Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Carilah Listrik Sampai ke Cina

Raksasa listrik Cina menawarkan peralatan, teknologi, dan dana. Pengawasan mesti ekstrahati-hati.

26 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TURBIN berdiameter dua meter itu dipajang di pameran Infrastructure Asia 2010 di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, dua pekan lalu. Pemiliknya PT Zug Industry Indonesia, perusahaan patungan Indonesia-Cina. Berdiri pada 2003, Zug Industry dimotori oleh Oberlin Tech Co. Ltd.—Taiwan Kenda Rubber Group’s Company—dan Panca Prima Engineering.

Turbin, juga generator dan trafo, merupakan komponen pembangkit listrik yang masih didatangkan dari mancanegara. Direktur Perencanaan dan Teknologi PT PLN (Persero), Nasri Sebayang, mengatakan pabrik lokal belum bisa membuatnya. ”Kalaupun bisa, paling turbin dengan kapasitas kurang dari sepuluh megawatt.”

Belakangan ini komponen pembangkit dan teknologi listrik memang didatangkan dari Cina. Sebelumnya, sejak 1960-an, semua buatan Jepang. Perusahaan setrum dari negara itu pun berbondong-bondong berinvestasi di sini. Lihat saja megaproyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt tahap pertama, yang didominasi pemain asal Negeri Tembok Raksasa itu.

Cina pertama kali main setrum di sini pada 1980-an. Ketika itu dua perusahaan besar mereka menjadi kontraktor di tiga pembangkit. Chengda Engineering Corporation of China berinvestasi di PLTGU Palembang Timur (150 megawatt) dan PLTU Cilacap, Jawa Tengah (2x300 megawatt). China Huadian Engineering Corp. membangun PLTA Asahan Unit I (2x90 megawatt) di Sumatera Utara.

Namun pemerintah menghentikan proyek itu pada masa krisis moneter, 1997-1998. Ketiga pembangkit itu termasuk dalam 27 proyek listrik swasta, alias independent power producer, yang ditunda. Begitu krisis reda, pada 2002, pemerintah meminta PLN melakukan perundingan ulang. Pembangunan PLTGU Palembang Timur, PLTU Cilacap, dan PLTA Asahan 1 pun berlanjut, dan beroperasi pada 2003.

Indonesia memang membuka lebar pintu penanaman modal dari Cina. Pada April 2006, ketika rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla berkunjung ke negara itu, ada pertemuan khusus dengan para pengusaha lokal. Di situlah direksi PLN, dipimpin Eddie Widiono, mengundang investor. Kebetulan perusahaan listrik ini sedang merencanakan percepatan program pembangunan pembangkit 10 ribu megawatt.

Para pengusaha RRC langsung menanggapi. Mereka beriktikad ikut, dengan mengusung teknologi Cina. Pada saat itu juga ditandatangani enam nota kesepahaman antara PLN dan raksasa listrik seperti Dongfang Electric Corporation, Harbin Electric Corporation, Shanghai Electric power Co. Ltd., Huadian, dan Chengda.

Kini teknologi Cina menjadi alternatif. Nasri Sebayang menambahkan, beberapa kontraktor lokal yang mengikuti tender pembangunan pembangkit pun menawarkan teknologi Cina. Alasannya simpel: murah.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia A. Santoso, di Cina komponen seperti turbin berkapasitas sekitar 50 megawatt tak laku. Pembangkit yang dibangun di negara itu berdaya jumbo, di atas 500 megawatt, bahkan seribu megawatt. Kapasitas kecil dinilai tak efisien. Akibatnya, pabrikan yang memproduksi komponen kecil kehilangan pasar lokal.

Karena itu mereka membentangkan sayap ke luar negeri. Vietnam, India, dan Turki merupakan pasar lama Cina. Sekarang mereka membidik Indonesia, yang sedang mabuk membangun pembangkit. Neraca setrum nasional memang masih timpang. Pertumbuhan konsumsi sekitar 7 persen, tak sepadan dengan pembangunan pembangkit baru.

Tahun ini diperkirakan kapasitas terpasang listrik cuma 31.608 megawatt. Padahal kebutuhannya mencapai 45.064 megawatt. Pemerintah maraton mengatasi ketertinggalan itu melalui program kilat. Belum selesai program 10 ribu megawatt tahap pertama, pemerintah sudah merencanakan tahap kedua. Pasar inilah yang diincar Cina. ”Ujung-ujungnya, Indonesia menjadi pasar,” kata Santoso.

Toh, dia memberikan sinyal kuning kepada kontraktor Indonesia yang ingin berbelanja ke Cina. ”Mesti ekstrahati-hati dalam memilih. Ada barang KW1, 2, dan 3.” Pembeli harus memahami pengetahuan teknis. Bila tak hati-hati, bisa-bisa dapat barang jelek dengan harga mahal.

Kasus PLTU Labuhan Angin bisa dijadikan contoh. Pembangkit berkapasitas 2x115 megawatt di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, itu dibangun China National Machinery & Equipment Corp. Belum juga beroperasi komersial, salah satu alat rusak dalam proses pengujian, Maret 2009. PLN pun meminta kontraktor mengganti.

Pekan lalu dua perusahaan Cina lolos tahap kualifikasi—bersama lima perusahaan asal Jepang, Korea, dan Prancis—dalam proses lelang pembangunan PLTU Pemalang di Jawa Tengah. Di sana akan dibangun kilang listrik berkapasitas 2x1.000 megawatt senilai US$ 3 miliar. Proyek ini memakai skema kerja sama pemerintah-swasta.

Nasri Sebayang mengatakan PLN sedang memonitor pembangkit-pembangkit bikinan Cina. Dua di antaranya, PLTU Banten II di Labuan dan PLTU Labuhan Angin, baru diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 28 Januari lalu.

Menurut Nasri, mengevaluasi pembangkit tidak cukup setahun-dua. Apalagi pembangkit yang direncanakan berumur 30 tahun. ”Kami akan memantau kualitasnya dalam jangka panjang.”

Kasus Labuhan Angin, dia menambahkan, tak bisa serta-merta disimpulkan bahwa pembangkit tersebut buruk atau rusak. Sebab, usia pembangkit belum setahun. Gangguan di pembangkit tersebut, menurut dia, masih dalam taraf wajar. ”Pembangkit yang belum setahun kerap punya persoalan,” katanya. ”Yang penting, bukan gangguan prinsipiil.”

Penentu kualitas, kata Nasri, adalah pemilik. Apakah menginginkan KW1, KW2, atau KW3. Kuncinya ada di spesifikasi yang dipersyaratkan, dan pengawasan. Prosedur seperti ini berlaku terhadap semua pekerjaan. Pembangkit buatan negara lain pun tak terjamin sesuai dengan pesanan. Pengawas harus berani menolak bila spesifikasi tak sesuai.

Masalah pembiayaan juga sempat menjadi perdebatan alot, kendati kerja sama pemberian pinjaman telah diteken. Perbankan Negeri Panda meminta garansi penuh dari pemerintah Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tentu menolak keras. Jaminan pemerintah, kata Sri Mulyani, adalah dengan mengamankan kas PLN. Artinya, perusahaan negara ini dipastikan mampu membeli setrum yang nanti diproduksi.

Nasri bercerita, suatu kali Cina menyodorkan kredit konsesional yang ketat. Rencananya, dana itu akan dipakai untuk membangun PLTU Parit Baru di Kalimantan Barat (2x50 megawatt). Syaratnya, tidak boleh ada peserta lain kecuali perusahaan Cina. Namun PLN membatalkan proses lelang. Soalnya, peserta menawarkan harga yang lebih tinggi ketimbang nilai pinjaman.

Pembangkit Hasil Investasi Cina

PLTU SURALAYA, BANTEN
Kapasitas: 600 megawatt
Investor: Konsorsium China National Technical Import and Export Corp.
Investasi: US$ 473 juta (Rp 4,384 triliun)

PLTU PAITON, JAWA TIMUR
Kapasitas: 600 megawatt
Investor: Konsorsium Harbin Electric Corporation
Investasi: sekitar US$ 522 juta (Rp 4,838 triliun)

PLTU INDRAMAYU, JAWA BARAT
Kapasitas: 3x300 megawatt
Investor: China National Machinery Industry Corp. (Sinomach)

PLTU BANTEN 2, DI LABUAN, BANTEN
Kapasitas: 2x300 megawatt
Investor: Konsorsium Chengda Engineering Corporation of China

PLTU TANJUNG AWAR-AWAR, JAWA TIMUR
Kapasitas: 2x300 megawatt
Investor: China National Machinery Industry Corp. (Sinomach)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus