Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cara Anak Muda Tampil Beda

Ketimbang membeli produk jadi, sebagian anak muda memilih membayar mahal dan menunggu lama untuk memiliki pakaian impian.

26 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Johan Malik. TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Deretan sepatu bermerek terkenal, seperti Nike dan Adidas, sejumlah tas mahal buatan Louis Vuitton, dan beberapa koper Rimowa menumpuk di salah satu ruangan di markas Never Too Lavish, Kelapa Dua, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Pada produk-produk branded dan mahal itu tertera lukisan cat minyak beraneka bentuk. Salah satunya gambar macan pada sebuah sepatu Nike tipe Roshe.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Ini pesanan orang semua, ada yang sudah selesai ada yang belum," kata Bernhard Suryaningrat, pendiri rumah produksi Never Too Lavish (NTL), kepada Tempo kemarin. Bagi orang kebanyakan, membuat lukisan pada sebuah sepatu yang harga barunya bisa di atas Rp 1 juta itu terkesan aneh. Apalagi, si pemilik harus membayar biaya yang hampir menyamai harga sepatunya itu untuk lukisan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi, kata Abenksapaan akrab Bernhardkustomisasi, seperti membuat lukisan di atas barang branded, justru jadi tren baru di kalangan anak muda Ibu Kota. "Sekarang orang semakin ingin tampil beda," kata dia. "Jadi gengsi punya barang branded, seperti LV (Louis Vuitton), akan semakin meningkat kalau ada detail personal pemiliknya, yang tak ada di tas sejenis milik orang lain."

Tingginya animo untuk kustomisasi itu terlihat dari jumlah pesanan yang diterima NTL. Abenk bersama 12 seniman lukis dan beberapa penjahit sepatu bisa mengerjakan 25-40 pesanan kustomisasi busana per bulan. Dan hampir pasti, produk busana yang "dititipkan" di NTL adalah barang bermerek. Harga jasa untuk kustomisasinya juga tak murah. Seorang pelanggan bisa mengeluarkan Rp 3–5 juta untuk sebuah lukisan pada tas atau sepatu. Makin besar dan detail bentuk lukisannya, makin mahal pula harganya.

Tak hanya membuat lukisan pada sepatu atau tas, NTL kerap menerima pesanan "aneh-aneh" dari konsumennya. Misalnya, mengganti material sepatu olahraga dengan kulit tas branded, sehingga tampak makin mewah. Tak sedikit juga konsumen yang ingin membuat lukisan pada jaket kulit, celana, atau helm sepeda motor. Lukisannya bisa berupa gambar superhero terkenal, potret tokoh-tokoh dunia, karakter kartun, hingga motif abstrak. "Ada juga konsumen yang minta foto diri mereka dilukis di barang yang mereka mau," ujar dia.

Antusiasme para anak muda dan orang-orang berduit Jakarta untuk tampil beda dengan produk custom terlihat dalam acara Custom Collaboration yang digelar di Kemang, September tahun lalu. Di sana para seniman dan pengusaha custom terkenal berkumpul sembari memamerkan dan menjual karyanya. Dari ahli modifikasi sepeda motor, kustomisasi produk busana seperti Abenk, hingga pembuat aksesori dan perhiasan tubuh.

Orang-orang yang datang dalam acara itu tak segan mengeluarkan banyak uang demi mendapatkan barang unik dan tiada duanya. Salah satu barang yang terjual cukup mahal di sana adalah sepasang sepatu merek Converse yang dimodifikasi oleh Adit The Bandits. Sepatu berwarna biru berbahan kanvas itu di pasar harganya tak lebih dari Rp 1 juta. Tapi setelah "ditangani" Adit, sepatu ini terjual hingga Rp 3 juta dalam lelang pada acara tersebut.

Tampilan sepatu itu memang berubah drastis. Bagian solnya jadi lebih tebal, menggunakan sol merek Vibram yang diproduksi di Jepang. Bagian depan dan sampingnya juga dilapisi kulit berwarna cokelat, sehingga terkesan mahal. "Gue juga sempat kaget ada orang yang berani beli harga segitu," ujar pria yang bernama asli Aditya Rahman itu, Rabu lalu.

Aditya adalah pengusaha custom yang berfokus pada urusan modifikasi sepatu. Pria berusia 42 tahun ini, awalnya memang seorang penggila dan kolektor sepatu. Salah satu merek sepatu favoritnya adalah Red Wings. "Gue belajar modifikasi sepatu karena iseng belajar ngebenerin sepatu bot Red Wings gue yang solnya mulai tipis." Tapi karena di Indonesia sulit mendapatkan sol pengganti yang kualitasnya sama, Adit sampai mendatangi distributor resmi Red Wings di Singapura dan Jepang.

Dari sekadar mereparasi sepatu kesayangan sendiri, Adit terdorong untuk mencoba modifikasi sepatu menggunakan sol sepatu yang ia beli dari Jepang itu. "Kayaknya unik kalo gue kombinasiin sol sepatu bot ke sepatu sneakers, atau sebaliknya," kata dia. Selama setahun, pada 2016, Adit mempelajari cara-cara memodifikasi sepatu dan memilih material sol yang cocok.

Awalnya sepatu-sepatu modifikasinya itu dipakai sendiri. "Tapi temen-temen banyak yang mau juga." Hal ini membangkitkan naluri bisnis pria yang pernah berprofesi sebagai arsitek itu. Dari rencana sekadar membuka toko dan jasa reparasi sepatu, Adit akhirnya menjalani bisnis modifikasi alas kaki dengan brand Frankenstein. Nama itu, ujar dia, diambil dari karakter monster buatan Frankenstein dalam novel The Modern Prometheus karya penulis Mary Shelley. "Sama kayak monster Frankenstein yang dibangkitkan dari mayat, kerjaan gue memberi nyawa untuk sepatu-sepatu yang udah rusak jadi bisa dipakai lagi," ujarnya.

Untuk jasa modifikasi dan perbaikan sepatu ini, Adit mematok harga minimal Rp 1,5 juta. Ini sudah termasuk penggantian sol menggunakan Vibram yang ia datangkan langsung dari luar negeri. Dia juga kerap melakukan penggantian material sepatu dari kanvas menjadi kulit atau memodifikasi ukuran. "Apa pun permintaan konsumen gue, kalo bisa ya gue kerjain."

Keunikan produk modifikasi buatan Never Too Lavish dan Frankenstein tak hanya menarik minat anak muda dan kolektor barang bermerek. Sejumlah pesohor juga beberapa kali memesan produk modifikasi ke Abenk maupun Adit. Bahkan, pada tahun lalu Abenk pernah diminta Presiden Joko Widodo untuk membuat jaket jins.

Jaket bertulisan Indonesia dan bergambar peta kepulauan Nusantara itu dipakai Jokowi saat blusukan di Sukabumi menggunakan sepeda motor chopper custom karya rumah modifikasi Elders Garage. Selain Jokowi, pelanggan Abenk berasal dari kalangan artis, misalnya Tompi dan Armand Maulana. Begitu juga dengan Adit yang kerap dimintai memodifikasi sepatu oleh para pesohor. "Imam Darto dan Rio Dewanto pernah pesan ke gue," tutur Adit.

Selain sepatu, tas, dan jaket, produk busana kustomisasi yang makin banyak peminatnya adalah celana jins. Berbeda dengan celana jins buatan pabrik, celana jins custom yang belakangan populer di kalangan anak muda menggunakan bahan denim selvedge. "Bedanya bahan denim selvedge dengan denim biasa itu pada bagian tepian kainnya. Selvedge itu dianyam sehingga lebih rapi," ujar Faisal Kamil, 22 tahun, pendiri rumah produksi jins custom, Adelaide Denim.

Bahan selvedge ini terhitung cukup langka dan karena sudah jarang diproduksi. "Ini membuat peminatnya semakin banyak." Faisal juga hanya menggunakan bahan denim yang masih mentah, atau belum diproses oleh pabrik. Bahan semacam ini nantinya akan menghasilkan motif pudar khas celana jins yang berbeda-beda. "Tergantung intensitas pemakaian, sampai bentuk potongan celana, dan kaki pemakainya," kata Faisal.

Tak hanya menawarkan bahan denim yang terhitung eksklusif dan unik, bisnis kustomisasi celana jins, seperti yang dilakukan Faisal, juga menjanjikan kelebihan lain. "Paling utama soal ketepatan ukuran." Menurut pria yang masih berstatus mahasiswa teknik industri Universitas Trisakti ini, biasanya pembeli celana jins bermerek pada umumnya harus memotong bagian ujung celana karena kepanjangan. Atau ukuran lingkar pinggang dan pahanya tak sesuai, jadi harus dipermak ulang. "Kalau custom sudah pasti pas, karena diukur secara akurat."

Faisal pun menjanjikan bentuk celana yang sesuai dengan pemakainya. Asal tahu saja, kata dia, bentuk kaki setiap orang berbeda-beda. "Model celana juga disesuaikan dengan bentuk kakinya." Selain lebih nyaman, potongannya juga semakin pas. Ia juga menawarkan opsi kustomisasi lain, seperti jenis dan warna benang, bentuk saku, serta pilihan kancing dan ritsleting. "Konsumen bisa memilih sesuai dengan kepribadian mereka."

Produk busana yang bisa mencerminkan kepribadian penggunanya plus eksklusivitas barang yang tiada dua lah, yang menurut fashion blogger Johan Malik, jadi salah satu pendorong tren busana custom. "Budaya custom ini memang munculnya dari anak-anak motor yang gemar modifikasi," kata Johan. Dari sana, semangat memodifikasi atau memproduksi barang sendiri merambah ke fashion. "Didukung komunitas yang solid, trennya jadi semakin menyebar."

Menurut Johan, kini para seniman dan pengusaha produk busana custom di Indonesia sudah setara dengan produsen luar negeri. "Dari segi desain dan kualitas, menurut gue, enggak kalah," tuturnya. Tapi memang, ujar dia, kelemahan para seniman custom di Indonesia itu bahan bakunya kebanyakan masih harus diimpor. "Tapi yang penting kan ini made in Indonesia."

Untuk menggaungkan semangat made in Indonesia dan mempopulerkan budaya custom itu, Johan bersama para pengusaha dan seniman kustom berencana akan kembali mengadakan Custom Collaboration pada pertengahan tahun ini. Acara ini, kata dia, juga bertujuan agar membangkitkan kebanggaan pada masyarakat untuk menggunakan produk-produk dalam negeri. "Komunitas custom ini butuh momentum lebih besar lagi supaya meledak. Gue yakin ke depan custom culture Indonesia bakal mendunia." PRAGA UTAMA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus