PESAWAT jumbo 747 milik El Al yang dinanti itu adalah pesawat
penerbangan komersiil biasa dari New York ke Tel Aviv. Tapi kali
ini ia membikin kehidupan di Israel seakan terhenti. Orang
berkumpul di lapangan terbang Ben Gurion atau mengerumuni
televisi. Perdana Menteri Manachem Begin menuju pulang, dari
Camp David.
Dan Begin tiba dengan selamat beberapa jam sebelum Sabbath
mulai. Pada waktu itulah mulainya suatu babakan baru dalam karir
politiknya. Berlainan dari biasanya, sebagian besar pembesar
yang menjemput sang perdana menteri mendapat hadiah ciuman. "Dia
betul-betul memerlukan dukungan," kata seorang diplomat di
Jerusalem.
Di Tel Aviv, dan pada hari yang sama di Jerusalem, Begin
disambut sebagai pahlawan pembawa damai, tapi sekaligus juga
sebagai "pengkhianat". Di mata anak-anak muda yang mendukung
gerakan "Damai sekarang juga", Begin adalah manusia luar biasa.
"Dialah dulu yang memimpin aksi bersenjata, tapi dia pula yang
berani mengambil resiko untuk damai," kata Yigal Cohen, pemuda
yang mengaku amat cinta damai, di Jerusalem. Beberapa di antara
pemuda itu malahan berbicara tentang "Hadiah Nobel bagi Begin."
Lewat siaran televisi Yordania, keesokan harinya, penduduk
Jerusalem juga bisa menyaksikan arak-arakan besar menyambut
Presiden Sadat di Kairo. Di ibu kota Mesir itu -- yang didandani
secara menyolok -- Sadat diterima sepenuhnya sebagai pahlawan.
Di sana pun orang berbicara tentang "Hadiah Nobel" untuk Sadat.
Kata-kata Sadat yang terdengar nyaring di telinga orang Mesir
pada hari-hari itu adalah "Sekarang kita tidak perlu lagi
mengirim anak-anak kita ke medan perang. Darah tidak perlu lagi
ditumpahkan."
"Menggulingkan Sadat"
Darah memang tidak (belum) tumpah lagi, namun sejumlah makian
dari luar negeri tumpah ruah juga ke arah Sadat. Front penentang
yang dimotori oleh Suriah dan Libya -- disertai oleh PLO, Yaman
Selatan dan Aljazair serta Irak -- segera berkumpul di Damaskus.
Di sana mereka membulatkan tekad bukan cuma untuk menggagalkan
persetujuan Camp David, tapi bahkan untuk "menggulingkan Sadat."
Di Mesir tentangan demikian diterima dengan kemarahan. "Apa sih
yang mereka lakukan untuk membebaskan Palestina? Dalam setiap
perang, kami juga yang banyak korban. Mereka cuma bisa teriak
dan saling bunuh-bunuhan di Paris, London dan Islamabad." Itu
kata perwira Mesir Letnan Ahmad, yang sedang bertugas di sisi
terusan Suez, dua pekan silam. "Biarkan saja mereka ribut. Tanpa
Mesir toh mereka tidak bisa perang," kata Hidayah Abduh Nabi,
wartawan diplomatik koran terkemuka Mesir, Al Abram.
Tak ada perang dengan Israel tanpa Mesir, itu memang benar dan
diakui oleh semua pihak. "Tapi justru karena itulah maka dari
dulu Israel terus merayu Mesir untuk damai. Sudah itu
negara-negara Arab lain bisa dibereskan oleh Israel. Apa lagi
kami orang-orang Palestina yang lemah ini," kata Abu Saleh,
seoran Palestina di Jerusalem.
Abu Saleh dan sejumlah orang Palestina lainnya merasakan pahit
getirnya pendudukan Israel. Mereka ini tidak pernah meninggalkan
tanah air mereka, meski harus menderita batin di bawah
pendudukan Israel. Orang-orang seperti ini sudah hilang
kepercayaan terhadap berbagai prakarsa damai. Lalu apa Perang?
"Perang ternyata juga tidak menyelesaikan soal. Kami malah makin
menderita karena perang," kata dokter Abu Lafi di rumahnya di
Jerusalem Timur. Cendekiawan Palestina ini tidak terlalu optimis
terhadap hasil Camp David, tapi toh ia menilainya sebagai suatu
kemajuan.
Dan kemajuan itu menjadi semakin mendapatkan bentuk, ketika
sidang maraton Knesset (parlemen Israel) berakhir setelah
memberikan dukungan kepada usaha damai Begin. Sidang itu
kabarnya merupakan sidang terberat yang pernah dialami Knesset.
Pada hari pertama, tatkala Begin memulai pidatonya, selama
puluhan menit ia hampir-hampir tidak bisa berbicara. Ia terus
menerus disoraki dengan segala macam cacian.
Hebatnya pula, gangguan itu umumnya berasal dari teman separtai
Begin sendiri. Keadaan baru mereda setelah Moshe Shamis, ketua
Knesset, mensekors sidang setelah Geula Cohen, anggota Knesset
dari partai Begin, digiring keluar.
Begin: Menelan Ludah Sendiri
Di luar gedung parlemen pemandangan juga tidak kurang
menariknya. Harihari itu rentetan demonstrasi melanda Israel.
Dari berbagai pemukiman yang jauh, berdatangan orang-orang yang
marah. "Bagaimana ini bisa terjadi? Baru beberapa pekan silam
Begin menggalak kan kita untuk terus membangun di Yamit, kini
kita harus membongkar semua itu. Ini sungguh-sungguh tidak masuk
akal," komentar seorang demonstran yang datang dengan traktornya
dari salah satu pemukiman di Sinai.
Dan seperti biasanya, orang-orang Israel yang marah itu pun
berkata "Mengapa kita harus keluar dari Sinai? Padang pasir itu
'kan bukan milik Mesir. Itu dulu milik kami sebagai yang tertera
di Kitab Suci. Dan Mesir juga baru mendudukinya puluhan tahun
silam setelah merampasnya dari Turki."
Begin memang dalam posisi yang amat sulit. Salah satu janjinya
sebelum menjadi perdana menteri adalah untuk "meneruskan usaha
pemukiman di wilayah yang diduduki." la bahkan banyak kali
meresmikan tempat pemukiman itu. Kini ia harus menelan ludahnya
sendiri. Tapi ia berkata: "Itu semua harga yang harus kita bayar
kalau kita tidak mau lagi perang." Katanya pula "Tugas kita yang
amat penting sekarang ini adalah mengakhiri perang dengan Mesir,
negara Arab yang paling besar. Kalau itu tercapai, tidak akan
ada lagi perang. Yordania dan Suriah tidak akan menyerang kita."
Hasil pemungutan suara di Knesset-meski harus melewati sidang
yang keras dan berpanjang-panjang - sejak semula sudah diduga
akan menguntungkan Begin. Meski demikian, Sadat toh tidak tidur
sepanjang malam menanti hasil sidang tersebut. Setelah itu
barulah ia memulai langkah-langkah persiapan bagi perundingan
damai yang pekan ini masih berlangsung di Washington.
Tapi sembari mempersiapkan perundingan Washington, Sadat juga
harus sibuk meladeni negara-negara Arab yang tidak bisa menerima
hasil Camp David. Maka di samping missi keliling Menlu Cyrus
Vance ke berbagai negara Arab, Sadat juga mengirimkan orang
dekatnya, Hasan Tohaymi ke-mana-mana. Tidakbanyak hasilnya,
meski Saudi Arabia tetap menahan diri untuk tidak mengutuk Mesir
seperti yang dilakukan kelompok penentang itu.
Arab Saudi dan "Penjinakan"
Tentang kelompok penentang yang terus berapi-api itu, ceritanya
cukup riuh. Di sana ternyata tidak bisa dicapai suatu
kesepakatan. Pertentangan lama Irak-Suriah terbukti terlalu
besar untuk diatasi sebelum mereka menghadapi Sadat secara
serentak.
Diplomasi tingkat tinggi Timur Tengah terjadi hari-hari itu.
Raja Hussein dari Yordania menjadi sasaran. Ia ikut memegang
kunci. Amerika Serikat membujuk Hussein agar ikut bersama Sadat,
tapi Libya dan Suriah mendesaknya ke arah lain. PLO sendiri
terombang-ambing. "Selama negara Arab masih terpecah belah,
jangan harap orang Palestina bisa bersuara satu." Itu komentar
seorang tokoh Palestina di Jerusalem. Mengapa? "Mereka itu kan
numpang hidup di berbagai negara Arab. Mana bisa mereka bersuara
lain dari tuan rumahnya."
Keadaan yang takmenentuinilah yang memberi peluang kepada Arab
Saudi untuk tampil. Bersikap amat hati-hati terhadap hasil Camp
David, Saudi sebenarnya secara amat halus membujuk agar
negara-negara Arab tidak mengucilkan Sadat.
Dengan menggunakan isyu "persatuan Arab", Putra Mahkota Fahd Ibn
Abdul Aziz kini amat aktif melakukan diplomasi. Dalam beberapa
hari saja setelah penanda-tanganan di Camp David, hampir semua
tokoh penting dari kaum penentang -- kecuali Gaddafi -- sudah
pada berdatangan di Jedah atau Riyadh.
Di Kairo, orang-orang Mesir amat yakin bahwa langkah yang
diayunkan Sadat itu adalah pilihan terbaik. Dan terhadap makian
dari kelompokpenentang itu, mereka memang dongkol, tapi nampak
terbiasa. "Dulu ketika melakukan persetujuan pemisahan pasukan
di Sinai dengan Israel, juga mereka kutuk. Lamalama toh mereka
akan mengerti. Ini cuma emosi sesaat," kata Ossama El Baz,
pejabat tinggi Deplu di Kairo.
Harapan Mesir untuk dimengerti oleh sesama negara Arab itu
barangkali saja bukan harapan kosong jika Arab Saudi berhasil
dengan usaha "penjinakan" nya. Tapi yang lebih pasti bisa
membuat Sadat lebih bisa dimengerti adalah Israel sendiri.
"Kalau Israel memperlihatkan niat tulusnya untuk damai,
kecurigaan negara-negara Arab itu toh akan berangsur pudar,"
kata seorang diplomat Asia di Kairo dua pekan silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini