Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Darah Tidak Tumpah. Sumpah

Sekembali dari Camp David, Menachem Begin dan Anwar Sadat disambut sebagai pahlawan pembawa damai dan pengkhianat oleh rakyatnya. Parlemen Israel menyetujui hasil perundingan, negara-negara Arab belum bersepakat.

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESAWAT jumbo 747 milik El Al yang dinanti itu adalah pesawat penerbangan komersiil biasa dari New York ke Tel Aviv. Tapi kali ini ia membikin kehidupan di Israel seakan terhenti. Orang berkumpul di lapangan terbang Ben Gurion atau mengerumuni televisi. Perdana Menteri Manachem Begin menuju pulang, dari Camp David. Dan Begin tiba dengan selamat beberapa jam sebelum Sabbath mulai. Pada waktu itulah mulainya suatu babakan baru dalam karir politiknya. Berlainan dari biasanya, sebagian besar pembesar yang menjemput sang perdana menteri mendapat hadiah ciuman. "Dia betul-betul memerlukan dukungan," kata seorang diplomat di Jerusalem. Di Tel Aviv, dan pada hari yang sama di Jerusalem, Begin disambut sebagai pahlawan pembawa damai, tapi sekaligus juga sebagai "pengkhianat". Di mata anak-anak muda yang mendukung gerakan "Damai sekarang juga", Begin adalah manusia luar biasa. "Dialah dulu yang memimpin aksi bersenjata, tapi dia pula yang berani mengambil resiko untuk damai," kata Yigal Cohen, pemuda yang mengaku amat cinta damai, di Jerusalem. Beberapa di antara pemuda itu malahan berbicara tentang "Hadiah Nobel bagi Begin." Lewat siaran televisi Yordania, keesokan harinya, penduduk Jerusalem juga bisa menyaksikan arak-arakan besar menyambut Presiden Sadat di Kairo. Di ibu kota Mesir itu -- yang didandani secara menyolok -- Sadat diterima sepenuhnya sebagai pahlawan. Di sana pun orang berbicara tentang "Hadiah Nobel" untuk Sadat. Kata-kata Sadat yang terdengar nyaring di telinga orang Mesir pada hari-hari itu adalah "Sekarang kita tidak perlu lagi mengirim anak-anak kita ke medan perang. Darah tidak perlu lagi ditumpahkan." "Menggulingkan Sadat" Darah memang tidak (belum) tumpah lagi, namun sejumlah makian dari luar negeri tumpah ruah juga ke arah Sadat. Front penentang yang dimotori oleh Suriah dan Libya -- disertai oleh PLO, Yaman Selatan dan Aljazair serta Irak -- segera berkumpul di Damaskus. Di sana mereka membulatkan tekad bukan cuma untuk menggagalkan persetujuan Camp David, tapi bahkan untuk "menggulingkan Sadat." Di Mesir tentangan demikian diterima dengan kemarahan. "Apa sih yang mereka lakukan untuk membebaskan Palestina? Dalam setiap perang, kami juga yang banyak korban. Mereka cuma bisa teriak dan saling bunuh-bunuhan di Paris, London dan Islamabad." Itu kata perwira Mesir Letnan Ahmad, yang sedang bertugas di sisi terusan Suez, dua pekan silam. "Biarkan saja mereka ribut. Tanpa Mesir toh mereka tidak bisa perang," kata Hidayah Abduh Nabi, wartawan diplomatik koran terkemuka Mesir, Al Abram. Tak ada perang dengan Israel tanpa Mesir, itu memang benar dan diakui oleh semua pihak. "Tapi justru karena itulah maka dari dulu Israel terus merayu Mesir untuk damai. Sudah itu negara-negara Arab lain bisa dibereskan oleh Israel. Apa lagi kami orang-orang Palestina yang lemah ini," kata Abu Saleh, seoran Palestina di Jerusalem. Abu Saleh dan sejumlah orang Palestina lainnya merasakan pahit getirnya pendudukan Israel. Mereka ini tidak pernah meninggalkan tanah air mereka, meski harus menderita batin di bawah pendudukan Israel. Orang-orang seperti ini sudah hilang kepercayaan terhadap berbagai prakarsa damai. Lalu apa Perang? "Perang ternyata juga tidak menyelesaikan soal. Kami malah makin menderita karena perang," kata dokter Abu Lafi di rumahnya di Jerusalem Timur. Cendekiawan Palestina ini tidak terlalu optimis terhadap hasil Camp David, tapi toh ia menilainya sebagai suatu kemajuan. Dan kemajuan itu menjadi semakin mendapatkan bentuk, ketika sidang maraton Knesset (parlemen Israel) berakhir setelah memberikan dukungan kepada usaha damai Begin. Sidang itu kabarnya merupakan sidang terberat yang pernah dialami Knesset. Pada hari pertama, tatkala Begin memulai pidatonya, selama puluhan menit ia hampir-hampir tidak bisa berbicara. Ia terus menerus disoraki dengan segala macam cacian. Hebatnya pula, gangguan itu umumnya berasal dari teman separtai Begin sendiri. Keadaan baru mereda setelah Moshe Shamis, ketua Knesset, mensekors sidang setelah Geula Cohen, anggota Knesset dari partai Begin, digiring keluar. Begin: Menelan Ludah Sendiri Di luar gedung parlemen pemandangan juga tidak kurang menariknya. Harihari itu rentetan demonstrasi melanda Israel. Dari berbagai pemukiman yang jauh, berdatangan orang-orang yang marah. "Bagaimana ini bisa terjadi? Baru beberapa pekan silam Begin menggalak kan kita untuk terus membangun di Yamit, kini kita harus membongkar semua itu. Ini sungguh-sungguh tidak masuk akal," komentar seorang demonstran yang datang dengan traktornya dari salah satu pemukiman di Sinai. Dan seperti biasanya, orang-orang Israel yang marah itu pun berkata "Mengapa kita harus keluar dari Sinai? Padang pasir itu 'kan bukan milik Mesir. Itu dulu milik kami sebagai yang tertera di Kitab Suci. Dan Mesir juga baru mendudukinya puluhan tahun silam setelah merampasnya dari Turki." Begin memang dalam posisi yang amat sulit. Salah satu janjinya sebelum menjadi perdana menteri adalah untuk "meneruskan usaha pemukiman di wilayah yang diduduki." la bahkan banyak kali meresmikan tempat pemukiman itu. Kini ia harus menelan ludahnya sendiri. Tapi ia berkata: "Itu semua harga yang harus kita bayar kalau kita tidak mau lagi perang." Katanya pula "Tugas kita yang amat penting sekarang ini adalah mengakhiri perang dengan Mesir, negara Arab yang paling besar. Kalau itu tercapai, tidak akan ada lagi perang. Yordania dan Suriah tidak akan menyerang kita." Hasil pemungutan suara di Knesset-meski harus melewati sidang yang keras dan berpanjang-panjang - sejak semula sudah diduga akan menguntungkan Begin. Meski demikian, Sadat toh tidak tidur sepanjang malam menanti hasil sidang tersebut. Setelah itu barulah ia memulai langkah-langkah persiapan bagi perundingan damai yang pekan ini masih berlangsung di Washington. Tapi sembari mempersiapkan perundingan Washington, Sadat juga harus sibuk meladeni negara-negara Arab yang tidak bisa menerima hasil Camp David. Maka di samping missi keliling Menlu Cyrus Vance ke berbagai negara Arab, Sadat juga mengirimkan orang dekatnya, Hasan Tohaymi ke-mana-mana. Tidakbanyak hasilnya, meski Saudi Arabia tetap menahan diri untuk tidak mengutuk Mesir seperti yang dilakukan kelompok penentang itu. Arab Saudi dan "Penjinakan" Tentang kelompok penentang yang terus berapi-api itu, ceritanya cukup riuh. Di sana ternyata tidak bisa dicapai suatu kesepakatan. Pertentangan lama Irak-Suriah terbukti terlalu besar untuk diatasi sebelum mereka menghadapi Sadat secara serentak. Diplomasi tingkat tinggi Timur Tengah terjadi hari-hari itu. Raja Hussein dari Yordania menjadi sasaran. Ia ikut memegang kunci. Amerika Serikat membujuk Hussein agar ikut bersama Sadat, tapi Libya dan Suriah mendesaknya ke arah lain. PLO sendiri terombang-ambing. "Selama negara Arab masih terpecah belah, jangan harap orang Palestina bisa bersuara satu." Itu komentar seorang tokoh Palestina di Jerusalem. Mengapa? "Mereka itu kan numpang hidup di berbagai negara Arab. Mana bisa mereka bersuara lain dari tuan rumahnya." Keadaan yang takmenentuinilah yang memberi peluang kepada Arab Saudi untuk tampil. Bersikap amat hati-hati terhadap hasil Camp David, Saudi sebenarnya secara amat halus membujuk agar negara-negara Arab tidak mengucilkan Sadat. Dengan menggunakan isyu "persatuan Arab", Putra Mahkota Fahd Ibn Abdul Aziz kini amat aktif melakukan diplomasi. Dalam beberapa hari saja setelah penanda-tanganan di Camp David, hampir semua tokoh penting dari kaum penentang -- kecuali Gaddafi -- sudah pada berdatangan di Jedah atau Riyadh. Di Kairo, orang-orang Mesir amat yakin bahwa langkah yang diayunkan Sadat itu adalah pilihan terbaik. Dan terhadap makian dari kelompokpenentang itu, mereka memang dongkol, tapi nampak terbiasa. "Dulu ketika melakukan persetujuan pemisahan pasukan di Sinai dengan Israel, juga mereka kutuk. Lamalama toh mereka akan mengerti. Ini cuma emosi sesaat," kata Ossama El Baz, pejabat tinggi Deplu di Kairo. Harapan Mesir untuk dimengerti oleh sesama negara Arab itu barangkali saja bukan harapan kosong jika Arab Saudi berhasil dengan usaha "penjinakan" nya. Tapi yang lebih pasti bisa membuat Sadat lebih bisa dimengerti adalah Israel sendiri. "Kalau Israel memperlihatkan niat tulusnya untuk damai, kecurigaan negara-negara Arab itu toh akan berangsur pudar," kata seorang diplomat Asia di Kairo dua pekan silam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus