fleksibilitas. Pendaftarannya juga mudah dan dilakukan secara online. Shierly menjelaskan, paylater juga banyak menyasar anak muda karena fiturnya yang sesuai dengan gaya hidup mereka yang fleksibel, simpel, jelas, dan instan. Apalagi generasi Z dan milenial merupakan kelompok usia yang mudah punya kebutuhan.
Selain itu, paylater bisa membuat candu karena sifat adiktif itu sudah muncul sejak seseorang membuka marketplace di ponselnya. Sebab, secara ilmiah, kata Shierly, scrolling, browsing, maupun belanja bisa merilis dopamin dan membuat mood lebih baik.
Adapun untuk orang yang punya kontrol baik dan bujet keuangan yang kurang, mereka hanya akan berhenti sampai wishlist belanjaan yang banyak dan tidak dilanjutkan ke pembayaran. Sementara itu, bagi orang dengan kontrol belanja rendah, bisa lanjut hingga membeli barang tersebut. "Kalau kita lihat secara rantainya, scrolling membuat happy, tambah orang ada belanja masukin ke keranjang tambah happy, ketika sudah paylater artinya keinginan mereka terwujud ending-nya," katanya.
Menurut Shierly, perlu ada pengendalian diri dan tahu batasan mengenai kebutuhan. Literasi keuangan juga bisa membantu seseorang memiliki self control. "Uang ini kan sebagai alat pembayaran, tapi kalau tidak bisa dikelola dengan baik, jadinya kita yang dikontrol sama dia."
FRISKI RIANA | THE CONVERSATION
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo