Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENAM puluh dua perusahaan Cina memenuhi arena Bandung Intertex 2010 di Gedung Pusat Niaga, Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, Kamis pekan lalu. Di depan stan masing-masing, mereka memamerkan mesin-mesin tekstil dan menatanya dengan rapi. Perusahaan-perusahaan asal Negeri Tirai Bambu itu bersaing dengan peserta lain dari Eropa dan Asia di ajang pameran khusus mesin tekstil dan garmen tersebut.
”Peserta paling banyak dari Cina,” kata Purwono, Direktur Pengembangan Bisnis PT Peraga Nusantara Jaya Sakti, penyelenggara Bandung Intertex, kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Dominasi perusahaan dari Cina dalam pameran yang semula biasa digelar di Bandung ini telah berlangsung sejak 2004. Biasanya, dalam pameran ini, pesaing berat berasal dari Jerman dan Italia (Eropa), serta Jepang, Korea, Taiwan, dan India (Asia). Tapi kali ini Jerman hanya mengirim 54 perusahaan, India 45 perusahaan, Italia 40 perusahaan, dan Jepang 16 perusahaan. Sisanya beberapa perusahaan dari Belanda, Prancis, Belgia, Swedia, Turki, dan Inggris.
Dalam industri pembuatan mesin tekstil dan garmen global, perusahaan Cina tampaknya telah menjadi kekuatan baru yang layak diperhitungkan. Meski belum bisa mengalahkan mesin buatan Eropa, mereka sudah menandingi buatan India, Jepang, Korea, dan Taiwan. Setidaknya itu terlihat dalam Bandung Intertex tadi. Perusahaan dari Cina sangat percaya diri dan agresif menawarkan mesin-mesin, dari mesin pintal, mesin rajut, mesin tenun, hingga mesin jahit dan mesin bordir. Selisih harganya 20-30 persen dari harga mesin buatan perusahaan Eropa. Tentu saja harga diskon itu lumayan aduhai buat calon pembeli yang kebanyakan pengusaha nasional yang memasarkan tekstil dan garmennya di pasar dalam negeri.
Perusahaan-perusahaan Cina juga membawa China Textile Machinery Technology Cooperation ke ajang pameran dua tahunan ini. Perusahaan itu badan usaha milik negara Cina yang biasa memberikan pembiayaan kredit untuk industri tekstil di negerinya. Perusahaan tekstil di Cina bisa mengangsur pembelian mesin pada perusahaan itu secara bertahap dengan bunga kredit 4-5 persen per tahun, lebih rendah daripada perbankan Indonesia. Kini, di Jakarta, lembaga pembiayaan industri tekstil Cina itu menawarkan program pembiayaan mesin tekstil kepada perusahaan Indonesia. ”Skemanya bisnis ke bisnis. Mereka tidak meminta jaminan pemerintah dan Menteri Keuangan,” kata Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia untuk Jawa Barat, Ade Sudrajat, kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Benny Soetrisno menambahkan, sudah ada 50 perusahaan tekstil dan garmen Indonesia yang memanfaatkan pendanaan dari Cina. ”Termasuk perusahaan saya, yang membeli mesin pemintal, tenun, dan rajut,” ujar Direktur Utama PT Apac Inti Corporation ini. ” Ada pengurangan biaya produksi dan hasilnya cukup berkualitas.”
Di Indonesia, mesin tekstil dan garmen asal Cina terus menancapkan kukunya sejak pertengahan 2008. Beberapa pengusaha di Jawa telah memanfaatkan skema pendanaan dari China Textile Machinery Technology Cooperation tadi. Penawaran itu menarik lantaran perbankan nasional masih alergi memberikan pembiayaan kredit kepada industri tekstil. Kalaupun ada, suku bunganya tinggi, sekitar 14 persen per tahun. ”Perbankan lokal masih memandang sebelah mata kepada industri tekstil dengan mengkategorikannya sebagai sunset industry,” ujar seorang pengusaha tekstil.
Industri dan produk tekstil nasional bisa dibilang sudah menderita selama satu dekade. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhannya cenderung melambat. Penyebabnya, menurut Menteri Perindustrian Muhammad Sulaeman Hidayat, di Jakarta pekan lalu, mesin industri tekstil dan produk tekstil di dalam negeri sebagian besar sudah tua, rata-rata berumur lebih dari 20 tahun. ”Padahal pesaing Indonesia, seperti Vietnam, Bangladesh, Thailand, dan Cina, telah menggunakan mesin berteknologi baru,” katanya.
Dengan mesin uzur, kata Benny, tentu saja produsen tekstil nasional kesulitan memproduksi barang sesuai dengan kebutuhan pasar global. Daya saing produk menjadi rendah di pasar lokal dan ekspor jika dibandingkan dengan kompetitor seperti India, Cina, dan Vietnam. ”Dengan negara lain saja sulit bersaing, apalagi dengan Cina,” ujarnya.
Industri tekstil dan produk tekstil nasional juga belum terintegrasi dari hulu sampai hilir. Hampir tidak ada perusahaan nasional yang memproduksi mesin tekstil. Bandingkan dengan industri tekstil di Cina, yang telah terintegrasi, dari produksi bahan baku penolong sampai garmen, serta mempunyai industri mesin tekstil. Pemerintahnya pun, kata dia, menjamin keamanan bahan bakar energi dan pasokan listrik untuk industri, sehingga biaya produksi makin efisien.
Kondisi ini bertolak belakang dengan Indonesia. Beberapa kebijakan pemerintah justru memperlemah kondisi industri tekstil dan produk tekstil nasional, seperti minimnya pasokan listrik dan energi, kurangnya koordinasi pengusaha swasta dengan pemerintah, serta tumpang-tindihnya kebijakan dan aturan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tentu saja, agar industri tekstil nasional bisa hidup lagi, pembenahan dan dukungan pemerintah menjadi keniscayaan. Kementerian Perindustrian memang sudah membuat program restrukturisasi mesin tekstil. Skemanya, industri yang membeli mesin baru akan mendapat bantuan potongan harga 10 persen dari nilai investasi mesin.
Restrukturisasi mesin tekstil ini sudah berjalan sejak 2007 dengan peserta 92 perusahaan. Tahun berikutnya, pesertanya meningkat menjadi 175 perusahaan. Tahun lalu, ada 210 perusahaan yang ikut program restrukturisasi mesin tekstil. Sejauh ini hasilnya lumayan, meski belum memuaskan. Dalam tiga tahun, ada penambahan tenaga kerja 42 ribu orang dan peningkatan produksi tekstil rata-rata 17-18 persen. Tahun ini, Kementerian Perindustrian kembali mengalokasikan anggaran Rp 144,35 miliar untuk restrukturisasi mesin. Memang, restrukturisasi mesin tidak serta-merta membuat daya saing produk tekstil dan garmen melonjak tajam, terlebih melawan produk tekstil dari Cina. ”Tapi lebih baik, daripada tidak melakukan upaya sama sekali,” kata Ade.
Cina bukan saja pemasok mesin tekstil andal, tapi juga salah satu produsen tekstil dan turunannya yang terbesar di dunia. Kapasitas produksi tekstil di Cina lebih dari 20 kali lipat kapasitas produksi industri tekstil Indonesia, yang hanya 6,2 juta ton per tahun. Nilai ekspor tekstil Cina ke seluruh dunia mencapai US$ 187 miliar pada 2009. Bandingkan dengan rata-rata nilai ekspor kita, yang hanya US$ 10 miliar per tahun.
Kini tekstil Cina dan produknya—termasuk barang selundupan—sudah merangsek pasar Indonesia. Sampai tahun lalu, produk tekstil Cina telah menguasai 40 persen dari total nilai pasar tekstil di Indonesia, sebesar Rp 70 triliun. Ada atau tidak ada Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-Cina, garmen Cina akan terus membanjiri pasar Indonesia. Menurut Benny, masuknya barang Cina tak bisa dihindari. Para pengusaha tekstil Indonesia harus bisa memanfaatkan kerja sama ASEAN-Cina. ”Kita bisa memanfaatkan pengadaan mesin dari Cina, termasuk bahan baku penolong seperti zat pewarna,” katanya.
Sebaliknya, Cina membutuhkan benang dan kapas sehingga Indonesia bisa memanfaatkannya sebagai peluang ekspor. Ade mengiyakan pendapat Benny. ”Yang terpenting sekarang bagaimana menyelaraskan hubungan Indonesia dan ASEAN dengan Cina di sektor tekstil,” katanya. Kini bola ada di kaki para pengusaha nasional. Mereka yang mampu memanfaatkan peluang akan bisa bertahan dalam persaingan dan, sebaliknya, yang tak bisa bersaing akan gugur dengan sendirinya.
Asumsi penjualan tekstil dan
produk tekstil domestik (rupiah)
2010 | 63 triliun |
2011 | 71 triliun |
2012 | 79 triliun |
2013 | 89 triliun |
2014 | 101 triliun |
Asumsi jika tak ada kebijakan yang mendukung
produksi industri dalam negeri (rupiah)
2010 | 46 triliun |
2011 | 42 triliun |
2012 | 41 triliun |
2013 | 40 triliun |
2014 | 38 triliun |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo