TAK banyak orang Indonesia ke Israel. Tapi dengan bantuan
Kontingen Indonesia di UNEF (pasukan darurat PBB untuk Sinai),
beberapa bari setelah melakukan umrah dan bersembahyang di
Mesjid Al-Haram di Mekah, Salim Said, berhasil masuk ke negeri
yang kini menguasai Masjid Al Aqsa itu. Di bawah ini adalah
kesan-kesannya:
DI "Tembok Tangis (tempat tersuci bagi orang Yahudi) di kota
lama Jrusalem, banyak orang berkulit hitam nampak sedang
berdoa. Yahudi berkulit hitam? "Ya, mereka berasal darifrika
Selatan," kata seorang petugas. Katanya pula: "Bangsa Israel
adalah orang Yahudi yang datang dari mana-mana. Pengaruh
lingkungan hidup asal mereka itu tidak bisa mereka hindari."
Termasuk dalam hal kebiasaan makan. Mencari makanan khas Israel
karenanya tidak ada di Israel. Konon karena kebiasaan makan dari
tempat asal orang Yahudi itu tetap mereka pertahankan, hingga
segala macam makanan ada di sini.
Dan ini: di Tel Aviv juga ada restoran Indonesia. Yang punya
Yahudi Belanda yang pernah tinggal di Indonesia.
Adakah persoalan sosial yang timbul akibat perbedaan itu? Bukan
rahasia lagi bahwa perpindahan kembali dari Israel ke Amerika
Selatan sudah sejak lama terjadi. Kebanyakan yang pergi itu
adalah imigran dari Eropa Timur atau negara-negara dunia ketiga.
Mereka ini mengalami kesulitan dalam bersaing dengan orang-orang
Yahudi dari Eropa Barat dan Amerika atau Kanada.
Di mata orang Palestina yang di Israel, perbedaan pada
orang-orang Yahudi Itu merupakan suatu "bom waktu". Kata seorang
Palestina di Jerusalem: "Selama masih ada apa yang mereka anggap
sebagai ancaman Arab, selama itu perbedaan yang menyolok masih
bisa diatasi akibat-akibatnya. Bila mereka berada dalam keadaan
damai, mereka pun akan saling berkelahi.
Karena itulah orang ini tidak percaya Israel ingin damai. "Damai
berarti bunuh diri," katanya.
Tapi dr Muhsin, orang Palestina lulusan Universitas Kairo, meski
juga kurang percaya pada niat damai Israel, ingin betul melihat
perdamaian itu tercapai. Selain untuk ketenteraman dan keamanan
-- kekayaan keluarganya banyak sekali yang disita oleh
pemerintah Israel -- juga untuk melihat "perkelahian di antara
orang Yahudi" itu.
Kata yang paling banyak terdengar di Israel adalah "keamanan".
Israel dikitari oleh negara-negara yang bermusuhan dengannya
--dan kemudian merebut wilayah para tetangga itu. Mungkin dengan
harapan orang lain dapat ikut merasakan dekatnya "ancaman
keamanan" itu, tamu sering dibawa ke bukit Golan, dulu milik
Suriah. Dari atas bukit Golan ini Suriah memang dengan gampang
bisa menembaki siapa saja yang berada di bawah. Dan di bawah
sana itu orang Israel penduduk kota Tiberia terlihat jelas.
Dengan teropong yang paling sederhana saja para penumpang kapal
pesiar di danau Galilei bisa kelihatan menyulut rokoknya.
Sisa-sisa bunker Suriah masih terlihat di mana-mana di bukit
ini. Tapi nun di atas sana, permuklman dan penghiauan relah
dilakukan oleh Israel. Alasannya? Keamanan.
Tapi dengan senjata-senjata modern yang dipunyai negara-negara
Arab, masihkah keamanan yang bertumpu pada geografi macam ini
berguna?
Kota Jerusalem sebelum tahun 1967 terbagi dua, seperti kota
Berlin. Yang satu di bawah Yordania, yang lainnya Israel. "yang
pertama kali kami lakukan setelah merebut kota ini adalah
meruntuhkan tembok-tembok," kata Davis, dari kantor perdana
menteri.
Tapi tembok lain yang tak nampak hingga kini masih membagi kota
suci itu. Di bagian timur sektor Yordania dahulu, orang
Palestina hidup sebagai orang jajahan. Mereka sama sekali tidak
punya kontak dengan orang Yahudi. Mereka punya koran sendiri,
sekolah, rumah sakit serta pasar sendiri.
Itu tidak berarti mereka bisa hidup tenteram. "Setiap saat
polisi Israel bisa datang menangkap saya di sini. Alasannya bisa
macam-macam. Bom meledak di kota lamalah, atau bahan peledak
diketemukan di sebuah gedunglah." Begitu cerita Fuad Hamid, yang
sehari-harinya bekerja sebagai kerani pada sebuah kantor dagang,
di sektor Palestina kota Jerusalem.
Kecuali di wilayah pendudukan -- tepian barat dan Gaza -- di
Israel orang Palestina sudah hampir habis. Mereka itulah yang
tadinya merupakan korban pengusiran, halus maupun kasar, selama
sekian puluh tahun. Sekarang pun jika ada orang Palestina yang
akan pergi ke Amerika, misalnya, pemerintah Israel secara
diam-diam memberikan bantuannya.
Suatu perkecualian terdapat di Nazareth. Di kota ini bisa
ditemukan sejumlah orang Arab beragama Kristen yang telah jadi
warga negara Israel. Sebagian besar dari mereka adalah anggota
Partai Komunis yang di Knesset selalu mendesak agar Israel
melepaskan tepian barat dan Gaza.
Karena sikapnya itulah maka orang-orang Nazareth itu dicurigai.
Semua warganegara Israel yang berdarah Palestina tidak
dibolehkan menjadi tentara pada negara Israel -- justru yang
menganut sistim milisi.
Tapi harus diakui juga, bahwa di Israel kebebasan berbeda
pendapat cukup luas -- sementara negeri ini selalu bicara
securit dan tegang oleh ancaman perang. Dan bagi seorang
Indonesia, yang juga menyolok adalah gaya hidup sederhana
orang-orang pemerintahnya.
Dalam suatu makan siang di sebuah restoran dengan Amnon Ben
Yohannan, Kepala bagian Asia dan Oceania Deplu Israel, nampak
oleh saya: selain Dubes Yohannan, cuma pelayan restosan saja
yang memakai dasi di restoran meah itu. "Di Israel cuma pegawai
Deplu saja yang paling rajin memakai dasi," kata seorang pejabat
kantor perdana menteri.
Mungkin benar: Beberapa hari yang lalu ketika Begin tiba di
lapangan terbang Ben Gurion dari Camp David, kecuali beberapa
orang tua dan para Rabbi serta para duta besar negara asing,
hampir semua penjemput Begin -- termasuk para menteri kabinet
--cuma menggunakan kemeja lengan pendek tanpa dasi. Beberapa
bahkan cuma memakai baju kaos.
Tapi dalam satu hal kabinet Israel punya persamaan dengan
kabinet Indonesia. Para menteri kedua negara samasarna
menggunakan mobil Volvo. Mercedes tidak boleh dipakai oleh
pejabat. Alasannya: Mercedes itu dulu kendaraan Hitler.
Jerusalem? Tentu ke mesjid Al Aqsa. Itu sudah pasti. Mesjid tua
itu masih berdiri kokoh di sana bersama sejumlah tempat suci.
Warnanya kelihatan kusam seperti kurang terpelihara, meski
penjaganya (orang Islam Palestina berpistol) cukup galak
memeriksa pengunjungnya.
Moslem? Mau sembahyang? Yang boleh masuk cuma yang beragama
Islam. Bagaimana tahunya Islam atau bukan? Gampang. Ucapkan dua
kalimat syahadat.
Beberapa meter dari mesjid tua ini terletak mesjid Umar yang
penuh warna-warni dengan hiasan yang bermotifkan huruf Arab.
Dalam mesjid Umar inilah adanya batu yang dipercayai sebagai
pijakan nabi Muhamad tatkala memulai perjalanannya ke langit
pada saat mikraj lebih seribu tahun yang lalu.
Berapa usia mesjid-mesjid ini? Mesjid Umar jelas dibangun
setelah penyebaran Islam. Tapi Al Aqsa tidak seorang pun tahu.
Mesjid itu adalah bagian utuh dari kota lama yang ada di situ
sejak ribuan tahun silam.
Al Aqsa lebih besar dari mesjid Umar. Kendati demikian ia
nampaknya cuma bisa menampung ratusan jemaah. Dan karena Al
Aqsha ini mesjid suci dan kiblat pertama ummat Islam -- sebelum
Ka'abah di Mekah -- maka pada tiap sembahyang Jumat atau
sembahyang lebaran, imam berada di mesjid tua itu. Jemaah yang
selalu melimpah ruah sebagian besar harus memenuhi halaman dua
mesjid.
Masih dalam lingkungan kota lama-dilingkari oleh benteng yang
mirip benteng kompleks istana Kasunanan di Surakarta -- juga
bisa ditemui dinding tempat orang Yahudi berdoa. Terletak agak
ke bawah, kabarnya orang Israel pertama yang berdoa di situ
adalah Moshe Dayan, yakni beberapa menit setelah kota lama itu
direbut dari tangan Yordania pada perang tahun 1967.
Meski tempat berdoa orang Yahudi itu bernama "Tembok Tangis",
mereka nampaknya tidak meraung-raung di situ. Dari jauh mereka
terlihat khusyuk berdiri sambil merapatkan kening serta kedua
tapak tangan pada dinding yang sudah berusia ribuan tahun itu.
Tidak terdengar suara keras. Cuma kemudian mereka kelihatan
sibuk mengorek selasela batu dinding. Mereka rupanya menyelipkan
kertas yang ditulisi dengan doa serta permintaan kepada Tuhan.
Ketika saya mendekati tembok itu menggunakan tutup kepala
khasyahudi tapi tak berdoa -- memang nampak banyak gumpalan
kertas yang memenuhi sela-sela batu dinding. Shalom Alaihem.
Ruat orang Kristen dari aliran atau sekte mana saja, dalam kota
lama ini juga ada tempat suci bagi mereka. Masih ingat gereja St
Spulcer yang dikunjungi Presiden Sadat ketika berada di
Jerusalem Nopember tahun silam? Nah, gereja itulah satu-satunya
tempat ibadat yang memungkinkan segala jenis pengikut Kristus
bertemu, meski masing-masing dalam ruang tersendiri.
Tidak jauh dari gereja ini anda bisa melihat Golgota, tempat
yang dipercayai sebagai arena penyaliban Yesus. Tapi Golgota
sekarang tidak lebih dari salah satu bagian kota lama yang juga
ramai dengan tawar menawar antara turis dan pedagang Palestina.
Apakah pemerintah Israel punya rencana sistimatis untuk
menghancurkan Al Aqsha dengan menggali fondasinya? Tentu saja
mereka menyangkal. Penggalian memang nampak di sisi mesjid itu,
dan bisa dianggap mengkhawatirkan. Tapi penggalian arkeologis
macam itu bukan saja terjadi di kota lama. Di mana-mana.
Nampaknya itu dilakukan oleh Israel untuk mencari pembenaran
sejarah bahwa tanah Palestina itu dulu dibangun oleh nenek
moyang bangsa Israel. Terutama kaum Zionis-nya memakai alasan
sejarah, dan Kitab Suci, untuk tinggal di negeri yang mereka
kuasai sekarang setelah mengusir orang Palestina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini